1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Solidaritas Warga Semakin Kuat Saat Pandemi Mengamuk

A. Kurniawan Ulung
9 Juli 2021

Di Yogyakarta contohnya. Seorang warga membeli nasi bungkus dari warung-warung yang terpukul saat PPKM Darurat. Nasi itu ia dibagikan ke pemulung, tukang parkir, dan pengemudi ojek.

https://p.dw.com/p/3wDfX
Saling peduli sesama saat pandemi
Warga Bali menerima donasi dari relawan Bali Caring Community. Bali yang bergantung pada sektor pariwisata terpukul selama pandemiFoto: Bali Caring Community

Solidaritas masyarakat Indonesia di tengah berbagai kesulitan dan bencana justru tampak semakin kuat. Seiring berlakunya pembatasan kegiatan masyarakat untuk membendung laju infeksi virus corona, banyak pula masyarakat yang kehilangan kesempatan untuk mencari nafkah.

Namun justru inisiatif untuk berderma kian kuat, mulai dari menggalang donasi untuk membeli vitamin dan suplemen bagi para tenaga kesehatan, menjadikan rumah pribadi sebagai tempat isolasi mandiri untuk pasien positif COVID-19 tanpa gejala, hingga menyediakan makanan gratis untuk mereka yang terpaksa harus bekerja di luar rumah.

Di Yogyakarta, Veronica Christamia Juniarmi, 31, yang sehari-harinya bekerja sebagai guru bahasa Inggris, memulai gerakan yang ia beri nama Tempat Nasi Gratis Jogja. Setiap hari, Veronica, relawan, dan donatur menyediakan sedikit 140 nasi bungkus gratis di 14 lokasi strategis di Yogyakarta, seperti Gejayan dan Jalan Kaliurang.

"Aku menyisihkan uang dari gajiku (untuk menyediakan nasi bungkus). Jadi, kita beli nasi bungkus itu di warung-warung yang terpukul akibat pandemi. Jika ada yang merekomendasikan warung, kita akan survei terlebih dahulu untuk mengecek apakah warung tersebut betul-betul terimbas pandemi," kata Veronica kepada DW Indonesia.

Nasi bungkus itu kemudian ia dipajang di etalase kaca di beberapa titik strategis yang sering dilewati orang yang membutuhkan, seperti pemulung, tukang parkir, dan pengemudi ojek.

Veronica mengatakan siapa saja boleh mengambil nasi bungkus di etalasenya dengan syarat: satu orang hanya boleh ambil satu bungkus. Selain itu, siapa saja yang ingin berbagi boleh mengisi etalase itu, tapi harus menyediakan sendok agar nasinya bisa langsung dimakan di tempat dan memastikan lauknya halal, bergizi, dan tidak cepat basi.

Setelah mengisi nasi bungkus atau sayur di etalase tersebut, donatur diharapkan mengirim foto dokumentasi ke nomor WhatsApp Veronica agar foto ini nantinya bisa dipublikasikan di akun Instagram Tempat Nasi Gratis Jogja. Tujuannya ialah memberitahu para pengikut akun tersebut bahwa masih ada makanan gratis yang tersedia, dan jika butuh, mereka bisa langsung menuju lokasi.

"Namun ada juga donatur yang tidak mengirimkan foto ke kami karena mereka mungkin tidak mau kami tahu identitas mereka. Buat kami, tidak apa-apa," katanya.

Bagaimana situasi PPKM darurat di Bali?

Aksi serupa juga dilakukan Komunitas Peduli Bali (BCC) di Bali. Komunitas yang didirikan Kadek Sudarsana ini tidak hanya membagikan nasi bungkus gratis ke pemulung, tukang parkir, dan pedagang asongan, tetapi juga mendistribusikan bahan pokok langsung ke rumah-rumah warga yang membutuhkan, terutama lansia dan anak yatim. Sebagian besar kegiatan komunitas ini dilakukan di desa.

"Di desa-desa, dari masa sebelum pandemi, warga sudah membutuhkan bantuan. Apalagi kondisi saat ini ketika pekerjaan sama sekali tidak ada," ujar Kadek kepada DW Indonesia. 

Pada bulan Juni, BCC mengunjungi 4 desa di berbagai lokasi, seperti Buleleng, Karangasem, dan Klungkung untuk memberikan bantuan bahan pangan. Pada tanggal 30 Juni, misalnya, komunitas ini menyalurkan bantuan beras kepada 20 kepala keluarga kurang mampu di Desa Duda Timur, Kabupaten Karangasem, dan masing-masing keluarga mendapatkan bantuan 5 kg beras.

Bantuan tersebut berasal dari 19 donatur, dan beberapa dari mereka ikut menemani relawan BCC dalam proses penyerahannya.

"Kita ingin donatur langsung mengasih bantuannya ke keluarga yang mereka ingin bantu agar mereka bisa melihat sendiri kondisinya dan bisa merasakan kepuasan tersendiri. Jika merasa kejauhan, donatur boleh menaruh donasinya di kantor kami, dan relawan kami nanti akan mengantarnya sendiri," katanya.

Bukan hanya donasi makanan

Sedangkan Alissa Wahid, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, memanfaatkan platform media sosialnya dan kanal kitabisa.com untuk menggalang donasi untuk memberi berbagai bantuan medis, seperti tabung oksigen, alat pelindung diri, dan obat-obatan, kepada tenaga kesehatan di puskesmas dan rumah sakit dan pasien COVID-19 di lokasi isolasi mandiri.

Dinamakan "Saling Jaga”, program donasi tersebut merupakan kerja sama antara lembaga filantropi untuk kemanusiaan yang dipimpinnya, GUSDURian Peduli, Gerakan Islam Cinta, dan kitabisa.com. 

Target dari program yang diluncurkan pada 1 Juli tersebut ialah memperoleh donasi sebesar Rp500 juta. Dalam kurun seminggu, telah terkumpul Rp459 juta dari sekitar 11 ribu donatur.

Alissa berkata, ia tidak kaget dengan cepatnya target tersebut akan tercapai dan besarnya animo masyarakat dalam berderma. Baginya, animo tersebut merupakan modal sosial yang sangat besar. Di masa awal pandemi, ia berhasil mengumpulkan donasi senilai Rp5,8 miliar dari puluhan ribu donatur.

"Jiwa masyarakat Indonesia itu sangat compassionate, welas asih. Budaya yang menghidupinya budaya gotong-royong. Jadi dalam situasi sangat genting penting seperti ini, dua nilai itu langsung mendominasi," kata Alissa kepada DW Indonesia.

Perlukah memasang bendera putih?

Seperti Indonesia, Malaysia juga sedang membatasi aktivitas dan kegiatan masyarakat untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Akan tetapi, banyak di antara mereka memasang bendera putih di rumah-rumah sebagai tanda bahwa mereka sangat membutuhkan bantuan karena tidak lagi bisa bekerja di tengah pemberlakuan lockdown total.

Menurut Veronica, memasang tanda permohonan bantuan di depan rumah perlu ditiru masyarakat Indonesia agar pemerintah, penderma, atau tetangga di sekitarnya tahu bahwa mereka sedang membutuhkan bantuan dan berharap pertolongan segera.

Ia mengatakan, tanda tersebut tidak harus berwujud bendera putih. Warga bisa menuliskan bantuan apa saja yang dibutuhkan di papan kecil, dan kemudian menaruh papan tersebut di depan rumah.

"Kalau di sini (Yogyakarta) bendera putih identik dengan lelayu atau berita duka. Warga mungkin bisa memakai sesuatu yang ‘baru' agar mereka yang melihat tanda tersebut tidak salah memahaminya," kata Veronica.

Berbeda dengan Veronica, Kadek kurang setuju dengan pemasangan bendera putih atau tanda sejenisnya. Jika hal itu dilakukan, orang-orang akan berlomba-lomba memasang bendera, dan ia khawatir bahwa bantuan justru diterima oleh mereka yang sebetulnya tidak terlalu dalam situasi terjepit membutuhkan bantuan.

"Saya tidak bermaksud berpikir negatif, (tetapi khawatir) orang yang banyak akalnya akan memanfaatkan semua strategi untuk mendapatkan bantuan. Di kota-kota semua orang bakal pasang bendera, sedangkan di desa-desa kayaknya tidak ada yang bakal pasang. Padahal orang-orang di desa yang paling memerlukan," katanya.

Verifikasi dan transparansi bantuan sangat penting

Kadek mempertanyakan bagaimana proses verifikasi terkait pemilihan penerima bantuan jika masyarakat Indonesia meniru strategi pengibaran bendera putih ala Malaysia.

Di Komunitas Peduli Bali (BCC) terdapat sekitar 50 relawan, dan salah satu tugas mereka ialah mengunjungi rumah calon penerima bantuan dari pintu ke pintu di 10 daerah, mulai dari Badung, Gianyar, hingga Tabanan, untuk memastikan dan memverifikasi bahwa mereka betul-betul layak dibantu.

Di laman web BCC, relawan menceritakan berbagai hal mengenai orang-orang yang telah diverifikasi layak menerima bantuan, mulai dari identitas, pekerjaan, dan nomor rekening mereka, hingga nomor telepon yang bisa dihubungi, biaya hidup yang ditanggung dan jenis-jenis bantuan yang diharapkan.

"Kita menjembatani donatur dalam berbagi dan membantu mereka memilih orang-orang yang layak dibantu agar mereka tidak bingung ke mana mereka harus menyalurkan bantuan," kata Kadek. (ae)