1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sidang Putusan Ditunda 8 Kali, Polusi Udara Belum Prioritas

10 September 2021

Selain menyebabkan gangguan pernapasan, efek jangka panjang polusi udara yang masuk ke paru-paru manusia termasuk menurunnya produktivitas, hingga kehilangan sumber penghasilan.

https://p.dw.com/p/408LT
Kabut di Jakarta pada 8 Juli 2019 akibat polusi udara
Kabut di Jakarta pada 8 Juli 2019 akibat polusi udaraFoto: Imago Images/Zuma/A. Gal

Sidang putusan terkait gugatan warga negara atas pencemaran udara Jakarta yang sedianya digelar pada Kamis (09/09) kembali ditunda. Alasannya antara lain yakni tidak maksimalnya kondisi hakim dan masih dipelajarinya barang bukti, demikian menurut panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pertemuan online dengan wartawan. Penundaan yang telah berulang hingga delapan kali ini tidak pelak mengundang rasa geram dari warga yang mengajukan gugatan.

Sejumlah warga dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota mengatakan bahwa penundaan berkali-kali ini menggambarkan masalah lingkungan masih belum menjadi perhatian pemerintah. Salah satu penggugat, Yuyun Ismawati menyatakan kekesalannya atas penundaan putusan ini, utamanya karena alasan yang dikemukakan selalu diulang-ulang.

"Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Ya sedih, kesal, kecewa, kasihan pengen bilang maklum tapi pengadilan juga tidak maklum dengan kita," kata Yuyun Ismawati. Menurut dia, penundaan berlarut ini semakin banyak membawa dampak negatif bagi masyarakat. Tidak hanya paru-paru orang dewasa yang terancam, tetapi juga anak kecil. Apalagi, ditambah adanya pandemi COVID-19.

Salah satu penggugat lainnya, Khalisah Khalid, mengatakan kecewa karena putusan ini sudah ditunda delapan kali dari jadwal semula. Menurutnya, kesehatan banyak warga terutama kelompok rentan bergantung pada putusan ini. Sebagai ibu dari seorang anak yang memiliki masalah pernapasan, Khalisah Khalid merasa sangat prihatin karena sulitnya mendapatkan udara bersih dan sehat.

Apa yang sebenarnya digugat?

Setidaknya 31 warga Jakarta menggugat pemenuhan hak warga atas udara bersih dalam laporan yang dilayangkan pada 4 Juli 2019. Tujuh tergugat dalam kasus ini adalah Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.

Menurut Perusahaan teknologi kualitas udara, Swiss IQAir, kota-kota di kawasan Asia-Pasifik sering menduduki peringkat atas dari kota-kota di dunia dengan polusi udara terburuk. Sementara situs yang memantau kualitas udara di kota-kota di dunia yakni AirVisual, tahun 2019 pernah menempatkan Jakarta di peringkat pertama kualitas udara buruk di dunia. Pada April 2020 AirVisual menempatkan Jakarta di posisi kesembilan dalam daftar itu.

"Bila gugatan ini kita menangkan, ini sebuah langkah awal yang baik agar kebijakan menekan polusi udara bisa segera dilaksanakan. Bila kalah, berarti krisis polusi udara akan semakin merugikan warga, membebani keuangan negara untuk anggaran kesehatan dan menelan banyak korban," kata uru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu kepada DW Indonesia.

Polusi udara dianggap belum jadi prioritas

Peneliti Teknik Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari menilai banyak orang yang belum menyadari pentingnya akses terhadap udara bersih karena memiliki prioritas lain dalam hidupnya. Padahal, ujarnya, udara bersih menjadi elemen yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

"Orang tidak aware terhadap polusi udara karena mereka belum kena dampaknya. Biasanya orang kalau sudah terdampak, seperti kabut, jarak pandang tertutup baru sadar. Prioritas setiap orang yang berbeda seperti bekerja dan mobilitas tinggi juga membuat orang tidak menyadari pentingnya udara bersih," kata Puji Lestari kepada DW Indonesia.

Kesadaran biasanya dimiliki masyarakat yang tinggal di negara maju karena adanya peraturan yang jelas dan tegas dari pemerintahnya, ujar Puji. "Aturan law enforcement harus ditegakkan dan dijalankan. Selain itu tingkat kepatuhan masyarakat juga harus dijalankan," ujar dia. 

Puji menjelaskan polusi udara belum berkurang karena sumbernya banyak sekali, mulai dari padatnya transportasi, pabrik, industri, pembangkit dengan bahan bakar batu bara, pembakaran lahan dan asap.

"Dampaknya polutan yang masuk ke paru-paru bisa sebabkan pneumonia, bronkitis, asma. Efek jangka panjangnya bisa sakit akut, turun produktivitas, tidak bisa kerja dan kehilangan sumber penghasilan," kata dia.

Oleh karenanya ia menyarankan pemerintah agar membuat skala prioritas mana yang harus didahukulan apakah mengurangi transportasi, atau aturannya. Sementara dari sisi masyarakat, kata dia, bisa membantu untuk mencoba aktivitas yang efisien.

Laporkan ke Komisi Yudisial

Tim kuasa hukum warga, Ayu Eza Tiara, menyatakan pihaknya telah melayangkan surat laporan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) terkait penundaan sidang putusan oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat.

Tiga Majelis Hakim pemeriksa perkara ini yaitu H. Saifudin Zuhri, S.H., M.Hum, Duta Baskara, S.H., M.H, dan Tuty Haryati, S.H., M.H dilaporkan atas dugaan penundaan perkara secara berlarut-larut dan dinilai melakukan pelanggaran Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Ini merupakan penundaan ke delapan kali sejak diagendakan 20 Mei 2021 lalu. Berbagai alasan diberikan dari terkena virus COVID-19, sulit mempelajari perkara, masa duka hakim kehilangan anak sampai putusan belum siap.

"Kami melaporkan permohonan pemantauan persidangan dan pelanggaran kode etik untuk majelis hakim karena penundaan hingga tujuh kali itu tidak pernah terjadi di kasus hukum mana pun. Jika biasanya penundaan hanya satu kali dan rentang waktunya hanya satu minggu, tapi ini sudah memakan waktu lebih dari tiga bulan untuk pembacaan sidang putusan saja," ujar Ayu kepada DW Indonesia.

"Dengan penundaan ini secara tidak langsung sama saja majelis hakim tidak memberikan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat," imbuh dia. (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.