1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Setahun Pandemi di Indonesia, Gelombang Pertama Belum Usai

Prihardani Ganda Tuah Purba
2 Maret 2021

Evaluasi setahun pandemi COVID-19 di tanah air, pakar ingatkan untuk tidak bergantung sepenuhnya pada vaksinasi, melainkan fokus pada penguatan tracing dan testing. Indonesia dinilai belum lewat puncak gelombang pertama.

https://p.dw.com/p/3q6DD
Foto kedatangan WNI dari Wuhan di awal tahun 2020.
Warga Indonesia yang kembali dari Wuhan di bandara Hang Nadim, Batam, 2 Februari 2020Foto: Reuters/A. Foto

Setahun berlalu sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kasus COVID-19 pertama di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 2 Maret 2020, Jokowi dan Terawan Agus Putranto, menteri kesehatan saat itu, duduk bersama di beranda Istana Merdeka menggelar konferensi pers untuk mengumumkan ada dua WNI yang dikonfirmasi positif COVID-19.

Kini pandemi telah menyebar ke seantero negeri. Dalam setahun, sudah lebih dari 1,3 juta orang yang dinyatakan positif COVID-19, dan sekitar 36 ribu pasien telah kehilangan nyawa.

Bagaimana catatan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia dalam satu tahun ke belakang? DW mewawancarai dua epidemiolog tanah air terkait hal ini.

Indonesia belum melewati puncak gelombang pertama

Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia memang mencatat tren penurunan kasus harian COVID-19. Namun, pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyebut hal ini sebagai sebuah penurunan semu. Ia menggarisbawahi bahwa penurunan kasus harian tersebut justru terjadi akibat turunnya testing atau pengujian COVID-19 di tanah air.

“Jadi yang namanya testing itu menurun terus ya, bahkan di tiga hari terakhir ini sudah jauh dibawah target minimum WHO yang mestinya untuk Indonesia 39 ribu pemeriksaan per hari, kemarin tanggal 1 Maret tinggal 18 ribu sekian. Bayangkan, kurang dari separuh target minimum. Dan itu terjelek, terburuk dalam 4 bulan terakhir,” kata Windhu saat diwawancara DW, Selasa (2/3).

Senada dengan Windhu, pakar epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman juga mengungkapkan hal serupa, bahwa penurunan kasus harian dalam beberapa hari ini dikarenakan rendahnya atau menurunnya testing dan tracing COVID-19 di Indonesia.

“Kita tidak boleh terpukau atau terpaku pada kasus harian yang menurun karena itu tidak valid, apalagi di negara-negara seperti Indonesia yang cakupan testing tracing-nya rendah. Itu amat sangat tidak valid dan berbahaya, karena itu akan misleading, misinterpretasi dan juga misekspektasi,” jelas Dicky saat diwawancara DW, Selasa (2/3).

Kedua pakar epidemiologi ini sepakat mengatakan bahwa Indonesia sampai saat ini belum juga melewati puncak gelombang pertama pandemi COVID-19.

Pakar epidemiologi dari UNAIR Windhu Purnomo.
Pakar epidemiologi dari UNAIR Windhu Purnomo sebut tren penurunan kasus harian beberapa hari belakangan sebagai penurunan semu.

Tempatkan sektor kesehatan sebagai leading sector

Setahun berlalu, Windhu mencatat bahwa kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 masih sering tidak konsisten. Ketika seharusnya kesehatan menjadi fokus utama, pemerintah menurutnya justru selalu menginginkan adanya keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi, sehingga tidak fokus mengatasi akar masalah dari pandemi itu sendiri: memutus penularan virus.

Penanganan yang tidak fokus ini menurut Windhu terjadi karena sejak awal pandemi, sektor kesehatan tidak ditempatkan sebagai pemimpin.

“Jadi kalau kita mau sekarang katakanlah betul-betul komitmen kita dalam penanganan pandemi, sejak di awal, sejak di pengorganisasian, itu sudah dibenahi, dilakukan reorganisasi atau restrukturisasi dimana sektor kesehatan sebagai leader. Artinya kementerian kesehatan jadi leader. Menteri kesehatan di depan bukan disamping. Sekarang kesehatan itu hanya disamping, yang di depan sektor lain,” ujarnya.

Dicky juga kemukakan hal serupa. Ia melihat bahwa leading sector dalam penanganan pandemi saat ini belum seutuhnya berada di sektor kesehatan. “Ini yang harus kita jadikan tonggak penyadaran bahwa kita harus kembali ke fitrahnya tetapkan respons ini, leading sector ini di kementerian kesehatan. Diakui atau tidak, itu yang harus diluruskan”, katanya.

Pakar ingatkan bahwa di tengah program vaksinasi yang tampaknya jadi primadona, testing dan tracing tidak bisa diabaikan.
Pakar ingatkan bahwa di tengah program vaksinasi yang tampaknya jadi primadona, testing dan tracing tidak bisa diabaikan.Foto: picture-alliance/Pacific Press/S. Prasetya

Jangan bergantung sepenuhnya pada vaksinasi

Sementara itu, di tengah vaksinasi COVID-19 yang saat ini tampaknya jadi primadona, Windhu mengatakan bahwa strategi mendasar dalam penanganan pandemi seperti testing, tracing, dan kepatuhan masyarakat 100% terhadap protokol kesehatan tidak bisa diabaikan.

Upaya vaksinasi ia sebut manjur jika dilakukan secara serentak di tanah air. Nyatanya, ketersediaan vaksin yang masih terbatas membuat proses vaksinasi baru bisa diselesaikan dalam waktu yang cukup lama, sehingga peningkatan testing dan tracing penting dilakukan guna kendalikan pandemi.

“Sudah itu aja, tidak ada strategi baru. Fokusnya saja [diubah], kemudian kalau sudah fokus ke kesehatan, ya sudah testing dan tracing tentu akan ditingkatkan minimal seperti India, kita bisa mengetes minimal 15% dari jumlah penduduk, jangan seperti sekarang 3% saja tidak sampai,” ujar Windhu.

Hal senada diutarakan Dicky. Meski mengapresiasi program vaksinasi di tanah air, ia menegaskan bahwa vaksinasi tidak bisa ditempatkan sebagai satu-satunya solusi, karena ketika testing, tracing dan treatment atau 3T tidak memadai, “ini akan menjauhkan dari tujuan kita untuk mengendalikan pandemi."

Sejak awal pandemi hingga berita ini diturunkan, Indonesia baru berhasil melakukan testing sebanyak lebih dari 7 juta, hanya sekitar 2,67 persen dari seluruh populasi. Sementara, positivity rate di Indonesia menurut data kementerian kesehatan pada 1 Maret 2021 masih berada di angka 18,6%, jauh di bawah standar WHO yang menyebut bahwa pandemi COVID-19 bisa dikatakan terkendali jika positivity rate maksimal 5%.

gtp/hp