1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Situasi Politik di Bangladesh Tidak Menentu

12 Januari 2007

Bangladesh akan mulai berusaha untuk membentuk pemerintahan yang baru setelah Presiden Iajuddin Ahmed menunda pemilihan umum dan menyatakan situasi darurat di Bangladesh.

https://p.dw.com/p/CP9k
Foto: AP

Bangladesh adalah negara yang masih terbilang muda. Baru pada tahun 1971, negara ini melepaskan diri dari Pakistan. Negara ini memiliki penduduk lebih dari 140 juta orang dan 90 persen diantaranya beragama Islam. Struktur demokrasi baru dimiliki Bangladesh semenjak tahun 1991, setelah masa diktator militer berakhir. Menurut pandangan ahli sejarah Sayed Anwar Husain dari Univeristas Dhaka, negaranya kekurangan orang yang tahu cara berpolitik dengan benar. Inilah penyebab demokrasi di Bangladesh lemah dan mudah gagal.

Sayed Anwar Husain : „Di Bangladesh kami saat ini menderita ‚Demosklerosis’. Ini adalah istilah khusus yang berasal dari kata Demokrasi dan Sklerosis. Sklerosis adalah suatu penyakit. Orang yang menderita penyakit tersebut mengalami masalah dengan aliran darah di dalam tubuh. Jadi orang itu memang memiliki tubuh, namun tubuh ini tidak berfungsi dengan benar. Jadi, kalau dihubungkan dengan demokrasi, kami memang memiliki struktur demokrasi, namun demokrasi ini tidak benar-benar berfungsi. Masalah terbesar dalam ‚Demosklerosis’ adalah kurangnya budaya politik yang diperlukan.“

Sistem partai di Bangladesh didominasi oleh dua partai yang saling berlawanan dengan masing-masing partai-partai kecil yang mendukung mereka. Liga Awami dengan segala keterbatasannya adalah partai sosial demokrat, sementara Partai Nasionalis Bangladesh, BNP, berhaluan nasionalis konservatif. Di masa lalu, partai mana pun yang memenangkan pemilu, sang pemenang selalu mengusung slogan ‚the winner takes it all’. Pengertian demokrasi ini, berarti pemenang pemilu memiliki akses ke semua sumber negara dan pihak yang kalah akan ditutup aksesnya. Ini menyebabkan perebutan kekuasaan yang sengit antara para politisi tersebut. Permusuhan yang legendaris adalah antara ketua BNP Khaleda Zia, yang hingga Oktober 2005 menjabat sebagai Perdana Menteri Bangladesh, dan Syeikh Hasina, ketua Liga Awami dan mantan Perdana Menteri. Namun, menurut Sayed Anwar Husain, kedua partai belum mempunyai konsep politik yang baik, dan perbedaan yang mendasar antara kedua partai besar tersebut tidak banyak.

Sayed Anwar Husain : „Pimpinan politik kami memperoleh kekuasaan mereka melalui warisan. Mereka secara tidak sengaja mencapai posisi mereka sekarang ini, jadi bukan karena mereka kompeten di bidangnya. Sebenarnya, karir politik yang diraih melalui warisan pun bukan masalah, selama mereka benar-benar mengerti cara berpolitik.“

Bagi sebagian besar warga Bangladesh, situasi politik yang tidak menentu selama beberapa bulan terakhir ini, membuat mereka tidak merasa tenang. Jumat ini, Bangladesh akan mulai berusaha untuk membentuk pemerintahan yang baru setelah Presiden Iajuddin Ahmed menunda pemilihan umum dan menyatakan situasi darurat di Bangladesh. Sikap ini dilakukannya atas desakan pihak oposisi dan protes massa yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Ahmed mengundurkan diri sebagai kepala pemerintahan transisi untuk memberi jalan bagi penanggung jawab administrasi yang baru yang nantinya akan memiliki tugas berat dalam mengarahkan negara ini untuk mewujudkan pemilihan umum yang bebas dan adil.