1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

SJW Adalah Pejuang Pancasila?

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
2 November 2019

Bila puan dan tuan sering berinteraksi di ranah Twitter, maka puan dan tuan sekalian tidak asing lagi dengan istilah SJW atau Sosial Justice Warrior. Simak opini Nadya Karima Melati.

https://p.dw.com/p/3RYlW
Deutschland Symbolbild Frauentag
Foto: imago/IPON

Istilah ini biasanya muncul sebagai olok-olok untuk kelompok yang mengampanyekan feminisme, menolak penggusuran atau mengkritik kapitalisme-oligarki di Indonesia.

Pada awalnya saya sangat tersinggung saat diledek sebagai SJW, sebab istilah SJW dilekatkan untuk orang-orang yang dianggap terobsesi dengan aktualisasi diri di dunia maya.

Tapi apa benar begitu? Saya mencoba melacak bagaimana awal kehadiran istilah ini dan konteks masyarakat Indonesia tentang SJW.

Subkultur Internet: pengalaman dan cara kerja

Internet menyatukan dan memisahkan orang-orang yang berinteraksi dengannya melalui algoritma. Secara individu, kita memengaruhi algoritma melalui preferensi.

Beberapa hal yang tidak kita sukai di dunia material misalnya, keluarga yang menerima perbedaan pandangan dalam beragama, ayah yang patriarkis yang mengatur hidup seluruh anggota, kejenuhan karena tidak kunjung menyelesaikan skripsi atau mendapat pekerjaan. Semua masalah personal dan pengalaman yang kita alami membentuk preferensi dalam berinteraksi di internet.

Beberapa prinsip membuat orang merasa lebih nyaman berada dan berinteraksi di dunia maya dibandingkan di dunia material.

Pertama, anonimitas. Dalam interaksi di internet, setiap orang bisa membuat karakter/avatar/persona yang dia inginkan. Bisa bertukar gender dan bisa memilih (atau dipilihkan) ruang interaksi yang sesuai preferensinya.

Contohnya interaksi di video game. Teman saya seorang lelaki bernama A, memiliki persona di game sebagai Tante Mirna.

Kedua persamaan atau ekuitas. Aksesnya murah dan semua orang boleh berpendapat dengan bebas.

Ketiga, persebaran informasi yang cepat dan tidak terbatas. Sekali sesuatu diunggah ke internet maka hal tersebut tidak bisa ditarik kembali dan selamanya akan menjadi jejak digital. Penyebarannya juga cepat karena akses internet murah dan kini menjadi salah satu bagian hak asasi manusia.

Penulis: Nadya Karima Melati
Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Sekarang bandingkan jika kita sedang berada dalam sebuah ruang interaksi internet-- sebut saja, Facebook. Seseorang mengunggah berita tentang misalnya bagaimana Mulan Jameela bisa terpilih sebagai wakil rakyat Gerindra di DPR. Komentar-komentar yang hadir bisa beragam seperti, "Kok pelakor jadi wakil rakyat" atau "Gerindra tidak adil dan memilih orang yang tidak dipilih oleh rakyat".

Prinsip-prinsip anonimitas, ekuitas dan persebaran informasi cepat, mampu memudahkan siapa saja untuk berkomentar apa. Komentar bebas juga terjadi pada situs-situs komunitas misalnya grup-grup di Facebook, Reddit, Tumblr dan terutama, Twitter.

Perpaduan antara pengalaman personal dan prinsip-prinsip interaksi di internet membuka peluang yang membuat semua orang merasa bebas berpendapat, bebas berkelompok dan bebas menghujat.

SJW pada kehadirannya bermakna positif hingga digunakan oleh orang-orang, khususnya dari kelompok orang biasa yang tidak terpapar ide-ide progresif. Orang-orang ini nyaman dalam bubble-nya dan tidak menyukai tuntutan political correctness dalam interaksi di dunia digital yang dilakukan oleh orang-orang progresif-kiri.

Ideologi kiri yang bersandar pada hak masyarakat sipil dan kemaslahatan umum memperjuangkan kesamaan dan anti diskriminasi.

Contohnya dalam subkultur web meme 9gag yang masih diskriminatif dan bias gender misalnya, beberapa orang progresif-kiri akan mengkritik orang-orang yang mengunggah meme rasis yang menggunakan kata 'nigga' untuk mengolok-olok orang kulit hitam atau meme yang menyatakan helikopter adalah bagian dari identitas gender. Kelompok orang yang anti ide progresif-kiri merasa tidak nyaman karena leluconnya dianggap menyudutkan dan meluapkan kemarahan dengan melabeli yang mengritik meme menyudutkan tersebut sebagai SJW.

Bagi mereka, mengkritik lelucon karena tidak "political correct" adalah tindakan SJW yang berusaha melakukan validasi diri dengan protes kapan pun, di mana pun. Di sisi lain, orang yang melabeli pengkritik sebagai SJW melupakan perasaan inferior dan mempertanyakan sikap bias diri sendiri.

Penerapan nilai-nilai Pancasila oleh SJW

Kini, mari kita kembali ke dunia material. Sebagai warga negara Indonesia sudah wajib untuk mengapal dan mengamalkan dasar-dasar nilai negara yang kita kenal sebagai Pancasila. 

Pancasila terdiri dari lima yakni: 1. Ketuhanan yang maha esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

SJW adalah seorang pejuang Pancasila karena mereka mengamalkan seluruh sila dalam interaksinya setiap hari hingga ke ranah internet. Sebab, patriot adalah seseorang yang berani membela negaranya ketika negara melakukan kesalahan dan SJW di Indonesia melakukannya.

Ketika seorang muslim membela hak umat nasrani beribadah di gereja yang disegel, maka ia sedang mengamalkan sila pertama tentang ketuhanan yang maha esa. Jika seorang menolak penggunaan kekerasan dan militer dalam menangani kasus Papua maka ia sedang mengamalkan sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketika kita memprotes FPI (Front Pembela Islam) yang sering memecah belah antara bumiputra dan melakukan diskriminasi terhadap orang Cina, SJW lantang mengkritik FPI demi mengamalkan sila ketiga yakni persatuan Indonesia. Saat SJW mengkonsolidasikan diri dalam Gerakan Golput (Golongan Putih) dan melakukan demonstrasi menolak pelemahan KPK dari jerat oligarki dalam demokrasi adalah amalan dari sila keempat: kerakyatan sebagai hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Terakhir, prinsip-prinsip kesetaraan, HAM dan anti-diskriminasi yang selalu dilakukan yang tercatat dalam nama Social Justice Warrior termasuk sila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu internet bisa untuk melakukan apa saja, mulai dari berkomentar untuk mencari pengakuan sosial atau untuk mempromosikan nilai-nilai Pancasila seperti yang dilakukan para SJW. Jika diberi pilihan seperti itu, saya sendiri akan memilih yang kedua. Jika kini saya dilabeli SJW, saya merasa bangga karena berarti saya tidak harus bergabung dalam organisasi Pemuda Pancasila dan menggunakan jaket loreng oranye untuk menjadi pejuang Pancasila. Buat saya, SJW tidak lagi bermakna makian tetapi sebuah pujian, bahwa kampanye keadilan sosial bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.