1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Seni dan Mata Uang Kripto

Musiker Ananda Sukarlan
Ananda Sukarlan
24 Juli 2021

"Seniman sejati itu miskin." Entah kenapa anggapan itu cukup populer, bahkan orangtua saya memperingatkan semasa remaja bahwa seniman itu pertanyaannya bukan "makan apa" tapi "apa makan", ujar seniman Ananda Sukarlan.

https://p.dw.com/p/3xq4X
Seni bisa dibayar pakai mata uang kripto?
Gambar ilustrasi bitcoinFoto: Nicolas Economou/NurPhoto/picture-alliance

Di Eropa, hak cipta belum bisa secara akurat memberi imbalan kepada para pencipta seni; di Indonesia bahkan masih lebih ke debat dan bahan diskusi. Dengan teknologi saat ini, anggapan itu harusnya 100% salah. Seniman harus merangkul dunia teknologi seerat-eratnya untuk bisa terus berkarya dan menjual karyanya.

Contoh yang sudah populer: Software Smart X yang mengerjakan perdagangan valuta asing,  berdasarkan statistik dua tahun terakhir menghasilkan kemenangan 85%, sehingga resiko trading menjadi rendah karena tingkat keuntungan yang tinggi tersebut. "Artificial Intelligence" menang terhadap "Natural Stupidity" (dan emosi yang sering tidak bisa dikontrol) dari broker manusia.

Musisi: Ananda Sukarlan
Penulis: A.SukarlanFoto: privat

Kini cryptocurrency atau mata uang virtual atau kripto akan secara radikal mengubah konsep keuangan, nilai, tata kelola, internet, dan banyak lagi. Dari situ, Non-Fungible Tokens (NFT)-lah yang secara radikal akan mengubah ekonomi dan budaya.

Ide cryptocurrency atau mata uang kripto sebetulnya sudah ada sejak 2008, saat Satoshi Nakamoto mengusulkan ide untuk bentuk mata uang digital pertama: bitcoin, yang mengubah cara orang mengirim dan menerima nilai (value), dan berbagai fitur baru terus dihadirkan. Lebih dari satu dekade kemudian seniman musik, visual dan film menerapkan teknologi mata uang kripto untuk mengubah cara menjual karyanya, dan penulis yakin sebentar lagi dunia sastra pun akan merangkulnya.

NFT dapat dibandingkan dengan aset

Aset adalah unit yang dapat dengan mudah dipertukarkan. Misalnya, uang kertas Rp 2000 ditukar dengan dua uang logam @ Rp 1 ribu. Bentuk dan bahannya beda, tapi nilainya sama. Namun jika sesuatu tidak dapat dipertukarkan (hanya bisa diperjualbelikan), berarti alat ini memiliki sifat unik sehingga tidak dapat dipertukarkan dengan yang lain. Ini bisa berupa lukisan, karya musik (partiturnya, rekamannya), karya video, film dsb.

Anda dapat mengambil foto lukisan atau membeli cetakannya, tetapi hanya akan ada satu lukisan yang asli. NFT bisa dianggap sebagai sertifikat kepemilikan untuk aset virtual atau fisik.

Catatan tentang siapa yang memiliki apa disimpan di dokumen yang bernama "blockchain". Blockchain tidak dapat dipalsukan karena dikelola oleh ribuan komputer di seluruh dunia. NFT juga mengandung "kontrak" yang dapat memberi seniman, misalnya, komisi dari penjualan token di masa mendatang.

Seorang seniman menghasilkan karya seni, dan produk itu adalah aset yang menghasilkan uang

Kalau ia sudah menghasilkan banyak karya, harusnya aset tersebutlah yang bekerja untuknya. Di masa lalu, sekalinya seorang pelukis menjual lukisannya, lukisan tersebut menjadi milik pembeli yang kemudian bisa menjualnya dengan harga berapapun dan mengambil 100% keuntungannya. Dengan NFT, sang seniman tetap memiliki aset tersebut sehingga akan selalu mendapat bagian tiap kali karyanya (yang sudah menjadi "milik" orang lain) bertambah nilainya.

Saat ini kita hidup di dunia yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Ini berarti bahwa pertumbuhan dan konsumsi dihargai di atas segalanya. Tidak masalah jika jembatan dibangun hari ini, dihancurkan besok, dan dibangun lagi lusa: itu bagus untuk PDB karena  membangun dua jembatan, walaupun menghabiskan APBN 2 x lipat! Padahal dalam dunia sumber daya yang terbatas, yang terbaik adalah jika kita menggunakan sumber daya lebih efisien untuk satu tujuan. Dalam ekonomi berbasis internet, maka kita dapat menciptakan ekosistem ekonomi berbasis aset digital (NFT), yang relatif murah untuk memproduksinya. Tidak perlu menambang bijih besi atau menebang pohon untuk membuat lebih banyak NFT, hanya kode yang dapat direplikasi. Efisien tapi lebih efektif -- sambil tetap berkontribusi pada PDB.

Cryptocurrency, NFT, Smart X trading, itu semua tetap menjaga uang memiliki likuiditas tinggi, di mana setiap orang bisa mengambil uangnya kapan saja. Sangat berbeda dengan hal-hal seperti ponzi atau "money game" yang menjanjikan keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari keuntungan yang diperoleh oleh individu atau organisasi yang menjalankan operasi ini. Ponzi selalu "menjamin" naiknya nilai tapi justru likuiditas sangat rendah; kerap kali uang kita "beku" dan entah berada di mana saat dibutuhkan.

Salah satu risiko dari perdagangan dan investasi di dunia kripto adalah volatilitas harga yang luar biasa. Hal itu bisa diimbangi dengan mengolah sisa uang kita dengan software Smart X yang lebih menawarkan keamanan, konsistensi dan volatilitas yang cukup rendah. Bahkan penulis melakukan beberapa transaksi keuangan menggunakan smart X, termasuk membayar gaji para staf.

Intinya, seseorang tidak bisa menyebut dirinya kaya atau makmur kalau ia tidak bisa membantu sekelilingnya untuk ikut menjadi makmur. Dalam bahasa Jawa : waras bareng, pinter bareng, sugih bareng!

 

 @anandasukarlan

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log, dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.