1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Epidemi Penyakit dan Sanitasi

15 Desember 2017

Pendekatan relijius dan mistis untuk mengatasi wabah sering kali menjadi hambatan untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh mikroba. Opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/2oYDt
Bildergalerie Wasser in Angola
Foto: DW/C. Vieira

Dia mengantar kami berjalan mengelilingi tembok kota Wismar, Jerman Utara dan seakan-akan pria ini sudah familiar dan sudah berkali-kali berada di tempat ini. Wismar seperti tipikal kota-kota awal di Eropa yang dikeliling tembok sebagai benteng yang kini masih terawat bentuknya. Pria dengan rambut yang pirang dan hidung yang tinggi ini adalah kerabat saya yang berdarah Jerman-Slovenia. Sembari melebarkan kedua tangannya dia berkata kepada saya, "Nadya apa kamu tahu pada masa dulu anak-anak sejak usia lima tahun di daerah diberi minum bir karena sulitnya menemukan air bersih untuk diminum?”. Saya menganguk saja karena tidak mengenal banyak sejarah Eropa khususnya Jerman.

Berdasarkan pemaparannya, Eropa sangat memprioritaskan kebersihan dan higienitas dan masalah kebersihan dan kesehatan sebagai perlambang dari penduduk negara Dunia Pertama yang modern. Tentunya kebiasaan higienis ini berdasarkan pengalaman penduduk Eropa terhadap epidemi penyakit mematikan yang pernah melanda pada sekitar tahun 1346 masehi dan membunuh hampir seperempat penduduknya. Kota Wismar sebagai kota pelabuhan cukup penting ketika laut menjadi sarana transportasi manusia untuk saling berpindah.

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Perpindahan manusia dan pertambahan penduduk adalah alasan untuk mengerti bagaimana epidemi penyakit menyebar dan dimulainya kebiasaan kebersihan dan sanitasi. Hampir seluruh peradaban bangsa di bumi ini mengenal wabah akibat kontak dan belajar dari kematian yang disebabkan olehnya. Tulisan ini membahas bagaimana sejarah wabah sebagai pembelajaran untuk penyebaran gaya hidup bersih dan sanitasi pada hari ini.

Populasi dan Mobilisasi

Peralihan gaya hidup berburu dan meramu manusia menjadi bertani dan menetap memberi beberapa implikasi. Beberapa sejarawan menyatakan bahwa peralihan gaya hidup ini sesungguhnya merupakan kesalahan besar karena memicu pada permulaan kepemilikan pribadi, kemunculan struktur masyarakat, pertanian yang menghabiskan banyak waktu untuk bekerja mengurus lahan daripada berburu, dan juga pertambahan penduduk dan berkembangnya penyakit.

Kebangkitan pertanian adalah berkah bagi mikroba. Ditambah dengan pemukiman yang padat dan hidup yang berdempet-dempetan dan menggunakan air, buang air dari lokasi yang sama. Penyakit merepresentasikan evolusi yang sedang berjalan dan mikroba beradaptasi melalui seleksi alam terhadap inang dan faktor baru.

Mikroba yang menjadi penyebab banyak penyakit berkembang untuk bertahan hidup dan bereproduksi muncul sebagai akibat dari domestifikasi hewan yang mulai dilakukan manusia danpenyebaran mikroba bersamaan dengan perpindahan manusia. Kontak manusia dengan hewan peliharaan atau hewan-hewan kecil lainnya yang membuat mikroba menemukan inang baru untuk ditempati dan berkembang biak. Sebut saja penyakit Pes yang melanda Eropa dan membunuh sepertiga penduduknya dibawa oleh kutu dan air kencing tikus. Begitu juga penyakit tipus yangs empat epidemik di Amerika Utara yang disebabkan oleh bajing yang tinggal di loteng rumah penduduk. Wabah cacing pita yang ditularkan oleh babi atau antrax yang dibawa sapi yang terkena infeksi di Australia. Selain kontak dengan hewan, manusia sendiri menjadi inang untuk menyebarkan penyakit hingga menjadi wabah.

Mobilisasi atau perpindahan manusia adalah alasan mengapa penyakit bisa menyebar. Alasan perpindahan tersebut bisa beragam mulai dari kolonialisasi, eksodus atau memang menghindar dari wabah. Penyakit Pes bisa berkembang luar biasa di seluruh Eropa juga diakibatkan oleh para orang kaya yang berpindah ketika mengetahui bahwa lingkungannya telah terjangkit tanpa sadar mereka membawa serta mikroba yang keburu melekat ke wilayah yang baru. Pada penyakit cacar contohnya, jika salah satu manusia berasal dari satu lingkungan sudah menjadi kebal terhadap penyakit tersebut dan tidak sengaja membawanya ke lingkungan di mana manusia-manusia pada lingkungan baru tersebut belum pernah terpapar dan tidak memiliki imun terhadap penyakit tersebut maka wabah bisa dimulai.

Baca juga:Serangga Bantu Kebersihan Kota New York

Belajar dari Sejarah Wabah

Sesungguhnya, penyakit khususnya yang menjadi epidemi, membunuh lebih banyak manusia di muka bumi ini dibandingkan perang. Prajurit pada perang dunia pertama lebih banyak meninggal akibat disentri daripada terbunuh dalam pertempuran itu sendiri. Sejarah juga mencatat bagaimana menyerahnya bangsa Aztek pada kolonial Spanyol pada 1519 juga akibat tersebarnya wabah cacar yang sampai merenggut Kaisar Cuitlahuac sebagai pemimpin bangsa Aztek. Bukan (hanya) persenjataan Spanyol dan strategi berperang yang memenangkan tapi ketidaksengajaan budak yang terkena penyakit cacar yang dibawa kolonial Spanyol lah yang membuat bangsa Aztek akhirnya tunduk. Penyakit ini yang membuat seakan-akan menandakan bahwa orang-orang Spanyol tidak bisa disentuh dan ditaklukan.

Penyakit menjadi sebuah epidemi atau wabah berdasarkan definisi Undang-undang negara Indonesia Nomor 4 tahun 1984 yakni "berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi ... keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka". Sedangkan Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday mencoba menjelaskan asal-usul wabah dan bagaimana penangannya sampai hari ini.

Jared menyebut wabah menular dengan crowd desease. Sebuah penyakit terbatas pada populasi manusia yang besar, berjumlah mencukupi sehingga bisa berpindah dari satu daerah, punah di satu tempat namun masih ada di bagian populasi yang lebih jauh. Penyakit-penyakit ditularkan secara efisien, berkembang secara akut, menimbulkan kekebalan seumur hidup pada korban-korban yang sintas dan terbatas pada manusia. Perkembangan akut sebuah penyakit adalah dalam waktu singkat semua orang dalam populasi setempat telah telah tertular penyakit tersebut kemudian berstatus almarhum atau sembuh sama sekali.

Bagaimana dengan pengalaman Nusantara dengan wabah? STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia yang selalu didaulat sebagai cikal-bakal Universitas Indonesia sesungguhnya adalah pendidikan khusus yang dibuat oleh pemerintah kolonial untuk mengatasi wabah cacar di kalangan penduduk jajahan. Sering kali wabah diperlakukan sebagai sesuatu yang mistis, disebabkan kutukan dari Tuhan atau karma bagi penduduk sebuah tempat tertentu. Dalam wabah, banyak masyarakat menjadi pasrah dalam menanganinya atau melakukan penalaran yang tidak masuk akal dengan pendekatan relijius.

Pentingnya Vaksin dan Sanitasi

Pendekatan relijius dan mistis untuk mengatasi wabah sering kali menjadi hambatan untuk mengatasi benar-benar penyakit yang disebabkan oleh mikroba. Hal ini yang menjadi bahaya bagi peradaban manusia yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap penyakit, mekanisme yang mendasarinya dan mengenai pengobatan dan tindakan pencegahan yang efektif adalah hal yang paling dibutuhkan. Banyak penyakit ditimbulkan oleh lingkungan yang tidak sehat seperti pes dan demam berdarah. Vaksin adalah solusi yang tepat unutk mencegah cacar dan campak menjadi epidemi di masyarakat karena bai-bayi yang baru lahir dan anak-anak memiliki kerentanan paling tinggi.

Sanitasi dan promosi budaya kebersihan menjadi lebih penting lagi akibat banyaknya penyakit epidemik yang mudah sekali tersebar melalui sumber air. Sumber air yang tidak bersih selain menjadi wahana penyebaran mikroba itu sendiri juga menjadi tempat tinggal bagi hewan kecil yang mampu menjadi inang bagi mikroba penyebab penyakit. Apabila kepadatan penduduk menjadi syarat berkembangnya suatu penyakit menjadi epidemi, maka perbaikan gaya hidup bersih mampu menjadi gerbang utama untuk mencegahnya karena sebagaimana dikatakan pepatah, "lebih baik mencegah daripada mengobati.”

Penulis: Nadya Karima Melati (ap/vlz)

Essais dan Peneliti Lepas. Koordinator SGRC (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies). Tertarik pada topik sejarah sosial, feminologi dan seksualitas.

@Nadyazura

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis