1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sekolah Dasar di Jerman Kekurangan Guru Laki-Laki

Ramona Schlee22 November 2013

Sekolah dasar di Jerman kekurangan guru laki-laki. Hanya 12 persen guru sekolah dasar di Jerman adalah laki-laki. Untuk itu di Bremen digagas program “Rent a Teacherman“.

https://p.dw.com/p/1ALwB
Para Pendukung program "Rent a Teacherman" Universität Bremen: Erik Schäfer, Annett Möller, Kristian BunteFoto: DW/R. Schlee

Christoph Fatini, seorang ahli pendidik di Universitas Bremen mengatakan jumlah guru sekolah dasar laki-laki di Jerman sangat sedikit. Bahkan, tak satu dari sepuluh orang guru SD adalah laki-laki. Berbeda dengan dulu, lebih dari 30 tahun yang lalu jumlah guru laki-laki di Jerman hampir mencapai lima puluh persen.

Untuk mengatasi kurangnya guru laki-laki di sekolah dasar, Fatini yang bekerja sama dengan 2 lembaga pemerintahan di Bremen kemudian menciptakan program “Rent a Teacherman“. Program ini adalah program percontohan. Melalui program ini, ia berharap profesi guru sekolah dasar bisa menjadi profesi pilihan bagi kaum laki-laki yang diterima di masyarakat.

Profesi Guru SD Hanya Untuk Perempuan

Erik Schäfer seorang mahasiswa Bremen yang mengambil jurusan pendidikan guru sekolah dasar merupakan salah satu peserta program ini. Sekali dalam seminggu ia datang secara sukarela ke salah satu sekolah dasar di Bremen untuk mengajar. Di sekolah ini, ia merupakan satu-satunya guru laki-laki.

Secara keseluruhan di Bremen terdapat 74 sekolah dasar. 17 diantaranya tidak memiliki guru pengajar laki-laki. Di 17 sekolah dasar inilah para peserta program “Rent a Teacherman” disalurkan.

Mahasiswa jurusan keguruan lainnya, Kristian Bunte berpendapat untuk bisa membuat anak-anak kecil senang belajar seorang guru harus menguasai banyak teori dan praktek mengajar. Sayangnya hal ini tidak banyak diketahui orang. “Sebagian besar orang percaya bahwa pelajaran di sekolah dasar hanya seputar menyanyi dan membuat kerajinan tangan. Dan pekerjaan itu dianggap tidak maskulin” keluhnya.

Christoph Fantini – Erziehungswissenschaftler an der Uni Bremen. Er hat in Bremen das Projekt „Rent a Teacherman“ ins Leben gerufen Copyright: DW/Ramona Schlee.
Christoph Fantini penggagas program "Rent a Teacherman" Universität BremenFoto: DW/R. Schlee

Sudut Pandang Laki –Laki Dalam Pendidikan

Annett Möller, seorang kepala sekolah di sebuah SD di Bremen mengaku, telah beberapa tahun berusaha mencari guru laki-laki. Usahanya selalu sia-sia. Karena itu, ia merasa sangat senang ketika Erik Schäfer datang melamar dan mengajar seminggu sekali di sekolahnya

Möller mengeluhkan kurangnya perspektif laki-laki di sekolahnya. Ia mencontohkan, jika melihat perkelahian, perempuan cenderung langsung bertindak. Berbeda dengan laki-laki. Mereka membiarkan perkelahian itu berlangsung sejenak dan baru memisahkan jika sudah melampaui batas.

Beberapa Pekerjaan Mulai Ditinggalkan Kaum Lelaki

Data-data statistik menunjukkan bahwa laki-laki mulai meninggalkan bidang-bidang pekerjaan yang berhubungan dengan “mengasuh“ dan “mengurus“ seperti profesi guru, pekerja sosial atau perawat. Akibatnya fatal. “Jika laki-laki keluar dari pekerjaan-pekerjaan ini, anak-anak tidak akan bisa belajar dan mengenal keberagaman“ kritik Meike Sophia Baader, profesor ilmu pendidikan di universitas Hildesheim. Karena kurangnya contoh teladan laki-laki yang bekerja di bidang ini. Akibatnya orang akan beranggapan bahwa "mengurus" dan "merawat orang" adalah pekerjaan perempuan.

Kekurangan guru laki-laki juga terjadi di negara-negara Eropa lain, seperti di Polandia, jelas Baader. Berbeda halnya dengan negara-negara di Skandinavia. Di negara-negara ini jumlah guru laki-laki dan perempuan di sekolah dasar hampir seimbang. Baader menegaskan, hal tersebut bukan karena gaji guru disana yang lebih bagus. Karena gaji guru di Jerman dalam perbadingan internasional juga sangat bagus. “Profesi guru dan tenaga pendidik punya citra yang bagus di mata masyarkat skandinavia” katanya.