1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Siaran di Masa Turbulensi

Edith Koesoemawiria27 September 2013

Memimpin redaksi Bahasa Indonesia. Itulah tugas Ibu Elisabeth Soeprapto-Hastrich ketika bergabung dengan Deutsche Welle. Pengalamannya diceritakan dalam wawancara dengan Edith Koesoemawiria.

https://p.dw.com/p/19pUS
Peletakan batu pertama pembangunan gedung Deutsche Welle di Köln, 1974. Ketika itu redaksi Bahasa Indonesia sudah berumur 11 tahun.Foto: DW

Ibu Elisabeth Soeprapto-Hastrich bergabung dengan Deutsche Welle pada bulan Oktober 1964. Ketika itu Deutsche Welle berusia sepuluh tahun dan bahasa Indonesia merupakan bahasa asing pertama, di samping Inggris dan Perancis, yang dipilih untuk siaran. Awalnya sebagai redaktur lepas, Elisabeth Soeprapto-Hastrich lalu dipercayakan sejumlah tugas khusus. 1968, ia diangkat menjadi kepala siaran bahasa Indonesia. Dalam rangkuman wawancara ini, ia bercerita tentang awal karirnya dan pengalaman bersiaran di masa turbulensi awal Oktober 1965.

Apa yang mendorong Ibu Elisabeth Soeprapto-Hastrich, kala itu untuk masuk ke DW?

Itu tantangan besar buat saya, tapi juga kesempatan yang baik. Saya sebelumnya bekerja di sebuah penerbitan besar Jerman, tapi sudah mulai belajar bahasa Indonesia di Universitas Köln. Ketika itu profesor saya, Irene Hilders-Hesse menceritakan bahwa DW baru memulai siaran dalam bahasa Indonesia. Dia menyemangati saya untuk melamar. Walaupun bukan jurnalis dan tidak berpengalaman radio, saya lalu memberanikan diri. Pada waktu itu, DW masih memberikan pelatihan penyiaran dan saya belajar tehnik berbicara misalnya, dari seorang aktor teater.

Bagaimana situasinya ketika itu, mengapa ada siaran bahasa Indonesia, mengingat banyak negara lain berada dalam tahap serupa?

strich (rechts). Foto: DW
Elilsabeth Suprapto-Hastrich bersama Rüdiger Siebert, yang menjadi penggantinya memimpin redaksi Indonesia hingga 2003.Foto: DW

Untuk Asia, memang Indonesia didahulukan. Pada masa itu, situasi politik masih sangat ditandai oleh perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. India dan Cina, dua negara dengan jumlah penduduk besar ketika itu masih terikat kokoh dengan blok Timur. Sedangkan Indonesia yan berpolitik Nasakom, walaupun menjalankan politik non-blok, juga tidak memusuhi Jerman. Sehingga ada keinginan untuk merespons perhatian besar masyarakat Indonesia terhadap Jerman. Memang banyak sebabnya. Presiden Sukarno, presiden pertama Indonesia bisa berbahasa Jerman. Sikapnya sangat terbuka dan dia mengagumi budaya Jerman.

Ibu Soeprapto-Hastrich mengalami masa turbulensi politik Indonesia seputar Oktober 1965, bagaimana kondisi pemberitaan DW saat itu?

Redaktur Jerman harus ekstra hati-hati, karena tanggung jawab atas isi siaran, terutama warta berita ada di tangan redaktur Jerman dan di Bonn ada panitia khusus yang mengamati. Sehingga kalau ada yang tidak beres, atau kurang netral, ya kami dimintai keterangan dan pertanggungjawabannya. Terutama soal istilah dan kehidupan politik di Jerman.

Jadi ada sensor?

Sensor tidak. Ada dewan penyiaran, yang anggotanya utusan dari parlemen, serikat kerja dan berbagai badan umum lainnya, yang mengulas secara berkala isi siaran. Hal itu mulanya tidak seberapa, tapi setelah perombakan politik di Indonesia dan pihak resmi Indonesia kemudian mencurigai beberapa orang di redaksi memihak pada komunis, situasinya menjadi peka dan perlu hati-hati.

Misalnya satu contoh, DW dulu selalu menggunakan kata Tiongkok untuk menyebut negara Cina. Setelah order baru, pihak resmi Indonesia menginginkan agar diganti, dengan "Cina”. Ketika itu kami lama berdiskusi dan akhirnya diputuskan untuk tetap memakai Tiongkok dan Tionghua, karena kata Cina dari segi bahasa waktu itu dianggap prejoratif atau merendahkan. Nah, hal seperti itu musti didiskusikan, dipertimbangkan dan diputuskan. Itu tidak selalu mudah. DW adalah badan yang tidak tergantung siapa-siapa, dan indepensi jurnalisme tentu mesti dijaga. Di lain pihak kami juga harus memikirkan rekan-rekan yang waktu itu mungkin dipantau oleh pihak resmi Indonesia atau dinas rahasia.

Seputar 65, bagaimana respon DW terhadap peristiwa awal Oktober itu?

Waktu itu kacau, kantor berita masih menggunakan telex, tapi telex ke Jakarta terputus untuk beberapa hari. Menelpon pun tidak bisa. Ada satu koresponden Jerman di Jakarta, yang juga sulit dihubungi. Bagi diapun untuk menelpon ke luar negeri tidak mudah. Saya pernah mengalami sendiri, harus ke kantor telepon mendaftarkan diri, mendapat nomor urut, lalu beberapa jam kemudian baru bisa menelpon.

Apakah ada arahan dari pemerintah Jerman mengenai pemberitaan ke Indonesia?

Indonesische Redaktion - Edith Koesoemawiria
Edith KoesoemawiriaFoto: DW

Tidak ada. Mula-mula kami siaran 50 menit, lalu satu setengah jam, tapi kemudian menjadi dua kali 1 jam, yang satu siaran ulang. Fokus pemberitaan DW waktu itu masih pada Jerman sendiri dan Eropa. Dari luar Eropa yang diberitakan hanya peristiwa penting. Tentu peristiwa awal Oktober 65 di Jakarta, dari segi percaturan politik dunia memang penting. Tapi yang diberitakan lebih dari pandangan Jerman terhadap peristiwa politik itu. Selebihnya jauh lebih diutamakan hubungan dengan pendengar, hubungan perorangan,hubungan dengan masyarakat. Pendengar mengirimkan kartpos, surat dan membentuk klub pendengar DW. Itu sangat dipentingkan, misalnya acara tangga lagu itu pilihan pendengar sangat digemari dan banyak peminatnya.

Apakah sering berlangsung pertemuan langsung dengan pendengar?

Setiap kali ada redaktur ke Indonesia ya musti bertemu, banyak pertemuan yg sangat meriah dan klub-klub sering melakukan pertemuan tahunan. Mereka senang kalau dari Deutsche Welle ada yang bisa hadir. Waktu itu DW juga rajin mengirim suvenir, hal-hal kecil yang berarti banyak. Memang banyak yang sangat antusias dengan DW, saya masih ingat beberapa.

Bagi ibu Elisabeth Soeprapto-Hastrich, pengalaman yang paling menggugah di masa itu adalah kunjungan direktur RRI untuk menandatangani perjanjian kerjasama dengan DW. Kelanjutan kerjasama itu adalah pertukaran program dan karyawan. Selain Willi Sitompul, mantan penyiar RRI, yang bergabung pada awal pendirian redaksi Indonesia dan berjasa membimbing para rekan barunya dalam seni penyiaran, RRI mengirim beberapa utusan yang bekerja beberapa tahun di DW, termasuk mendiang ahli sepakbola, Boetje Patinasarani.