1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

HUT TNI: Periode Soedirman dan Oerip

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
5 Oktober 2020

Kepemimpinan Soedirman dan Oerip Soemohardjo yang terbilang singkat (kurang dari tiga tahun) di era Revolusi Indonesia menjadikan mereka tokoh yang tak lekang oleh zaman. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/3isyb
Jenderal Sudirman
Jenderal SudirmanFoto: gemeinfrei

Setiap kombinasi pimpinan TNI adalah unik, biasa disebut sebagai eenmalig (sekali saja). Tentu kombinasi antara Soedirman (selaku Panglima Besar) dan Oerip Soemohardjo (selaku Kepala Staf Umum) meninggalkan kesan teramat dalam, mengingat mereka memimpin TNI pada episode yang paling krusial dalam sejarah Indonesia modern.

Kepemimpinan Soedirman dan Oerip Soemohardjo yang terbilang singkat (kurang dari tiga tahun) di era Revolusi Indonesia menjadikan mereka tokoh yang tak lekang oleh zaman. Mereka tak sempat terpapar ideologi mencari kekuasaan yang seolah tanpa batas, sebagaimana yang terjadi pada elite TNI generasi berikutnya. Secara kebetulan pula antara Soedirman dan Oerip memiliki ikatan kultural dalam tradisi militer yang membuat keduanya bisa cepat saling menyesuaikan diri. Soedirman dari Banyumas sementara Oerip dari Purworejo; dua kawasan yang dikenal sejak lama sebagai pusat rekrutmen bagi anggota KNIL (Tentara Kerajaan Hindia-Belanda).

Perwira asal Banyumas dan Bagelen

Figur terkemuka perwira tradisi Banyumasan adalah Soedirman, Gatot Soebroto, dan Oerip Soemohardjo. Tradisi Banyumasan merujuk pada wilayah eks Karesidenan Banyumas, yaitu Kota Purwokerto dan sekitarnya, yang memang sudah dikenal berbeda dari tradisi Mataraman. Oerip berasal dari Purworejo, kota yang posisinya sedikit ke timur dari wilayah Banyumas. Namun, dalam tinjauan klasik tentang tradisi asal-usul perwira, perwira asal Purworejo dianggap sebagai bagian dari tradisi Banyumasan, meski Purworejo sejatinya juga memiliki tradisi lokal, yang biasa dikenal sebagai tradisi Bagelen. Tradisi Banyumasan (termasuk Purworejo) memiliki posisi khas dalam sejarah kemiliteran di Tanah Air. Bisa jadi itu berkat keberadaan Gombong, kota kecamatan yang terletak antara Purwokerto dan Purworejo. Di kota ini

pernah berdiri lembaga pendidikan bagi calon anggota KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda). Keberadaan pusat latihan ini ibarat simbiosis mutualisme, mengingat wilayah Banyumas dan Purworejo, sejak lama dikenal sebagai sumber rekrutmen bagi calon anggota KNIL. Dari sinilah tradisi perwira asal Banyumas itu bermula dan pada satu masa sangat mewarnai sejarah militer tanah air, terutama pada unsur pimpinannya.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Pada seputar tahun 1840, pernah berdiri Sekolah Militer di Kedung Kebo, Purworejo. Siswa atau tarunanya diambil dari anak-anak anggota KNIL yang tinggal di tangsi di sekitaran sekolah tersebut. Tentu anak-anak peranakan Belanda (Indo) lebih diprioritaskan. Sekolah Militer justru menjadi terkenal setelah dipindahkan ke Fort Cochius, Gombong (masuk Kabupaten Kebumen). Sampai sekarang jejak sekolah ini masih terlihat, ketika gedung dan fasilitas lainnya dijadikan Secaba atau Secata di bawah Rindam IV/Diponegoro.

Soal pudarnya perwira tradisi Banyumasan, tanda-tandanya sudah tampak pascatragedi 1965 ketika Soeharto menggantikan Ahmad Yani sebagai KSAD (d/h Pangad). Yani berasal dari Purworejo, sementara Soeharto dari tradisi Mataraman (Yogya). Naiknya Soeharto ibarat pedang bermata dua. Karena selain mengakhiri dominasi perwira berlatar belakang tradisi Banyumasan, ia mengakhiri dominasi perwira rumpun Siliwangi bersama figur sentralnya, A.H. Nasution. Kasum dan Wapang TNI

Salah satu bagian paling menarik dari pasangan Soedirman dan Oerip adalah persepsi publik yang kontras. Oerip praktis kurang dikenal. Gambaran itu bisa disaksikan di Jakarta, ibu kota negara—persisnya di Jalan Oerip Soemohardjo, seruas jalan kecil yang tak jauh dari Pasar Mester, Jatinegara. Ia sama sekali tak sebanding Jalan Soedirman di kawasan episentrum sektor jasa dan bisnis di Jakarta.

Penempatan Jalan Oerip di sebuah sudut sempit di timur Jakarta—yang bahkan tak banyak diketahui warga Jakarta—adalah simbolisasi paling pas bagi karakter Jenderal Oerip yang cenderung pendiam dan tidak suka menonjolkan diri. Kita sama sekali tak pernah tahu kapan Oerip berpidato, apalagi mendapati pidatonya dicatat sebagai peristiwa bersejarah.

Mudah-mudahan bacaan saya tidak salah. Saya belum pernah menemukan teks yang menyebutkan kapan persisnya Oerip meletakkan jabatan secara formal selaku Kepala Staf Umum (Kasum) dan kepada siapa jabatan itu diwariskan. Informasi seputar hal itu boleh dikata sangat sumir, mirip perjalanan hidup Oerip sendiri yang masih diliputi kabut misteri Buku Mengenal Pimpinan ABRI 1945-1990 (terbitan Mabes ABRI, 1990) memberi sedikit informasi tentang periode kepemimpinan Oerip. Rupanya jabatan Kasum itu tidak diberikan kepada siapa-siapa setelah Oerip pensiun. Jabatan Kasum Markas Besar dihapus. Yang muncul kemudian adalah jabatan Wakil Panglima Besar yang dijabat oleh A.H. Nasution, sementara posisi Soedirman selaku Panglima Besar tetap tidak tergantikan.

Sekadar tafsir bisa diajukan di sini. Dalam level pimpinan TNI, hanya ada dua jabatan yang mapan dari masa ke masa: Panglima TNI (termasuk Panglima Besar) dan kepala staf angkatan. Posisi di luarnya bisa muncul atau “hilang” sementara. Untuk mendampingi Soedirman sebagai orang kedua di Markas Besar, dibentuklah sebuah posisi baru yang disebut Wakil Panglima Besar Mobil.

Posisi Kasum TNI baru muncul kembali di era Pangab Jenderal Benny Moerdani (1983-1988), karena Pangab sebelumnya (M Yusuf), tidak didampingi Kasum, namun Wapangab Laksamana Sudomo. Saat Jenderal Benny menjadi Pangab, jabatan Wapangab dihapuskan, seraya menghidupkan kembali posisi Kasum. Di era Jenderal Benny, posisi Kasum termasuk pos yang acapkali terjadi rotasi, nyaris setiap tahun ganti. Tercatat lima pati yang pernah menjadi Kasum mendampingi Benny: Letjen Himawan Soetanto, Marsdya Oetomo, Letjen Dading Kalbuadi, Letjen IB Soedjana, dan Laksdya Sudibjo Rahardjo.

Posisi Wakil Panglima TNI muncul kembali di masa Presiden Gus Dur (1999-2001), yang dijabat oleh Jenderal Fachrul Razi, kini Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Maju. Selepas era Gus Dur, posisi Wapang “hilang” kembali, dan aktif kembali di era Jokowi sekarang.

Komandan dan kharisma

Demikian kuatnya figur Soedirman dan Oerip, yang seolah tak tergantikan, bisa jadi adalah sinyal, bagi seorang pimpinan, kharisma adalah sesuatu yang mutlak. Di masa Orde Baru, TNI (d/h ABRI) juga pernah dipimpin figur yang sangat kuat, yaitu Jenderal Benny Moerdani. Bisa kita bayangkan bila seorang pemimpin atau komandan tanpa kharisma, sebagaimana acapkali kita lihat di birokrasi sipil, yang pada akhirnya hanya menjadi bahan tertawaan anak buah. Langsung dilupakan publik pula, begitu masa jabatannya usai.

Figur kuat identik dengan kharisma. Tidak setiap jenderal memiliki kharisma. TNI telah melahirkan sekian banyak jenderal, namun bukan berarti kharisma bisa secara otomatis mereka peroleh. Dalam kepemimpinan TNI kiwari, setidaknya ada figur yang secara meyakinkan memang karismatik, selain Jenderal Benny, masih ada nama Jenderal M Yusuf dan Letjen Dading Kalbuadi. Orang awam pun bisa merasakan, bahwa ketiga jenderal ini memang tipikal dibanding jenderal yang lain.

Walau bagaimanapun kondisi penyiapan unsur kepemimpinan TNI masih lebih kondusif dari kepemimpinan elite sipil, yang kecenderungan nepotisme demikian kuat, bahkan sudah mengarah pada dinasti politik. Meski latar belakang pendidikan dan kecerdasan anak-anak pejabat itu mungkin pas-pasan, tetap saja selalu tersedia “karpet merah” menuju kekuasaan. Perlu dijaga bersama, dalam TNI jangan sampai terjadi sistuasi seperti itu. Bagi TNI selalu ada ruang bagi perwira yang berasal dari rakyat jelata.

Selalu ada tempat bagi perwira yang cemerlang, meski datang dari keluarga sederhana, bahkan miskin. Bukan hanya TNI, bangsa ini sungguh merugi bila tidak memberi kesempatan bagi perwira-perwira hebat itu. Perwira cerdas dan hebat ibarat bunga teratai, yang tetap saja indah, meski tumbuh di air atau lingkungan yang kurang jernih. Air yang kurang jernih, kiranya adalah metafora yang pas menggambarkan masyarakat kita hari ini.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.