1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan Granat Bayangi Kemenangan Presiden Rwanda

12 Agustus 2010

Kemenangan Presiden Rwanda Paul Kagame diwarnai meledaknya granat yang mencederai tujuh orang. Kagame terpilih kembali dengan 93% suara. Begitu diumumkan Komisi Pemilu Rwanda hari Rabu (11.8).

https://p.dw.com/p/Okis
Paul KagameFoto: picture-alliance/dpa

Paul Kagame kembali merebut kursi kepresidenan Rwanda dengan 93% suara. Seperti yang diumumkan oleh Ketua Komisi Pemilu Rwanda pada hari Rabu (11/08). Tampaknya Kagame sudah sedari awal yakin akan menang. Sejak pintu TPS ditutup Senin (09/08), Kagame merayakan kemenangannya di Stadiun Sepakbola Kigali dengan ribuan hadirin.

Untuk Memicu Krisis Politik

Sementara itu, pengumuman kemenangan Kagame dibayangi oleh cederanya tujuh orang akibat ledakan granat. Rabu malam (11/08), sebuah granat dilemparkan ke arah kumpulan orang di sebuah halte bis di ibukota Kigali. Di antara yang terluka terdapat dua orang anak. Petugas keamanan dengan cepat menutup lokasi ledakan, juga untuk pers. Namun sejumlah saksi mata menilai jumlah korban yang cedera lebih dari dua kali lipat. Darah korban menciprat sampai tepian jalan. Sementara para analis memperkirakan serangan itu berfungsi memicu krisis politik.

Kepada kantor berita Reuters pakar Ruanda Jason Stearns mengatakan, bahwa serangan granat biasanya berfungsi mempengaruhi iklim politik dan bisa memprovokasi RPF untuk membatasi hak warga. RPF adalah Front Patriotis Rwanda, gerakan yang dipimpin Paul Kagame dan pada tahun 1994 berhasil mengusir milisi Hutu dari Rwanda. Sebelumnya, milisi Hutu membunuh hampir sejuta penduduk suku Tutsi dan anggota suku Hutu yang moderat. Hal ini merupakan salah satu alasan dukungan besar bagi Paul Kagame, meskipun pemerintah dan kampanye pemilihannya dinilai represif dan intimidatif. Seorang pemilih mengatakan, "Saya memilih Paul Kagame akarena ia pandai, kuat dan punya kekuasaan besar.“

Serangan terhadap Lawan Politik

Bom di halte bis Kigali itu merupakan serangan granat yang ke empat tahun 2010 ini. Untuk serangan yang sebelumnya, Rwanda menuding Jendral Faustin Nyamwasa dan Kolonel Patrick Karegeya sebagai dalangnya. Nyamwasa kemudian berhasil selamat dari upaya pembunuhan atas dirinya ketika berkunjung ke Afrika Selatan. Peristwa itu menyebabkan Afrika Selatan menarik duta besarnya pulang dari Rwanda.

Juli lalu, wakil ketua partai oposisi Partai Hijau Demokratis, Andre Kaqwa Rwisereka, ditemukan mati dengan kepala yang hampir putus. Jurnalis yang berusaha membongkarnya juga ditembak mati oleh orang tak dikenal. Tiga kandidat oposisi lainnya dihambat dari pencalonan diri. Frank Habineza dari Partai Hijau Demokratis menjelaskan, "Di negara kami tak ada demokrasi, tak ada kebebasan berbicara dan berpendapat, tak ada kebebasan pers, tidak ada kebebasan berkumpul. Menjadi anggota partai politik yang lain, dianggap sebagai sebuah kejahatan." Ketiga partai lain yang ikut dalam pemilu, disebutnya sebagai partai bayangan Kagame agar pemilu terlihat demokratis.

Sementara itu, Paul Kagame telah menegaskan target kerjanya dalam masa jabatan yang ke dua ini, yakni memajukan Rwanda hingga pada tahun 2020 menjadi negara industri. Dan inipun mungkin, karena laju pertumbuhan ekonomi Rwanda saat ini berada di atas 5 persen.

Edith Koesoemawiria/rtr/dpa
Editor: Hendra Pasuhuk