1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Freiburg: Semanis Es Krim Karamel, Selegit Gurih Pretzel

Inda Marlina
5 Maret 2021

Freiburg menjadi segala yang pertama bagi saya. Pertama menginjakkan kaki di Eropa, pertama tahu tentang kebudayaan Jerman, dan mengenal tempat yang dapat disebut “rumah kedua”. Oleh Inda Marlina.

https://p.dw.com/p/3qBAw
Di depan Katedral Freiburger Muenster, penanda kota Freiburg
Di depan Katedral Freiburger Muenster, penanda kota FreiburgFoto: privat

Bayangan nyata tentang Jerman tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Saya hanya tahu negara tersebut dari pertandingan-pertandingan sepak bola melalui Piala Dunia atau Piala Eropa dan bahwa ayah saya selalu menjagokan Jerman di setiap pertandingan sepak bola internasional. Pemain sepak bola dari Jerman favoritnya adalah Jürgen Klinsmann dan Lothar Matthäus. Selebihnya saya tidak memahami satupun budaya ataupun Bahasa Jerman yang katanya dikenal rumit itu.

Perkenalan kembali saya dengan Jerman secara mendalam bermula ketika program studi S1 saya, jurusan antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengadakan proyek penelitian tandem dengan progam studi etnologi dari the Albert Ludwig University of Freiburg (ALU) pada 2010. Dalam program ini, dua mahasiswa dari UGM dan ALU harus bekerja sama dalam satu tema penelitian. Kami harus berbagai pengetahuan, sudut pandang, dan berdiskusi untuk kemudian dipresentasikan pada akhir program.

Motivasi pertama saya ketika memantapkan diri untuk mendaftar program tersebut adalah saya ingin berlatih dan meningkatkan Bahasa Inggris. Ya, tentu karena semua komunikasi di dalam program akan dilakukan dengan Bahasa Inggris. Kedua, saya ingin keluar dari zona nyaman. Saat itu, saya tidak mengetahui apapun selain kehidupan kampus dan organisasi kampus. Saya ingin mencoba hal baru dan bekerja bersama orang-orang baru.

Blog-Beitrag: Meine Studien- und Forschungszeit in Freiburg
Stadtgarten yang indah di kota FreiburgFoto: Privat

Program yang saya ikuti memiliki dua agenda. Pertama, penelitian tandem antara mahasiswa UGM dan ALU di Yogyakarta pada libur semester ganjil pada 2010. Kedua, penelitian tandem yang dilakukan di Freiburg pada musim panas 2011 selama satu bulan. Saya mengikuti penelitian di Yogyakarta dengan lancar. Untuk agenda kedua, saya harus melalui proses seleksi lagi. Setelah melalui proses seleksi, saya  mendapat kesempatan untuk melakukan riset di Freiburg.

Sebelum ke Jerman, saya mendapat kursus Bahasa Jerman dasar selama kurang lebih 3 bulan di Pusat Studi Bahasa Jerman UGM. Menurut saya, ini penting untuk mengetahui bahasa sehari-hari dan dasar, minimal jika ke supermarket atau ke kantin kita bisa menjelaskan apa yang ingin kita beli. Terbukti, kursus ini sangat membantu saya ketika ingin membuka percakapan agar lebih akrab dengan informan.

Dari program inilah saya juga jadi mengetahui ketatnya aturan mengurus visa di Eropa. Beberapa teman saya harus mengulang foto karena tidak sesuai dengan aturan tersebut. Namun, saya belajar agar selalu teliti dalam membaca peraturan-peraturan di tempat baru. Setelah urusan visa dan imigrasi selesai, kami bertolak ke Freiburg pada Mei 2011. Kami disambut dengan sangat meriah oleh teman-teman tandem kami yang tahun sebelumnya melakukan riset di Yogyakarta saat tiba di Stasiun Freiburg.

Freiburg Hauptbahnhof
Sambutan hangat teman-teman tandem di stasiun kereta api FreiburgFoto: Privat

Memahami Budaya yang Berbeda antara Jerman dan Indonesia

Saya banyak belajar mengenai berbagai macam budaya dan tentang kehidupan di kota ini. Saya pernah menghadiri kelas memasak oleh ibu-ibu dari Turki. Di kelas tersebut, banyak pula tetangga sekitar dari Jerman yang ingin belajar memasak bersama. Sebagian dari mereka yang ikut kelas tersebut tidak dapat berbahasa Inggris, saya pun hanya bisa mengucapkan sepatah dua patah kata dasar dalam Bahasa Jerman. Akan tetapi, saya mengetahui bahwa mereka sangat antusias dan tulus bertemu dengan orang baru.

Semua memeluk saya ketika saya memperkenalkan diri. Bagi saya yang tidak terbiasa menerima pelukan saat berkenalan dengan orang asing (bahkan dengan perempuan sekalipun) membuat saya cenderung kaget. Namun, semakin lama saya menyadari bahwa gestur ini merupakan cara mereka untuk bersikap akrab. Hal ini juga berlaku pada beberapa orang informan saya dari Jerman. Ketika mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan, mereka tidak sungkan untuk memeluk. Meski tidak dapat memukul rata semua akan bersikap demikian, saya bersyukur bertemu orang-orang yang sangat baik di Freiburg.

Di Freiburg, saya belajar hal paling mendasar yaitu tepat waktu. Waktu sangat berharga di sini. Saya pernah terlambat datang 15 menit ketika ada janji untuk wawancara. Untungnya, informan saya masih mentolerir hal tersebut dan masih bersedia wawancara dengan saya. Sejak saat itu, saya selalu berangkat kurang lebih 1 jam sebelum waktu yang dijanjikan.

Saya juga belajar tentang memanfaatkan waktu dengan baik. Flat tempat tinggal saya ditinggali oleh mahasiswa. Mereka berasal dari berbagai penjuru dunia seperti Jerman, Vietnam, Amerika Serikat, hingga Meksiko. Suatu hari, saya diajak untuk ikut rapat mengenai pesta yang akan diadakan saat akhir pekan. Kami hanya merapatkannya sekali kemudian langsung menyusun pembagian tugas logistik untuk pesta. Saya punya tugas untuk memanggang pizza. Sebelum akhir pekan, kami sibuk dengan tugas di kampus. Saat Jumat malam, mereka sudah "melepaskan” kewajiban sebagai mahasiswa dan fokus pada persiapan pesta. Ketika pesta selesai pada Minggu dini hari, keesokan pagi hingga siang hari mereka membersikan flat agar hari Minggu malam dapat menjadi tempat kondusif untuk belajar. Istilah "work hard, play hard” mungkin sangat cocok disematkan pada teman-teman saya itu.

Subyek penelitian saya saat itu adalah motivasi pemuda yang bergabung dalam politik, terutama para pemuda yang bergabung dengan organisasi Grüne Jugend dari Die Grünen (Partai Hijau). Saya menemukan banyak pemuda yang melek politik sejak dini. Mereka juga berani mengungkapkan pendapat mereka dengan berbagai media seperti film, musik, seni lukis, bahkan berdebat secara langsung. Saya berkesempatan untuk mengunjungi kegiatan bertajuk Move It, sebuah kegiatan yang mengenalkan organisasi-organisasi di Freiburg mulai dari organisasi politik dari partai hingga organisasi pecinta lingkungan. Acara ini adalah acara anak muda dalam mengekspresikan ide, pendapat, dan pandangan mereka terhadap isu-isu sosial.

Acara kampanye menolak pembangkit nuklir di taman kota Freiburg
Salah satu acara kampanye menolak pembangkit nuklir di taman kota yang dihadiri Grüne JugendFoto: Privat

Dalam acara Move It  tersebut, saya bertemu anak-anak muda yang mungkin berusia kurang lebih 13-15 tahun. Kebetulan, saya berada di sekitar stan organisasi Grüne Jugend, sehingga saya dapat mengamati setiap pengunjung stan. Mereka terlihat antusias mengunjungi stan demi stan untuk bertanya.

Selain belajar mengenai budaya yang ada di Freiburg, saya juga belajar mengenai riset tandem dengan mahasiswa Jerman. Riset kolaboratif ini sangat membantu saya memahami budaya dan kehidupan dari sudut pandang orang yang berasal dari Jerman. Penelitian-penelitian antropologi yang saya kenal biasanya menguraikan bagaimana peneliti dari Barat melakukan penelitian di negara-negara Asia, Afrika, atau Amerika Selatan. Bahkan, antropolog dari Indonesia sendiri juga banyak melakukan penelitian di Indonesia. Dari program tandem ini, saya memiliki kesempatan untuk mempelajari kebudayaan masyarakat di Eropa. Mengenal kebudayaan lain sama dengan melihat dengan perspektif baru, membuka pemikiran, dan menerima perbedaan yang ada di sekitar kehidupan kita. Dengan mengenal banyak perbedaan, saya dapat lebih menghargai orang lain dan tidak mudah menilai sesuatu dari permukaan saja.

Rumah Kedua

Penelitian di Freiburg mendorong saya untuk bertekad akan menginjakkan kaki lagi di sana. Setelah lulus dari S1, pada 2014 lalu saya sempat mengikuti kursus Bahasa Jerman di Goethe Institute ketika bekerja di Jakarta, suatu usaha agar saya bisa ke Jerman lagi. Namun, garis nasib belum mengizinkan saya untuk berkunjung ke Jerman saat itu.

Delapan tahun kemudian, ketika kembali kuliah S2 di UGM, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti sandwich program untuk penelitian dan menulis tesis di Norwegia selama satu tahun. Setelah menyelesaikan tesis, saya tanpa ragu menyusun perjalanan ke beberapa negara Eropa, termasuk Jerman. Salah satu kota yang saya kunjungi tentu saja adalah Freiburg. Saya menghabiskan waktu tiga hari di sana untuk menyusuri segala sudut yang pernah saya lewati sambil bernostalgia tentang perjumpaan saya dengan Freiburg. Membutuhkan waktu 8 tahun agar bisa menikmati es krim yang ada di dekat Stadttheater itu lagi dan saya masih teringat rasa legit gurih pretzel hangat yang keluar dari panggangan toko itu. Rasa yang sama setelah 8 tahun, meski banyak perubahan di sekitarnya. Semoga saya bisa mengunjungi Freiburg lagi suatu saat nanti.

*Penikmat es krim, film, dan karya-karya etnografi. Saat ini lebih banyak tinggal di Surakarta.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)