1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sekolah Mahal Bisa Jadi Jaminan Masa Depan Cemerlang?

Uly Siregar
23 Februari 2019

Seberapa mahal menyekolahkan anak di Jakarta, terutama di sekolah swasta? Apakah sekolah mahal itu jaminan anak jadi cerdas? Simak opini Uly Siregar berikut ini. Ada sependapat dengannya?

https://p.dw.com/p/32cfJ
Schülerin in Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham

"Hidup di Jakarta itu berat. Biar mereka yang punya duit saja, jangan kamu.”  Mungkin begitu nasihat yang akan saya berikan pada mereka yang bercita-cita ingin bermukim di Jakarta.

Bagi mereka yang berkeluarga dan memiliki anak usia sekolah, persoalan di Jakarta tak hanya tentang mencari tempat tinggal yang kian hari kian tak masuk akal harganya, atau peliknya mengarungi jalan-jalan di Jakarta yang tak kunjung lepas dari kemacetan, tapi juga hal-hal dasar lainnya seperti pendidikan.

Salah satu tugas terberat bagi orangtua dalam membesarkan anak adalah memilihkan sekolah yang tepat untuk anak usia sekolah sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh orangtua.

Tak hanya soal biaya, orangtua juga harus mempertimbangkan beragam faktor dalam memilihkan sekolah bagi anak-anak. Bila memasukkan anak ke sekolah negeri yang gratis atau relatif murah biayanya, apakah sekolah tersebut bagus kualitas pendidikannya dan memiliki cukup sarana penunjang belajar.

Penuilis: Uly Siregar
Penuilis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Sementara, bila memutuskan mengirim anak ke sekolah swasta yang umumnya mahal, benarkah tak hanya karena gengsi, dan cukupkah informasi yang digali orangtua dalam memilih sekolah dengan kurikulum yang cocok untuk perkembangan anak.

Dikabarkan inflasi pada sektor pendidikan di Indonesia mencapai angka 20 persen setiap tahunnya. Angka ini mencapai dua kali lipat inflasi rata-rata yang hanya berkisar antara 10 persen per tahun.

Inflasi pada sektor pendidikan jelas melambungkan biaya pendidikan dari tahun ke tahun. Padahal biaya pendidikan tak melulu hanya uang sekolah dan biaya lainnya yang berkaitan dengan pendaftaran sekolah. Ada lagi biaya buku, seragam, makan siang, dan sebagainya. Kalau anak masuk ke jenjang kuliah di kota yang terpisah dari orangtuanya, maka ada pula biaya akomodasi dan sebagainya yang jumlahnya bisa mencapai 30 hingga 40 persen dari total biaya pendidikan.

Seberapa mahal menyekolahkan anak di Jakarta, terutama di sekolah swasta?

Mahal tentu relatif. Tapi sebagai gambaran, seorang teman menyekolahkan anaknya di Highscope Jakarta Selatan. Uang yang ia keluarkan untuk mendaftarkan anaknya yang duduk di kelas 7 (setara kelas 1 SMP) Rp 65 juta, dengan uang sekolah Rp 6,5 juta per bulan (termasuk biaya kupon makan siang). Biaya ini belum termasuk uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2,5 juta per semester.

Sekolah di Tangerang pun tak kalah mahal. Teman yang lain menyekolahkan anaknya yang baru kelas 2 SD dengan uang masuk Rp 40 juta, dan uang sekolah Rp 2,8 per bulan. Ini belum termasuk biaya ekstrakurikuler. Sang anak memilih les robotik yang dikenakan biaya Rp 250 ribu per bulan, dan les bola basket seharga Rp 200 ribu per bulan. Ditambah lagi les Mandarin Rp 350 ribu per bulan, dan les piano Rp 550 ribu per bulan.

Sekolah Pembangunan Jaya di Bintaro, Tangerang Selatan juga hampir sama mahal. Teman saya ini menghabiskan Rp 31 juta rupiah untuk mendaftarkan anaknya yang masuk kelas 7 untuk masuk sekolah tersebut. Harga yang dipatok telah termasuk iuran sekolah bulan pertama dan uang seragam.

Mengapa orangtua ngotot menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah mahal? Ada banyak alasan. Bagi Andrie Anne, selain  kualitas guru yang baik, rasio antara guru dan murid, jarak yang dekat antara rumah dan sekolah menjadi alasan utama.

Plus, sekolah yang ia pilih untuk anaknya berlanjut hingga ke jenjang SMA. Ia juga memilih sekolah dengan kurikulum yang mengasah jiwa wirausaha dari usia belia, termasuk penekanan pada multi intelektualitas, menghargai perbedaan, interpersonal skill, teamwork, attitude, dan lain-lain.

Satu lagi yang sering menjadi pertimbangan utama dalam memilih sekolah untuk anak: agama.

Banyak orang tua yang ngotot menyekolahkan anaknya di sekolah yang berlabel agama. Yang Islam ke sekolah berbasis agama Islam, yang Katolik ke sekolah yang ditangani para suster. Tapi banyak juga orangtua yang justru ingin sekolah bersifat plural, seperti Novita.

Sementara banyak yang memilih sekolah yang berdasarkan agama tertentu untuk anak mereka, sebagai seorang muslim, ia sengaja memilih sekolah yang tak berbasis agama. Alasannya agar anak-anak lebih menghargai perbedaan. Ia merasa khawatir dengan semakin menajamnya perbedaan antaragama yang sering memicu konflik, bahkan di tingkat perkawanan anak-anak. Sebuah alasan yang mulia, dan patut diacungi jempol.

Di sekolah yang pilih untuk kedua anaknya, keragaman latar belakang siswa setiap hari dirayakan, minimal dalam bentuk ornamen-ornamen cantik yang menghiasi sekolah: ketupat, pohon Natal, sesajen canang sari, angpao, dan sebagainya.

Tapi benarkah janji-janji tentang kualitas pendidikan yang diberikan sekolah swasta mahal pada orangtua murid sungguh-sungguh harus berongkos mahal? Ataukah itu hanya bagian dari komersialisasi pendidikan? Jangan-jangan pendidikan sesungguhnya hanya murni barang dagangan yang dibungkus dengan janji-janji mencerdaskan anak dan menyasar pada para orangtua yang tak percaya diri bila tak menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta mahal?

Masalah gengsi

Meskipun kedengaran sepele, soal gengsi ternyata sering jadi alasan untuk menyekolahkan anak. Apapun yang berlabel ‘Internasional' menjadi laku dijual di Indonesia.

Asalkan bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar berbahasa Inggris, langsung masuk kategori sekolah swasta mahal dan bagus. Sekolah dengan field trip ke luar negeri? Pasti sekolah keren. Bangunan sekolah megah, fasilitas pendukung mewah dan lengkap, guru-guru dengan status ekspatriat?

Pastilah sekolah idaman orangtua untuk anaknya. Belum lagi pilihan sekolah berdasarkan ‘peer pressure'. Kalau si A bisa menyekolahkan anaknya di sekolah X yang luar biasa mahalnya, kenapa saya tidak?

Menyekolahkan anak dengan biaya semahal apapun, jelas bukan hal yang kelewat buruk. Apalagi kalau cita-cita yang dituju luhur: mempersiapkan anak untuk memiliki pengetahuan, wawasan, dan kepribadian internasional setara dengan mereka yang berada di Singapura, Amerika Serikat, Finlandia, atau negara maju manapun di belahan dunia.

Di sekolah-sekolah swasta mahal, metode pengajaran model lama yang sifatnya satu arah dan menekankan pada kemampuan menghapal pelajaran tak lagi diaplikasikan.

Yang pasti, dalam memilih sekolah, tetaplah berpatokan pada kepentingan anak, bukan ambisi orangtua semata. Sekolah dengan fasilitas lengkap dan modern, tentu menyenangkan, tapi bukan yang terpenting.

Yang sangat penting adalah situasi belajar yang terjadi antara murid dan guru, dan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah selaras dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan orangtua pada anak-anak mereka. Bila ini terpenuhi, mudah-mudaha anak bisa mengembangkan potensi yang terbaik dalam dirinya hingga seoptimal mungkin.

Jadi, para orangtua yang hanya sanggup menyekolahkan anaknya di sekolah negeri terdekat, tak perlu langsung berkecil hati. Toh lulusan sekolah negeri pun banyak yang berkualitas dan melanjutkan ke universitas-universitas ternama, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Ketika lulus kuliah pun tak terbilang yang menempati pos-pos strategis dengan prospek yang cerah. Belum lagi bila menghitung berapa jumlah lulusan sekolah negeri yang kemudian setelah bekerja mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 atau S3 di universitas-universitas terbaik di luar negeri.

Sebaik-baiknya sekolah, peran orangtua untuk turun tangan langsung dalam mendidik anak-anaknya sangatlah besar dalam membantu anak sukses mengembangkan potensi dalam dirinya. 

Pendidikan terbaik sesungguhnya mengutamakan bakat dan minat anak, dengan ditunjang kemampuan finansial orangtua. Jangan sampai gara-gara ngotot ingin menyekolahkan anak ke sekolah mahal, sampai lupa untuk menyiapkan hal-hal lain yang dibutuhkan anak-anak di masa depan yang lagi-lagi membutuhkan dukungan finansial yang tak kecil.

Penulis:

@sheknowshoney

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Sampaikan komentar Anda mengenai opini di atas dalam kolom komentar yang tersedia di bawah ini.