1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seri Menuju Pemerintahan Aceh yang Baru: Ketika Cambuk Kembali Dipecut, Pro Kontra Gagasan Hukum Potong Tangan pun Tiba

Ayu Purwaningsih, Dian Vitra Syahputra dan Rizki Nugraha5 Februari 2007

Awal tahun 2007, hukuman cambuk kembali dijalankan di Aceh. Yang jadi korban, sepasang muda-mudi. Mereka dilecut gara-gara berhubungan seks di luar nikah. Belum lagi usai pro kontra hukum cambuk di Aceh, muncul wacana baru akan diberlakukannya hukum potong tangan di Bumi Serambi Mekah tersebut.

https://p.dw.com/p/CP9A

Syahrul Rizal dan Liza Wahyuni, sepasang muda-mudi Aceh mungkin tidak pernah menyangka sebelumnya, mereka akan mengalami nasib naas: dicambuk di muka umum, gara-gara bercinta. Tapi itulah yang terjadi. Keduanya divonis bersalah oleh Mahkamah Syariah. Pertengahan Januari ini, di muka Mesjid Mukarrahmah, Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, pasangan 20 an tahun itu dipecut di hadapan ratusan warga masyarakat, usai Sholat Jumat.

Syahrul Rizal divonis hukuman cambuk sebanyak lima kali, sementara Liza dicambuk tiga kali. Yang jadi dasar keputusan Mahkamah Syariah awal Januari lalu, adalah Qanun No 14 tahun 2003 tentang perbuatan mesum atau khalwat. Keduanya ditangkap warga di sebuah rumah di Kampung Mulia, November 2006 lalu. Warga meyerahkan keduanya kepada Wilayatul Hisbah alias polisi syariat, untuk kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Banda Aceh dan diteruskan proses hukumnya ke Mahkamah Syariah.

Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, Muhammad Nasir Ilyas, mengatakan hukuman cambuk sudah diterapkan pada sekitar 30 warga Aceh.

Muhammad Nasir Ilyas :

“Yang pertama kita harapkan kepada warga Banda Aceh tidak melakukan hal-hal melanggar qanun secara khusus maupun secara umum. Dan yang kedua kita harapkan kepada tamu-tamu kita yang datang dari luar Banda Aceh, semoga tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam di Banda Aceh.”

Salah satu korban hukum cambuk adalah Mustafa. Ia dicambuk tahun 2005 lalu, untuk perkara perjudian.

Mustafa:

“Saya pernah dicambuk tahun 2005 lalu, ditangkap saat main judi di pasar Pengayong. Kawan-kawan saya sih pada kabur, saya kalah cepat, jadi ditangkap oleh polisi syariah. Saya kena cambuk lima kali, pokoknya malu kali lah.”

Hukuman cambuk diberlakukan di Aceh sebagai bagian dari penerapan Syariat Islam. Berbagai kecaman muncul atas qanun atau peraturan daerah yang menerapkan bentuk hukuman badan ini, namun hukum cambuk jalan terus. Alyasa Abu Bakar, Ketua Dinas Syariat Islam Aceh malah mengaku, penerapan hukuman cambuk merupakan aspirasi masyarakat Aceh.

Alyasa Abu Bakar:

“Masyarakat di Aceh berharap hukum yang berlaku itu sesuai dengan kesadaran yang ada pada mereka dan sesuai dengan rasa keadilan yang ada pada mereka“

Namun di lain pihak, banyak yang mempersalahkan, bahwa hukuman badan itu hanya diterapkan pada perkara moral dan susila, yang sebetulnya perkara pribadi. Dan yang jadi sasaran hanya masyarakat kelas bawah. Airin, salah seorang warga Kampung Mulia, mengatakan:

Airin :

“Saya berharap bahwa penegakan syariat Islam tidak hanya kepada masyarakat sipil, masyarakat biasa. Pejabat-pejabat yang di atas, seperti anggota DPRD, mereka otomatis mewakili masyarakat sehingga keberadaan mereka, kredibilitas mereka harus juga dievaluasi dengan Syariat Islam.”

Roy Pahlevi, dari Yayasan Cita Madani menemukan para pejabat yang tertangkap dengan perbuatan sama, selama ini lolos dari jerat hukum.

Roy:

„Sedangkan misalnya anggota DPRD di Lhoksumawe dan Tamiang sampai hari ini mereka yang kedapatan dengan kasus yang sama tidak diproses. Yang di Lhoksumawe bermesum. Yang di Aceh Tamiang juga bermesum.”

Yayasan Cita Madani baru-baru ini membuat penelitian seputar Syariah Islam berikut hukum cambuk. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa warga masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatan hukumnya. Banyak warga, yang tidak memahami Qanun-qanun dalam Syariah Islam tersebut.

Roy:

„Ternyata msyarakat di Aceh tak paham qanun-qanun itu. Ini artinya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat kurang.”

Pemberlakuan Syariat Islam dimulai tahun 2003, melalui sebuah undang-undang syariah yang diharap bisa meredakan konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun ternyata konflik Aceh diselesaikan melalui perundingan Helsinki, tanpa ada kaitan dengan pemberlakuan syariah. Sejauh ini terdapat 4 qanun yang menyertakan hukuman cambuk. Yaitu qanun mengenai perkara perjudian, perbuatan zinah, minuman keras dan aturan beribadah.

Namun kejahatan-kejahatan publik, ternyata tidak tersentuh aturan Syariat Islam di Aceh. Yang menarik, Alyasa Abu Bakar, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh berdalih:

Alyasa Abu Bakar:

“Syariah itu baru kita mulai beberapa tahap. Kalau umpamanya ada kejahatan yang belum diberlakukan sebagai kejahatan Syariah, itu kan belum bisa, itu bisa melanggar hak azasi (HAM red.)”

Menarik. Bahwa pemberlakuan hukuman cambuk terhadap pelaku perbuatan susila pribadi dikecam sebagai melanggar HAM. Sedangkan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh menyatakan cambuk terhadap koruptor bisa dianggap melanggar HAM. Nah, bentuk hukuman lain yang dianggap melanggar HAM justru akan kini tengah jadi wacana untuk diberlakukan, dan bukan terhadap koruptor. Yakni hukuman potong tangan terhadap para pencuri. Bisa diduga, korbannya lagi-lagi hanya akan pencuri kecil, dan bukan koruptor yang mencuri uang rakyat. Meski cambuk dikecam sebagai hukum primitif karena menyakiti secara fisik, namun sanksi ini masih dipraktikkan di beberapa negara seperti Malaysia, Pakistan, dan Iran. Kalangan pemerhati HAM masih berharap pemerintahan Aceh yang baru mempertimbangkan kembali atuaran pemerintah daerah tentang hukum fisik ini. Novriantoni, Jaringan Islam Liberal:

Novriantoni:

“Perubahan politik yang bisa mengubah konstelasi. Kita tahu GAM menangkan pemilu di Aceh. Bisa jadi ada peninjauan ulang terhadap aturan tersebut karena GAM bukan partai agama tapi merupakan partai sekular Saya kita harapannya ada pada GAM.”

Irwandi Jusuf, gubernur Aceh yang akan dilantik pernah berujar tidak akan menandatangani aturan itu. Menurutnya tidak adil, maling kecil yang hanya mencuri karena terpaksa, buntung tangannya, sedang maling kelas kakap malah selamat.