1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sekolah Hijau di Jakarta

28 April 2011

Dari lima ribu sekolah di Jakarta, SMP Negeri 103, terpilih sebagai salah satu sekolah yang paling peduli terhadap pelestarian lingkungan hidup. Penghargaan Adiwiyata diraihnya tahun lalu.

https://p.dw.com/p/115Uo
Symbolbild: Pflanzen, Pflanzenschutz, Umwelt, Umweltschutz. Zwei Hände mit Erde halten den Baumschößling einer Esche. (Undatierte Aufnahme). Foto: Michael Rosenfeld +++(c) dpa - Report+++
Gambar simbol. Pelestarian lingkungan hidup dengan penanaman pohonFoto: picture-alliance/ dpa

Pembina Siswa Peduli Lingkungan SMP Negeri 103 Jakarta, Lilis Yuliani membeberkan rahasia untuk mempertahankan penghargaan Adiwiyata. Adiwiyata adalah penghargaan dari pemerintah kepada sekolah yang peduli terhadap pelestarian lingkungan.

Ia menjelaskan, "Rahasianya adalah demo lingkungan. Demo lingkungan itu dari murid yang membentuk kelompok. Diantaranya, Kelompok demo sampah organik dan non organik. Lalu, kelompok penaman tanaman obat. Kelompok global warming. Kemudian ada kelompok khusus sosialisasi daerah sungai yang hijau, asri dan tak tercemar polutan. Mereka jalan dari sekolah ke lingkungan sekitar sekolah. Mereka membawa poster, membagikan bibit tanaman, memberikan pamflet yang berhubungan dengan penghijauan. Mereka juga melakukan penyuluhan kepada para pejalan kaki."

Kata Lilis Yuliani, kegiatan ini rutin seminggu sekali. Dan aksi ini merupakan inisiatif para siswa. SMP Negeri 103 Jakarta mendapat Adiwiyata tahun lalu. Sekolah yang berada di kawasan Jakarta Timur, berniat mempertahankan penghargaan itu.

Siswa Ikut Berperan

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, siswa-siwa SMP Negeri 103 berhamburan ke luar kelas. Rabil Pratama Aji ada di antara mereka. Siswa berumur 14 tahun, ini salah satu penggagas demo lingkungan di masyarakat.

Ia menjelaskan, "Jadi, kegiatannya itu kita melakukan pembelajaran dan pengajaran terkait soal lingkungan dari usia muda. Itu diperuntukkan pada teman-teman. Baik itu adik kelas mau pun kakak kelas. Bukan hanya itu, kepedulian terhadap lingkungan perlu dilakukan pada masyarakat sekitar. Misalnya, kita juga melakukan penanaman pohon di sekolah-sekolah lain. Jadi ini keinginan saya untuk melakukan dari usia muda. Jadi, saya mau mulai cinta lingkungan dari awal."

Siswa lainnya, Tasya Nafasya Putri, juga ikut andil dalam membudayakan pelestarian lingkungan di Sekolah. Dia mengajarkan menaman pohon para siswa Sekolah Dasar yang bersebelahan dengan Sekolahnya. Menurutnya, pelestarian lingkungan perlu dimulai sejak dini, mengingat lingkungan Jakarta saat ini sudah rusak dengan polusi. "Saya punya harapan, kalau ke depan, Jakarta bisa lebih bersih, dan banyak pohon. Karena, Jakarta saat ini sangat gersang dan panas. Penghijauannya itu kurang. Mimpi saya Jakarta bisa lebih hijau."

Menanam di Sekolah

SMP Negeri 103 Jakarta luasnya satu hektar. Di tengah gedung sekolah, puluhan pohon tingginya bisa mencapai 10 meter dengan usia lebih dari 20 tahun. Seperti pohon Cemara, Palem, Mangga dan Rambutan. Pemandangan ini, seperti hutan di dalam sekolah. Sementara, di tiap sisi bangunan ditanami berbagai macam tanaman obat keluarga.

Guru Fisika SMP Negeri 103, Supriyono memaparkan "Di sini, ada lebih dari 200 jenis tanaman obat. Ini ada Lavender, Daun Ungu. Banyak sekali. Ini semua kita cari dari pelbagai tempat. Dari Taman Mini Indonesia Indah, Trengganis, Bogor, Jawa Barat. Ini ada pohon kecubung yang informasinya tak bisa tumbuh di Jakarta, tapi di sini bisa tumbuh. Kemudian ada juga Buah Makasar, lalu Mahkota Dewa. Ini kalau kita tahu fungsinya, sangat banyak sekali manfaatnya untuk obat tradisional."

Sekolah ini juga punya lahan percontohan untuk pertanian. Seperti uji coba penanaman padi. Kata Supriyono, kebanyakan siswa saat ini tak mengerti proses nasi yang dimakan sehari-hari. "Jadi mulai dari penanaman bibit, kemudian tumbuh menjadi pohon padi kecil. Lalu di tanam lagi dengan jarak tertentu. Lalu, pohon padi itu tumbuh besar. Jadi, proses kemunculan buah padi itu bisa dimengerti siswa. Dari awal penanaman sampai jadi nasi. Jadi itu bisa jadi pembelajaran, meskipun hanya sedikit."

Menjadi Sekolah Hijau

Meski sudah waktunya pulang sekolah, masih banyak siswa yang bertahan duduk di pelataran sekolah. Mereka ngobrol sambil sesekali bercanda di bawah rindang pepohonan. Saat itu, Wakil Kepala Sekolah SMP Negeri 103, Kusmayadi baru keluar dari ruang guru. Ia memandang ke halaman hijau terbentang. Kata dia, proses menjadi sekolah hijau butuh waktu 20 tahun. Salah satu upaya membentuk budaya peduli lingkungan adalah membuat aturan. Semua guru yang mengajar di sini diwajibkan punya kompetensi dasar tentang pelestarian lingkungan.

"Iya, kita memang mewajibkan. Artinya, minimal guru-guru itu punya kompetensi dasar pada lingkungan. Jadi kan tiap mata pelajaran itu, ada beberapa kompetensi dasar yang berafiliasi pada lingkungan hidup. Itu yang kita terus sosialisasikan pada guru-guru. Misalnya pada pelajaran agama itu juga bisa terintegrasi dengan lingkungan. Kemudian pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan juga ada."

Menyusupi isu lingkungan hidup di tiap mata pelajaran justru membuat pola pembelajaran lebih menyenangkan dan mudah dimengerti oleh siswa. Seperti ketika Lilis Yuliani mengajarkan mata pelajaran matematika pada siswanya.

"Misalnya, mata pelajaran matematika. Bila dihubungkan dengan lingkungan itu memang sulit. Tapi, pada sub pelajaran tertentu, anak-anak bisa diajak ke luar kelas. Lalu mereka diminta untuk mengukur ketinggian pohon yang ada di sekolah. Jadi, kita bisa menggunakan rumus pyhtagoras untuk mengukur ketinggian pohon tersebut. Jadi pelajaran di sini selalu dihubungkan dengan lingkungan," demikian Lilis Yuliani.

SMP Negeri 103 terus giat menularkan budaya pelestarian lingkungan pada siswa dan sekolah tetangga. Melahirkan tunas-tunas baru yang peduli lingkungan, sambil bersaing memperebutkan penghargaan Adiwiyata.

Mohammad Irham

Editor: Marjory Linardy