1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seberapa Akrab Kamu Mengenali Aksara Nusantara?

8 September 2023

Tidak hanya India, aksara dari Arab pun turut andil dalam perkembangan aksara nusantara. Pada abad ke-13, dakwah Islam yang masuk ke Indonesia melalui pesisir Malaka juga membawa pengaruh.

https://p.dw.com/p/4W4cb
Aksara Sunda di Jl Dipatiukur, Bandung
Aksara Pallawa berkembang menjadi aksara Kawi lalu diserap banyak kebudayaan seperti Batak Toba, Mandailing, Jawa kuno, Sunda Kuno, Bali.Foto: Leo Galuh/DW

Tempat nongkrong, fashion, dan kuliner. Itu tiga kata yang melekat di benak tiap orang saat bicara tentang Kota Bandung. Namun, ada satu yang sering luput dari pandangan: penggunaan aksara Sunda. Di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini, DW Indonesia menemukan penyertaan aksara Sunda di beberapa jalan protokol dan gedung instansi pemerintah. Ada pula sebuah kedai kopi di daerah Lembang yang menyertakan aksara Sura Batta di kaca depan kedainya.

Penyertaan aksara daerah lain seperti aksara Jawa, Hanacaraka, juga ditemukan di Solo misalnya di Stasiun Solo Balapan. Beberapa jalan protokol di Semarang dan Yogyakarta juga menyertakan aksara tersebut. Sementara bagi yang sering ke Bali, kita bisa melihat penyertaan aksara Bali di ucapan selamat datang saat mendarat di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

Semua aksara daerah atau bisa disebut aksara nusantara ini berawal dari Prasasti Mulawarman beraksara Pallawa, peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, yakni kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Menurut penafsiran ahli sejarah, Raja Kudungga (nama asli Indonesia yang belum terpengaruh dengan bahasa India) mendirikan kerajaan tersebut sekitar abad ke-4.

Arsip dengan tulisan asli nusantara dari berbagai daerah di Indonesia, koleksi Nawaksara
Arsip dengan tulisan asli nusantara dari berbagai daerah di Indonesia, koleksi Nawaksara.Foto: privat

Mulawarman kemudian menjadi raja yang membawa Kerajaan Kutai pada masa kejayaan berdasarkan temuan tujuh monumen batu yang dikenal sebagai Prasasti Mulawarman. Peringatan atas jasa-jasa Raja Mulawarman itu kemudian dipahat dengan aksara Pallawa, cikal bakal aksara asli Indonesia.

Pengaruh India dan Arab diserap budaya lokal

Menurut Didin Ahmad Zaenudin, kurator naskah sekaligus aktivis aksara nusantara, aksara Pallawa di Prasasti Mulawarman berasal dari India Selatan dan berbahasa Sansekerta. Pria yang acap dipanggil Diaz ini menjelaskan bahwa setiap persebaran agama besar di dunia selalu disertai unsur peradaban budaya daerah asal.

Saat itu, persebaran agama Hindu dan Budha di Nusantara banyak dibawa dari pedagang dari India. Pengaruh lainnya yang juga turut terjadi adalah intelektual nusantara belajar ke India dan membawa unsur budaya India hingga tercipta Prasasti Mulawarman.

"Aksara Pallawa berkembang lalu dimodifikasi dan dipakai untuk menulis bahasa lokal misalnya bahasa Melayu," kata pria kelahiran Bandung ini kepada DW Indonesia.

Aksara ini berkembang menjadi aksara Kawi yang menjadi aksara persatuan lalu menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan diserap masing-masing etnis, kata Diaz. "Diserap kebudayaan masing-masing, Batak Toba, Mandailing, Jawa kuno, Sunda Kuno, Bali,” Diaz mencontohkan.

Aksara Pegon di Injil Yohanes
Selain dipakai di kalangan umat Islam, aksara Pegon juga dapat dijumpai di Injil YohanesFoto: privat

Tidak hanya India, aksara dari Arab pun turut andil dalam perkembangan aksara di Indonesia. Pada abad ke-13, dakwah Islam yang masuk ke Indonesia melalui pesisir Malaka juga membawa pengaruhnya sehingga terjadi penyerapan aksara Arab ke bahasa Melayu.

"Wali Songo awalnya menggunakan aksara Kawi berbahasa Jawa untuk menulis keilmuan, lalu menggunakan aksara Arab berbahasa Jawa," ucap Diaz, menambahkan aksara Arab berbahasa Jawa disebut dengan aksara Pegon. 

Mengutip Detik, Sunan Ampel adalah sosok yang memperkenalkan aksara Pegon agar agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Aksara Pegon kemudian menyebar ke berbagai wilayah di negeri ini, tambah Diaz.

"Di Madura disebut aksara Peguh, di Bugis disebut aksara Serang, di Gorontalo disebut aksara Me'eraji,” kata Diaz kepada DW Indonesia.

Populerkan aksara nusantara di ruang publik

Lalu bagaimana dengan aksara Sunda yang banyak dilihat di ruang publik seperti di Bandung? Pada 2014, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Daerah nomor 14 tahun 2014 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah untuk memelihara, memanfaatkan, serta mempopulerkan penggunaan aksara Sunda.

Dian Hendrayana, dosen Program Bahasa Sunda di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, mengatakan bahwa aksara Sunda yang disebut sebagai Kaganga masih terbilang baru diajarkan di bangku pendidikan. Aksara yang populernya disebut sebagai aksara Sunda itu masuk dalam kurikulum pendidikan di bangku SD, SMP, dan SMA sekitar satu dekade terakhir.

Kendati demikian, kedudukan aksara Sunda masih berupa materi pengajaran, hanya mengenal dan bisa membaca, tambahnya. "Dijadikan penanda untuk membedakan dengan budaya lainnya seperti Jawa, Madura. Belum digunakan untuk bahasa tulis sehari-hari," ujar Dian kepada DW Indonesia.

Dian menuturkan bahwa memperkenalkan aksara Sunda ke masyarakat terutama di Bandung dan Jawa Barat bukanlah hal sulit. Pemerintah daerah bisa memanfaatkan ruang-ruang publik supaya sosialisasi bisa lebih efektif.

"Umpamanya kantor dinas pendidikan dalam huruf latin, di bawahnya ada aksara Sunda," jelas Dian. Beberapa instansi dan nama jalan sudah menggunakan penyertaan aksara Sunda di bawah aksara Latin. Ia juga mulai melihat beberapa komunitas yang memproduksi kaos-kaos oblong dengan aksara Sunda. 

Jangan sampai punah

Didin Ahmad Zaenudin alias Diaz, kurator naskah sekaligus aktivis aksara nusantara, mengatakan setidaknya ada 30 jenis aksara nusantara. Aksara-aksara ini memang tidak bisa dikatakan punah, tapi eksistensinya mulai tergerus waktu. Contohnya, pengguna aksara Lota berbahasa Ende, Nusa Tenggara Timur, hanya tersisa satu orang. 

"Beruntungnya sudah kami sebagai pegiat sudah menginventaris dan mengamankan," ujar Diaz. Tidak hanya itu, ia juga memberi contoh lain bagaimana penggunaan aksara nusantara bisa beriringan dengan aksara serapan lain baik Arab maupun Latin di Pondok Hanacaraka, sebuah pondok pesantren di Wonogiri, Jawa Tengah.

"Latin untuk sehari-hari, Arab dan Pegon untuk pelajaran agama, Jawa untuk sastra dan kesenian," tutur Diaz.

Latih AI untuk tulis aksara Jawa

Diaz juga berinisiatif untuk melestarikan aksara nusantara menggunakan keahlian yang ia miliki di bidang manajemen informatika. Ia membangun website Nawaksara.id pada 2021 untuk merekam karya tulis berupa manuskrip dan naskah kuno kebudayaan Indonesia dari berbagai wilayah. 

Didin Ahmad Zaenudin alias Diaz (kedua dari kiri)
Didin Ahmad Zaenudin alias Diaz (kedua dari kiri)Foto: privat

"Sasarannya orang yang hari ini membaca Nawaksara supaya kebudayaannya tetap relevan dengan masa depan," kata Diaz, seraya menambahkan bahwa dia juga ‘melatih' kecerdasan buatan agar bisa menulis aksara Jawa atau Hanacaraka.

Tahun ini, dia menginisiasi standar nasional untuk papan ketik dan font yang menggunakan aksara nusantara.

"Baru lima aksara yang sudah masuk SNI. Jawa, Sunda, Bali, Kawi, dan Pegon," tutur Diaz. Ia berharap suatu hari produsen perangkat elektronik dapat menyertakan aksara nusantara di produk yang dipasarkan di Indonesia.

(ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).