1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sistem Pertanian Ramah Lingkungan

15 Oktober 2009

Sistem pertanian di abad ke 21 harus berubah secara mendasar. Tidak hanya karena semakin banyak orang yang membutuhkan bahan pangan, melainkan juga karena sistem pertanian yang ada saat ini tidak lagi sesuai.

https://p.dw.com/p/K74e
Pohon akasia di Afrika (Faidherbia Albida)Foto: DW

Hal ini tidak hanya menyangkut tanaman rekayasa genetika atau pertanian ekologis, tapi terutama menyangkut kelestarian lingkungan. "Para petani dan lahan pertaniannya lebih banyak memberikan kontribusi CO 2 ke udara dibanding CO 2 yang dilepaskan oleh seluruh kendaraan bermotor. CO 2 yang dilepaskan oleh lahan pertanian jauh lebih banyak daripada yang dapat disimpannya. Kita harus mengubah konstelasi ini," demikian dikatakan Dr. Dennis Garrity, kepala pusat penelitian internasional agro kehutanan di Nairobi, Kenya.

Garrity dan koleganya terutama meneliti bagaimana mengembangkan sistem pertanian berkesinambungan bagi petani-petani kecil. Pertanian yang situasinya menguntungkan bagi semua pihak. Lebih banyak menyerap CO 2 dari atmosfir, daripada ikut menjadi penyebab perubahan iklim global, dapat menjamin pendapatan dan persediaan bahan pangan bagi lebih banyak orang, dan lebih banyak menciptakan kelestarian lingkungan di sektor pertanian.

Bagi Dennis Garrity dan rekan-rekannya dari pusat penelitian internasional agro kehutanan di Nairobi solusinya adalah dengan mengintegrasikan penanaman pohon di lahan pertanian, sehingga dapat meningkatkan kapasitas penyerapan CO 2. Dengan agro kehutanan, yakni sebuah sistem gabungan pohon-pohon dan ladang buah-buahan, dapat disimpan rata-rata 1 sampai 5 ton CO 2 per hektar setiap tahunnya.

Kabar yang baik bagi iklim tapi buruk bagi pertanian berskala industri. Lahan pertanian besar mono kultur termasuk perusak iklim paling buruk. Dan sekaligus juga paling rentan terhadap perubahan iklim.

"Banyak lahan yang luasnya beberapa kilometer persegi, sejauh mata memandang hanya ditanami satu jenis tumbuhan. Kedelai misalnya atau jagung. Hal itu memendam bahaya besar. Sebuah penyakit, sebuah hama dan areal yang demikian luas itu langsung menjadi tidak produktif. Semakin kita tidak memiliki jaminan perspektif dalam hal perubahan iklim, semakin lama ini berlangsung, semakin besar ancaman yang akan kita hadapi," ditekankan Benedikt Haerlin dari Yayasan Pertanian untuk Masa Depan.

Saat ini pun sudah dilakukan percobaan dengan memodifikasi gen berbagai jenis tumbuhan untuk meredam serangan hama tanaman. Keberhasilan yang dicapai para petani sedang-sedang saja sampai negatif. Banyak lahan yang kini kondisinya sangat tidak sehat akibat budaya pertanian monokultur, sehingga hanya dengan pemberian pupuk mineral saja tanah itu masih dapat menghasilkan. Namun pupuk tersebut pada glilirannya akan merusak lingkungan serta meracuni air bersih. Upaya itu juga tidak dapat diterapkan oleh kebanyakan petani.

Namun masih ada peluang meningkatkan hasil ladang-ladang itu tanpa bantuan pupuk kimia. Misalnya dengan menanaminya dengan pohon yang disebut pohon penghasil pupuk. Lebih dari lima juta petani di Afrika sudah mempraktekkan sebuah sistem yang tidak hanya melindungi tanah dari erosi, melainkan juga memperbaiki kondisi air tanah dan yang paling penting adalah meningkatkan dua sampai tiga kali lipat hasil pertanian dalam kurun empat sampai delapan tahun. Selain itu pohon-pohon seperti akasia yang nama latinnya Faidherbia Albida juga merupakan alternatif yang lebih murah dibanding bahan-bahan pupuk yang mahal.

Meskipun demikian bagi kelompok tertentu kabar itu merupakan kabar buruk. Perusahaan industri pertanian tidak dapat lagi menjual pupuk, obat-obatan anti hama dan pestisida, jika sistem itu diterapkan.

Helle Jeppesen/Dyan Kostermans

Editor: Yuniman Farid