1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Siapa Egianus Kagoya yang Pimpin KKB di Papua?

4 Desember 2018

Egianus Kagoya disebut bertanggung jawab atas tewasnya 31 orang pekerja proyek jembatan di Nduga Papua serta satu personil TNI. Apa konsekuensi dari dugaan keterlibatannya tersebut bagi Papua?

https://p.dw.com/p/39RKY
Indonesien Timika - Dorfbewohner vor indonesischen Rebellen in Sicherheit gebracht
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto

Aparat menyebut pelaku penembakan yang menyebabkan 31 pekerja jembatan tewas di pegunungan Nduga, Papua pada hari Minggu (02/12) adalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

"Dilakukan oleh KKB pimpinan Egianus Kogoya," kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal dalam siaran pers, Selasa (01/12) seperti dikutip dari Detik News.

Selain penembakan karyawan PT Istaka Karya (BUMN) pada hari Minggu (02/11), insiden penembakan juga terjadi sehari setelahnya. Senin (03/11), petugas gabungan TNI dan kepolisian yang ditugaskan untuk mengecek lokasi penembakan pekerja diberondong senjata. Seorang anggota TNI tewas tertembak dan satu lagi terluka.

"Jadi kemarin mereka juga menyerang pos TNI dan satu orang prajurit kita gugur dan satu luka-luka,” kata Wakapendam XVII/Cendrawasih Letkol Inf Dax Sianturi. Egianus Kogoya bersama 40 orang pengikut KKB disebut bertanggung jawab dalam penyerangan ini. KKB adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok bersenjata yang sebagian di antaranya menuntut pemisahan diri dari Indonesia. Namun laporan tentang insiden ini hanya bersumber dari aparat keamanan dan tidak dapat diverifikasi, karena jurnalis tidak diijinkan meliput bebas di Papua.

Separatis OPM Bunuh 31 Karyawan Konstruksi Trans Papua

Egianus Kogoya miliki rapor merah

Bagi aparat kepolisian dan TNI, Egianus Kogoya bukan nama yang asing lagi. Ia disebut pimpinan dari gerakan OPM yang kerap terlibat dalam serangkaian aksi penembakan. Salah satunya pada saat penyerangan di lapangan terbang di Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga. Satu pilot Trigana Air dan dua orang sipil terluka, sementara dua orang anak berserta kedua orang tuanya tewas dibunuh.

Kelompok pimpinan Egianus Kogoya juga Oktober 2018 lalu pernah dilaporkan menyandera 15 guru dan tenaga medis di Kecamatan Mependuma, Kabupaten Nduga, Papua. KKB ini disebut memiliki 20 hingga 25 senjata api berstandar militer yang diduga hasil rampasan dari anggota TNI dan Polri yang disebut diambil secara paksa.

"Perbuatan mereka ini sudah lebih dari teroris. Sangat tak manusiawi. Itu para korban membangun jalan untuk membuka ketertinggalan," kata Wakapendam XVII/Cendrawasih Letkol Inf Dax Sianturi seperti dikutip dari Kompas.com.

Akibat insiden penembakan ini proyek pembangunan jembatan pada Trans Papua sepanjang 278 kilometer telah ditunda oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hingga lokasi tersebut kembali dipastikan keamanannya.

Kekerasan tanpa akhir

Insiden penembakan di Papua sering terjadi, dan biasanya pemerintah mengklaim kelompok separatis sebagai biang pelaku kekerasan di ujung timur Indonesia tersebut.

"Setiap kali terjadi insiden penting yang mengakibatkan kematian tentara, meskipun korban utama di sini adalah warga sipil, itu dikuti dengan tanggapan berupa pembalasan besar-besaran," ungkap Sidney Jones, Direktur Institut Kebijakan Analisis Konflik (IPAC) kepada AFP.

Penembakan para pekerja kali ini diduga bisa menjadi titik awal terjadinya kekerasan terburuk setelah periode yang "sangat panjang," kata Sidney Jones lebih lanjut. Informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Papua sulit terungkap dari berbagai sumber yang terpercaya sebab media asing dan aktivis pemerhati Papua perlu mendapat izin untuk melaporkan dari Papua.

Pembunuhan di Nduga, Papua terjadi ketika lebih dari 500 aktivis - termasuk satu warga Australia – ditangkap ketika melakukan demonstrasi pada tanggal 1 Desember lalu. Awal Desember bagi banyak orang Papua dipandang sebagai Hari Kemerdekaan Papua, hari pendeklarasian kebebasan dari penjajahan Belanda pada tahun 1961.

ts/hp (Reuters, AFP, Detik News, Kompas.com, Merdeka.com)