1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Sederet Bilangan Uang di Rekening Bank Swiss

2 Agustus 2019

Kebanyakan orang Swiss menyisihkan uang untuk melihat dunia luar, bukan menumpuk properti. Mereka peduli terhadap generasi mendatang. Oleh Esti Nuryani Kasam.

https://p.dw.com/p/3ND7O
Esti Nuryani Kasam aus Indonesien in der Schweiz
Foto: E. N. Kasam

Ketika melewati sebuah bangunan besar kokoh dengan tulisan BANK, dalam benak saya, muncul sekian pekerja berpenampilan orang kaya, tiap hari sibuk menghitung uang, menuliskan angka, banyak brankas penuh kuitansi dan perhiasan berharga. Begitulah, imajinasi saya: bank berarti kekayaan materi. Sebagaimana jika saya melewati bangunan besar kokoh Gedung Bank Indonesia di samping kantor post besar di selatan Jl. Malioboro.

Di pusat Kota Zurich, teman saya menjelaskan bahwa ada sekian bangunan besar kokoh yang dulunya bank, kini berubah jadi pusat perbelanjaan atau apartment. Saya tidak begitu terkejut dengan penjelasan ini, sebab jauh hari sebelum saya berencana ke sini, di benak saya, antara Switzerland dan bank adalah "satu jiwa”. Bank-bank di Swizterland konon menjadi tempat parkir uang dari banyak negara di dunia sekaligus tempat pendidikan terbaik mencetak para bankir.

Esti Nuryani Kasam, Indonesia, Swiss
Esti Nuryani KasamFoto: E. N. Kasam

Bangunan-bangunan bank tersebut tidak saja besar dan kokoh, tetapi hampir di semua papan dinding dan tiangnya terdapat relief dengan filsafat sangat dalam. Nyaris sama dengan berbagai relief dalam candi-candi Budha dan Hindhu di Asia. Mengenai penceritaan hukum karma; perbuatan baik dan buruk. Ada penceritaan surga dan neraka, hubungan intim lelaki dan perempuan, pencarian diri terhadap Sang Pencipta, himbauan kecintaan terhadap alam semesta, keadilan terhadap kemanusiaan dan seterusnya.

Rasanya tak perlu sangat teliti menelisik lebih jauh kapan bangunan-bangunan tersebut didirikan dan oleh arsitek siapa dan seterusnya. Saya ke sini untuk menikmati perjalanan dan tak ingin terbebani berbagai pertanyaan riset demikian. Hanya saja, di beberapa bangunan saya dapati tulisan pendirian ada yang 1400 sekian. Di Nusantara, waktu itu umumnya kerajaan masih belum mengenal uang. Sedangkan ukiran relief merupakan gaya ukiran dan filsafat Yunani.

Esti Nuryani Kasam aus Indonesien in der Schweiz
Foto: E. N. Kasam

Teman saya menjelaskan, kemungkinan besar orang-orang pertama yang membentuk masyarakat Switzerland adalah dari Yunani. Demikian tua peradaban mereka, hingga tak mengejutkan saya, betapa rasionalnya mayarakat tersebut dalam memahami kemanusiaan. Mereka tahu lebih lama di masa lalu, menikmati masa kini dan memahami keperluan generasi mendatang.

Kebanyakan orang Swiss menyisihkan uang untuk melihat dunia luar, bukan menumpuk properti. Mereka peduli terhadap generasi mendatang dengan keteladanan tentang kejujuran. Negeri ini nyaris nol korupsi dan penjara hampir kosong. Pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan ketertiban mereka menghindari penggunaan benda-benda plastik.

Semua kanton, sejumlah 26, jika saya tidak salah memperkirakannya, seluas dua atau tiga kecamatan di Indonesia, selalu memiliki hutan yang digunakan penduduk setempat untuk jalan-jalan di pagi atau sore hari dengan hewan peliharaan mereka. Ada banyak tempat duduk sekaligus meja dari besi atau kayu di sela-sela hutan, dengan nomor registrasi desa tertentu. Biasanya di dekat kursi dan meja tersebut, ada pula tungku untuk membakar makanan. Di akhir pekan, ketika Jumat dan Sabtu sore sempat jalan-jalan, saya mendapati beberapa kelompok orang; baik muda maupun tua memanfaatkan tempat-tempat tersebut untuk kebersamaan. Mereka membakar ubi rambat, daging, jagung dan seterusnya. Romantis sekali masyarakat Swiss; hidup menyatu dengan alam.

Esti Nuryani Kasam aus Indonesien in der Schweiz
Foto: E. N. Kasam

Apakah yang perlu saya pelajari antara bank dan kehidupan romantis demikan? Masyarakat Swiss adalah masyarakat pekerja keras, tekun, jujur, tertib dan bersih. Di satu sisi juga berusaha hidup cermat dan hemat demi melihat dunia luar. Budaya demikian telah menyatu menjadi kebiasaan turun temurun. Tak heran jika generasi berikutnya hidup sejahtera. Kepedulian terhadap sesama terasa lekat. Negeri ini menampung sekian pengungsi dari Kenya, Ethiopia, Eriteria dan sedikit dari Suriah dengan merehabilitasi mereka dengan pembekalan pendidikan sikap bermasyarakat dan ketrampilan bertahan hidup.

Sudahkah Anda, saya dan kita semua memiliki budaya demikian? Berusaha menabung di bank kita sendiri sekaligus menabung amal dengan membantu orang papa? Ataukah gampang terayu iklan, diskonan dan besar belanjaan ketimbang penghasilan?

Seberapa banyak uang kita terparkir di bank, sejauh itu hasil kerja keras, ketekunan dan tetap peduli pada sesama, percayalah bahwa hidup Anda tak perlu terperosok ke jeruji penjara atau gunjingan sebagai penipu atau koruptor. Bukankah sudah sering kita dengar seorang koruptor dan penipu dengan asset sekian property tidak dinikmatinya sebagai kebahagiaan, tetapi sebagai beban kejahatan kemanusiaan?

Esti Nuryani Kasam, Zurich, 23 Juni 2019

Esti Nuryani Kasam aus Indonesien in der Schweiz
Foto: E. N. Kasam

*Lahir pada 13 Pebruari di Gunungkidul. Menyelesaikan SD-SMA sejak 1983-1995, tetap di Gunungkkidul. Tulisannya berupa artikel, puisi, cerpen, essai dan naskah dramanya telah terpublikasi dalam media lokal, nasional maupun regional. Menjadi juri dan tutor di berbagai ajang lomba kepenulisan kreatif, essay dan pidato maupun menulis dalam Bahasa Inggris. Menjadi pemakalah di berbagai pelatihan kepenulisan.
Hingga akhir tahun 2018, EsNuKa telah membersamai, membimbing dan mengeditori buku murid-muridnya untuk ke-13 kalinya dari 6 sekolah yang selama ini menjadi tempatnya berbagi.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.