1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Soal Kisruh Mutasi Pejabat, Kemendagri Harus Tegur Pemda DKI

17 Juli 2018

Pemprov DKI menyalahi aturan saat perombakan pejabat tinggi, kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Kepada DW, ia mendukung gugatan di Komisi Apartus Sipil Negara dan mendesak Kemendagri melayangkan surat teguran

https://p.dw.com/p/31akF
Indonesien Jakarta Anies Baswedan und Sandiaga Uno als Gouverneure eingeführt
Foto: Reuters/Beawiharta

Perombakan di jajaran pejabat tinggi Pemda DKI menempatkan Gubernur Anies Baswedan dalam posisi pelik. Para pejabat yang dilengserkan mengadukan nasibnya kepada . Mereka menudug Pemerintah Provinsi DKI telah melanggar Undang-undang lantaran kesalahan prosedur.

Kepada DW pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengakui bahwa konstitusi berpihak pada para penggugat. Ia juga mendukung langkah hukum melalui KASN agar proses perombakan yang dituding tidak profesional dan menyalahi prosedur itu tidak lagi terjadi di kemudian hari. Berikut kutipannya:

DW: Sejumlah pejabat teras Pemda DKI Jakarta menuding pemerintah provinsi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil saat memutasi jabatan mereka. Apakah tuduhan tersebut benar?

Bivitri Susanti: Kalau pertanyaannya apakah proses pemecatan yang terjadi baru-baru ini melanggar, menurut saya memang benar. Karena dalam PP tersebut diatur dengan sangat rinci bilamana seoarang PNS melanggar kewajiban atau ketentuan tertentu, ada tahapan yang sangat rinci, mulai dari sanksi ringan, sedang atau sanksi berat. Nah yang berat inilah yang sampai pada pemberhentian. Jadi kalau dikatakan ada pelanggaran, saya kira iya. Karena alasan pemberhentian harus sangat rinci dan semua itu harus ditempuh dengan cara yang patut dalam arti, ada pemberitahuan dulu, ada prosedur dan dilakukan secara tertulis. Jadi kalau ada pemberhentian melalui pesan pendek yang tidak resmi dan kurang jelas, ini jelas melanggar PP tersebut.

Apa yang biasanya menjadi alasan Pemprov DKI melakukan perombakan, apakah terkait kinerja, usia pensiun atau lantaran alasan politis?

Kalau mengenai alasan, tentunya bisa saja ada ketidakcocokan antara atasan dan bawahan. Kemudian pasal-pasalnya bisa dicari celahnya. Memang kata-katanya kan misalnya karena 'tidak lagi sejalan dengan pemerintahan dan seterusnya.' Tapi alasan ini tetap harus punya dasar yang jelas. Nah yang jadi masalah adalah tanpa adanya surat peringatan yang jelas dan disampaikan secara langsung dengan prosedur yang patut, alasan ini menjadi mengada-ada karena prosedurnya tidak formal. Bahwa mungkin saja ada alasan politis, ya kita tidak bisa naif ya. Biasanya ini terjadi kalau misalnya antara gubernur dan bawahannya ada ketidaksamaan visi. Tapi sekali lagi prosedurnya harusnya lebih formal.

Apakah pemberhentian melalui pesan pendek* lumrah dilakukan di pemerintahan?

Pemberhentian lewat pesan pendek sama sekali tidak lumrah dilakukan di pemerintahan. Kasusnya yang saya ketahui sangat jarang, belum pernah saya kira ada yang masuk ke ranah hukum. Saya kira kita harus mencegah jangan sampai ini menjadi hal yang lumrah. Karena kita sedang membangun birokrasi yang lebih profesional dan melayani publik secara transparan. Dengan memberhentikan seseorang lewat pesan pendek, ini menjadi contoh praktek yang sangat buruk. Saya kira sebab itu harus digugat. Saya setuju betul jika ada yang ingin mengguat dan hak itu diatur juga dalam PP 53/2010, kalau ada keberatan ada mekanismenya. Jadi gunanya saya kira tidak hanya untuk nasib mereka, tetapi juga untuk sistem. Kalau hal-hal ini dibiarkan saja, tidak dilawan atau disebarluaskan ke masyarakat, maka tidak ada pemeliharaan sistem. Dan dalam hal edukasi publik, lama-lama orang akan mengaggap ini sebagai hal yang lumrah dan itu berbahaya.

* Gubernur Anies Baswedan telah membantah memecat pejabatnya lewat pesan pendek. Ia mengaku telah menelpon semua wali kota satu per satu untuk memberitahukan kabar pemecatan.

Sejauh apa kisruh ini bisa berdampak pada kinerja Pemprov DKI Jakarta?

Saya kira sebenarnya tidak signifikan. Karena prosedurnya betul-betul birokratis, ada badan tersendiri yang mengurusi itu, kemudian ada proses klarifikasi dan lain sebagainya. Dan kalau misalnya masih tidak puas, nanti surat keputusan pemberhentiannya bisa dilawan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Biasanya yang melakukan tugas itu secara teknis adalah biro hukum. Tapi memang secara politis saya cukup yakin seandainya hal ini dibawa oleh anggota DPRD yang sebagian kritis, akan mempengaruhi juga. Karena kemarin juga sudah dibawa ke rapat di DPRD. Tapi dugaan saya tidak akan terlalu signifikan, kecuali misalnya ada kampanye yang lebih masif untuk mencegah agar hal ini tidak menjadi kebiasaan yang didiamkan saja.

Apa skenario terburuk yang bisa menimpa Pemda DKI dalam kasus ini?

Terus terang saya belum bisa melihat sesuatu yang sangat buruk. Tetapi kalau memang ada kelompok-kelompok yang ingin mempersoalkan hal ini, secara peraturan Perundang-undangan, gubernur bisa saja dilengserkan melalui interpelasi dan pernyataan pendapat berupa ketidakpercayaan kepada gubernur, kemudian diproses lagi secara administrasi dan dijatuhkan. Tapi saya kira ini tahap yang sangat jauh. Saya saat ini belum bisa melihat indikasi yang kuat ke arah sana. Tapi bahwa kasus ini dibesarkan dan adanya perlawanan dari orang-orang yang dipecat secara tidak patut, saya kira perlu didukung dan disebarluaskan. Kalau perlu Kementerian Dalam Negeri juga harus memberikan teguran kepada gubernur, bilamana sudah diklarifikasi.

+ + + 

Bivtri Susanti adalah pakar hukum tata negara dan salah satu pelopor pendirian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Saat ini, ia sedang dalam tahap menyelesaikan pendidikan doktoral di University of Washington School of Law, Seattle, Amerika Serikat. Sebelumnya, ia mendapat gelar master (LLM in Law and Development) dari University of Warwick pada 2002, United Kingdom, dengan beasiswa dari British Chevening Award.

Wawancara oleh Rizki Nugraha