1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menteri Muda, Menteri Belia?

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
18 Oktober 2019

Menurut Anda, pentingkah keberadaan menteri-menteri muda akan hadir dari generasi milenial dalam kabinet? Siapa saja yang sebenarnya menurut Anda cocok duduk di kabinet? Berikut pandangan Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/3RUb0
Joko Widodo
Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat President

Rasanya bukan hanya saya seorang yang memiliki sekian kenalan berusia sebaya yang bercita-cita untuk menjadi menteri di masa depan kelak.

Angan-angan menjabat sebagai menteri pendidikan menjadi yang paling awam saya temui, mungkin karena sektor pendidikan dan idealisme kepemudaan untuk belajar banyak hal saling bertautan. Ditambah dengan keresahan, kata kunci yang menggambarkan bagaimana skema pendidikan Indonesia, yang selama ini dirancang dan dikelola oleh orang-orang tua, tidak pernah efektif meningkatkan minat belajar anak-anak muda Indonesia.

Masalah pendidikan memang hal yang kritis dan seksi bagi anak muda. Idealnya, jabatan tersebut seharusnya memang diisi oleh seorang muda yang telah hidup dan menjiwai zamannya dibandingkan orang-orang tua yang cenderung gagap dalam mengakomodasi perubahan. Namun kenyataannya di Indonesia, menangani pendidikan bukan soal penerapan idealisme semata. Penempatan orang-orang di pos kementerian pendidikan, sebagaimana pos-pos kementerian lainnya adalah hasil rembukan para pembesar politik pemenang pemilu. Sehingga, sulit jika seorang pemuda idealis tanpa koneksi dan pengaruh ingin serta-merta menjadi menteri di Indonesia.

Terpilihnya kembali Jokowi sebagai presiden Indonesia pada pemilu 2019 lalu digadang-gadang memberi angin segar bagi gagasan keterlibatan anak-anak muda dalam kabinet pemerintahan. Ia menyebut bahwa kabinet yang akan menemaninya dalam menyongsong masa pemerintahan 2019-2024 akan diisi oleh orang-orang muda. Dalam sebuah wawancara, Jokowi menyebut menteri-menteri muda tersebut harus memiliki kepemimpinan kuat, berjiwa eksekutor, dan responsif terhadap perubahan.

Nama-nama tersebut kini masih rahasia, walau banyak media telah mengeluarkan banyak spekulasi mengenai siapa-siapa saja yang akan terpilih. Namun jelasnya, sekian orang berusia 25-40 tahun akan menghiasi Kabinet Kerja jilid II dan kita semua akan melihat selama lima tahun ke depan bagaimana aspirasi muda berkiprah dalam pemerintahan di Indonesia.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Muda, Magang, Mandiri

Indonesia sebenarnya sudah memiliki tradisi menteri berusia muda sejak awal-awal kemerdekaan, sebut saja contohnya Wikana dalam Kabinet Sjahrir II, Sjahrir III, Amir Sjarifudin I dan Supeno dalam Kabinet Hatta I, yang keduanya saat itu masih berusia 30 tahunan namun sudah diberi mandat untuk menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Di zaman Sukarno maupun Suharto pun nama-nama muda muncul mengisi pos-pos kementerian dengan jabatan "Menteri Muda” yang tugasnya kira-kira setingkat wakil menteri.

Menteri Muda saat itu, khususnya saat Orde Baru, bertugas untuk diperbantukan mengurusi hal-hal spesifik dalam sebuah kementerian. Misalnya saja Martono yang dahulu diangkat sebagai Menteri Muda Urusan Transmigrasi diperbantukan pada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam Kabinet Pembangunan III. Menariknya, dalam Kabinet Pembangunan IV, Martono naik pangkat menjadi Menteri Transmigrasi, sehingga saat itu banyak yang menyebut jabatan Menteri Muda sebagai tempat magang seseorang sebelum mengisi jabatan menteri penuh.

Kasus Martono bukan satu-satunya. Ada sekian banyak mantan-mantan Menteri Muda yang kemudian diangkat menjadi menteri penuh seperti Cosmas Batubara, Bustanil Arifin, Lasiyah Soetanto, Wardoyo, Moerdiono, Ginandjar Kartasasmita, dan lain-lain. Tentu Soeharto menunjuk mereka atas dasar faktor keahlian bukan usianya, dan nama-nama tersebut kini tercatat sebagai figur-figur kenamaan di bidangnya masing-masing.

Bedanya dengan Soeharto, kini Jokowi ingin langsung melompat melibatkan orang-orang muda dalam jabatan menteri penuh. Selain itu, ia juga mengutarakan bahwa proporsi kabinetnya kelak akan diisi oleh 55% golongan profesional dan 45% dari kalangan partai politik. Kemungkinan menteri-menteri muda akan muncul dari kelompok yang disebut pertama.

Gagasan peremajaan kabinet adalah hal yang patut diapresiasi, namun tentu kita harus jeli melihat dari sisi potensi efektivitasnya terhadap jalannya pemerintahan. Ada banyak tantangan bagi menteri-menteri muda, terutama yang baru masuk ke dalam ekosistem politik di Indonesia.

Seorang menteri muda mau tidak mau harus memiliki kecakapan untuk berbaur dengan elit-elit birokrasi yang telah mapan dan lebih tua dari mereka di parlemen dan lembaga-lembaga negara. Jangan sampai belum familiarnya mereka justru menjadi bahan bulan-bulanan pihak-pihak tua dan justru nanti mencoreng kinerja kementeriannya sendiri. Sudah bukan rahasia umum bahwa elit-elit politik tua yang sudah mapan di Indonesia masih memandang sebelah mata kualitas orang-orang muda, terutama dalam permasalahan-permasalahan yang membenturkan idealisme dan kenyataan politik.

Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, sempat menyampaikan kritiknya terhadap wacana menteri muda sebagai hal yang prematur apalagi jika nama-nama yang terpilih tidak mempunyai pengalaman politik. Hal senada juga diutarakan wakil presiden Jusuf Kalla yang menyebut perekrutan orang-orang muda yang sukses di dunia bisnis ke dalam birokrasi pemerintahan harus dilakukan tanpa paksaan karena berpotensi merugikan dunia bisnis itu sendiri. Keduanya adalah opini yang beralasan dan harus menjadi pertimbangan bagi Jokowi dalam menentukan nama-nama yang akan dipilihnya.

Jangan sampai, posisi menteri justru menjadi kekuasaan yang mandul karena si orang muda tidak memiliki kharisma yang cukup untuk memimpin bawahan-bawahannya. Atau lebih parah lagi, terlibat dalam permainan-permainan politik kotor yang berujung pada tindak korupsi. Sudah cukup banyak menteri-menteri di Indonesia yang menjadi pesakitan di hotel prodeo dan jika seorang anak muda menjadi salah satunya maka akan sangat memukul citra dan semangat anak muda lainnya untuk terlibat dalam pemerintahan itu sendiri.

Menteri-menteri muda akan hadir dari generasi milenial, yakni generasi yang sudah memiliki sudut pandang politik dan cara-cara memecahkan masalah yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Generasi ini tumbuh besar dalam atmosfer demokrasi reformasi dan perkembangan cepat teknologi digital sehingga mereka sudah sepatutnya sudah tidak bisa mentoleransi lagi birokrasi-birokrasi rumit dan lebih memilih mengeksekusi sebuah solusi secara cepat dan efektif. Sifat mandiri inilah yang kelak harus dimengerti oleh nama-nama tua di pemerintahan sekarang ini, bukan menganggapnya sebagai keterburu-buruan.

Yang Muda, Yang Pantang Didikte

Seorang menteri muda harus memiliki integritas dan wibawa, serta idealisme, yang harus dipertahankan selama menjabat sehingga semangat muda mereka yang berdasarkan pada perubahan, kebaruan, dan kemandirian, tidak dianggap sebagai semangat seorang anak belia; yang dianggap masih membutuhkan pengaruh orang-orang tua untuk menjalankan segala macam kemauannya. Dengan kata lain, didikte.

Sederhananya, seorang anak muda dalam kabinet pemerintahan tidak boleh kalah ngotot dalam menghadapi keinginan partai-partai politik atau bahkan korporasi-korporasi yang kepentingannya bersinggungan dengan kebijakan-kebijakan kementerian yang dipimpinnya.

Dan tentu, dimensi kebeliaan ini yang akan menjadi sorotan media massa dan kelompok oposisi dalam menilai perkembangan pemerintah yang berkuasa. Ada tekanan besar sehingga orang-orang yang terpilih tidak boleh sekedar asal muda saja, namun juga berkomitmen untuk menuntaskan tugasnya sampai tuntas dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. Jika lantas seorang menteri muda yang terkena reshuffle, maka wacana menteri muda bisa saja dicerca sebagai gagasan blunder dan tidak akan dilanjutkan oleh presiden-presiden Indonesia lain di masa depan.

Saya pribadi mendukung orang-orang muda tampil di panggung pemerintahan dengan memegang peranan utama alih-alih simbolis semata. Di saat publik sudah muak dengan drama-drama politik yang ditampilkan nama-nama tua, kehadiran orang-orang muda adalah asupan harapan untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Mungkin pemuda-pemuda tersebut tidak akan mengguncangkan dunia sebagaimana keniscayaan Sukarno, namun mereka bisa membuktikan bahwa usia bukan lagi faktor krusial dalam menentukan kredibilitas dan kualitas seseorang dalam mengelola pemerintahan.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.