1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sejarah Kelam, Tema Tabu di Cina

1 Oktober 2009

Cina memang sudah lebih terbuka. Tapi banyak peristiwa sejarah yang tabu didiskusikan secara terbuka; bencana kelaparan tahun 1959-1961, penindasan pada masa Revolusi Kebudayaan dan pembantaian gerakan demokrasi 1989.

https://p.dw.com/p/JvZA
Parade perayaaan berdirinya Republik Rakyat Cina di BeijingFoto: AP

Media Cina sejak beberapa minggu terakhir menyoroti persiapan perayaan 60 tahun pendirian republik komunis. Sejarah negeri itu selalu digambarkan sebagai suatu keberhasilan. Bencana yang pernah terjadi tidak diceritakan. Demikian juga berbagai aksi penindasan politik. Salah satu bencana besar yang pernah terjadi adalah bencana kelaparan tahun 1959 sampai 1961. Sekitar 30 juta warga Cina diperkirakan meninggal. Ketika itu, Mao sedang merencanakan revolusi industri besar-besar-an dengan apa yang disebut Loncatan Besar ke Depan. Semua sektor dikelola secara kolektif dan diatur dengan ketat. Karena rencana pertanian yang salah, akibatnya terjadi bencana kelaparan besar. Tapi bagian sejarah ini tidak boleh didiskusikan secara terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh penerbit dan penulis kritis Cina, Zhou Qing..

„Sekarang di Cina situasinya adalah, ruang publik diawasi sangat ketat. Sedangkan dalam ruang pribadi ada kebebasan. Pertengahan 90-an misalnya, saya memimpin sebuah koran yang namanya Cerita Sejarah. Biro Pers dan Publikasi sangat mengawasimya. Menjelang perayaan 60 tahun ini, sejak tahun lalu semua kampanye politik dilarang. Tidak boleh ada publikasi yang bisa memberi citra negatif. Tapi di ruang pribadi situasinya lain. Kalau di rumah, tentang masa lalu sudah bisa dibicarakan.”

Ruang pribadi yang dimaksud Zhou Qing sekarang sudah makin luas, karena ada internet. Sekalipun ada sensor, warga Cina di perkotaan bisa membahas kejadian-kejadian masa lalu. Misalnya tentang masa revolusi kebudayaan, yang dilihat sebagai masa penindasan yang mengerikan dan tidak boleh terulang lagi. Bahkan di kalangan universitas sudah ada diskusi kritis. Tapi tetap ada batasannya. Jurnalis Dai Qing menerangkan:

„Sikap instansi resmi Cina sangat jelas. Semua pimpinan besar tidak boleh dikritik. Juga aksi-aksi politik yang membawa bencana, seperti revolusi kebudayaan, harus dilupakan. Gambar raksasa Mao tetap akan tergantung di gerbang Tiananmen. Mao tetap akan jadi pemimpin besar Cina. Ini batas-batasnya,“ demikian keterangan seorang jurnalis, Dai Qing.

Sejak pertengahan 90-an, ada gerakan yang mencoba mendobrak batas-batas tabu ini. Pencetusnya para jurnalis dan penulis kritis. Mereka menyebutinya sebagai gerakan sejarah lisan, atau oral history. Mereka mengumpulkan kesaksian-kesaksian lisan dari para saksi sejarah. Tapi memang tidak mudah melakukannya. Penulis kritis Zhou Qing menceritakan:

„Sejarah lisan, itu satu kemungkinan. Pengalaman saya, banyak orang yang mengalami ketakutan selama 60 tahun ini. Tahun 2004 misalnya, saya mulai melakukan wawancara tentang bencana kelaparan selama 1959 sampai 1961. Saya ingin tau tentang kasus-kasus kematian karena kelaparan. Di setiap provinsi saya mencoba melakukan wawancara dengan lima saksi sejarah. Kalau kebetulan ada di lokasi, saya melakukan wawancara langsung. Kalau tidak, wawancara lewat telepon. Di daerah-daerah yang dilanda bencana kelaparan yang parah, orang-orang masih takut bercerita. Misalnya di Henan. Banyak desa yang kosong karena warganya mati kelaparan. Saya menelepon 15 orang dari keluarga yang berbeda-beda. Tidak ada satu pun yang mau berbicara tentang kasus itu.“

Shi Ming/Hendra Pasuhuk

Editor: Yuniman Farid