1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Singapura-Indonesia Sepakati Ekstradisi Koruptor

24 April 2007

Namun banyak yang meragukan efektifitas perjanjian ini dalam menyeret para koruptor kakap yang bersembunyi negeri singa itu.

https://p.dw.com/p/CItA
Foto: AP

Sesudah rangkaian perundingan yang memakan waktu lama, pemerintah Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo tak banyak berkopmentar, kecuali menjelaskan bahwa penanda-tanganan kesepakatan itu akan berlangsung Bali, hari Jumat mendatang, disaksikan pemimpin kedua negara. Sedangkan Menteri Luar negeri Indonesia Hasan Wirayuda menyebut kesepakatan baru pada tahap prinsip. Tidak sampai langsung tertuju pada siapa yang akan diekstradisi. Katanya:

"Kita belum bicara tahapan implementasi, kita bicara membuat perjanjian yang bagus untuk segala kepentingan kita. Dengan ekstradisi ini Kerjasama antar kedua negara agar mereka yang terlibat tindak pidana yang dirumuskan bisa dikirimkan kembali untuk diporses secara hukum Kita belum bicara siapa yang dan bagaimanah, tapi kita upayakan maksimal perjanjian itu sendiri memadai"

Hasan Wirayuda juga menggambarkan, kesepakatan ini merupakan suatu keberhasilan tersendiri, mengingat panjang, sulit dan rumitnya proses yang dilalui. Perundingannya sudah dimulai sejak tahun 1970. Namun sempat terhenti selama 30 tahun, karena berbagai alasan, terutama karena perbedaan sistem hukum kedua negara. Perundingan baru dimulai lagi secara intensif tahun 2005 lalu, dipicu oleh kenyataan bahwa banyak buronan koruptor Indonesia yang lari ke Singapura. Jaksa Agung Abdul Rahman Salehb berharap. Perjanjian ini akan memperlancar upaya menyeret para koruptor, yang melarikan diri ke Singapura sejak orde baru tumbang.

"Draft terakhir kita belum baca tapi kira kira mundur lebih dari 5 tahun kebelakang, 8-9. Kalo mundurnya itu 8-9 tahun, jaman pak Harto bisa kena. Tapi tetap tidak mudah. Mungkin saat kita berunding mau teken teken dia denger dan sudah dibawah keluar juga"

Sementara pengamat korupsi keluarga Soeharto, George Junus Aditjondro memandang hal ini dengan pesimis. Katanya:

"Secara realitas tak akan jalan. Singapura itu secara ekonomis tak bisa eksis tanpa menjadi tempat money laundring uang dari seluruh asia tenggara terutama indonesia ini sejak dari jaman pak harto, uang panas dari indonesia mulai ibnu sutowo, liem soe liong larinya ke singapura dan refresh disana"

Namun Danang Widoyoko dari Indonesian Corruption Watch menyebut, ini tetap suatu langkah maju

Tetapi mengapa perjanjian ekstradisi ini begitu rumit? Mengapa pula Singapura akhirnya bersedia mengubah sikapnya? Banyak pengamat menilai, perubahan sikap ini terjadi hanya karena ada imbal balik dari Indonesia. Pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwono menduga, Singapura mendapat konsesi dalam hal kerjasama pertahanan.

"Singapura meminta indonesia menfasilitasi, agar tentara mereka bisa melakukan latihan perang, tetapi yang menjadi kberatan indonesia, apabila latihan perang itu mereka mengajak pihak ketiga. Yaitu AS. Pertanyaanya? Apakah indonesia sebagai pemilik kedaulatan diminta persetujuan kedua apabila personil personil ini melakukan pelanggaran apakah tunduk pada jurisdiksi indonesia dan Dugaan saya itu semua sudah diselesaikan sehingga perjanjian ini ditandatangani"

Kemungkinan lain yang banyak disebut, adalah kesediaan Indoneseia mencabut larangan ekspor pasir ke Singapura.

Kerugian negara oleh para buronan di Singapura itu jumlahnya puluhan trilyun. Para buronan itu juga dengan leluasa berbisnis menananmkan uangnya di Singapura. Sepertiga dari investor kelas kakap untuk perbankan dan real estate di Singapura adalah warga Indonesia. Asetnya mencapai 87 milyar dolar. Atau sekitar 750 trilyun rupiah. Dan sebagian di antaranya adalah para buronan kasus korupsi. ICW mencatat, setidaknya 17 buronan kasus korupsi bermukim di Singapura.