1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sri Lanka Terus Dihadapkan dengan Perpecahan Etnis

23 Desember 2009

Lima tahun setelah tsunami, dua kelompok etnis di Sri Lanka, Tamil dan Sinhala, tetap terpecah.

https://p.dw.com/p/LCMB
Tanki penampung air di Sri Lanka yang dibangun organisasi bantuan internasonal.
Tanki penampung air di Sri Lanka yang dibangun organisasi bantuan internasonal.Foto: DW

Ketika gempa bawah laut yang mengakibatkan gelombang laut raksasa lima tahun lalu pada tanggal 26 Desember, Sebagian wilayah pesisir Asia Selatan dan Asia Tenggara hancur tersapu tsunami, tidak terkecuali Sri Lanka. Lebih dari 35 ribu orang kehilangan nyawanya akibat gelombang laut raksasa tersebut, terutama di kawasan selatan, utara, dan timur laut negara pulau Sri Lanka.

Kedua kelompok etnis yang tinggal di Sri Lanka, Sinhala dan Tamil, setelah bencana tersebut berusaha membangun kembali tempat tinggal mereka. Namun harapan masyarakat internasional terhadap warga Sri Lanka tidak tercapai. Kedua kelompok etnis tersebut masih saja bersengketa, walau pun setelah bencana tsunami tahun 2004.

Chandrawathi sedang memintal sabut kelapa menjadi benang dengan bantuan alat pintal yang berbentuk seperti roda. Produksi dan pengolahan serat sabut kelapa menjadi keset, benang, atau permadani merupakan mata pencarian utama banyak perempuan di Sri Lanka. Lima anak Chandrawathi sudah berangkat menuju tempat aktivitasnya. Sedangkan dua cucunya sedang bermain di halaman rumah, beberapa meter dari Chandrawathi.

Chandrawathi dan keluarganya hidup di desa kecil dekat kawasan wisata Galle di Sri Lanka selatan, sekitar satu kilometer dari pesisir pantai. Chandrawathi masih mengingat ketika gelombang laut raksasa tsunami menerjang desa tempat tinggalnya, yang kemudian mengubah hidup Chandrawathi.

"Tentu saya masih mengingat hari itu. Sampai sekarang masih membuat saya ketakutan. Air bah datang tiba-tiba dan kemudian saya melihat banyak mayat," katanya.

Setelah Indonesia, Sri Lanka terkena dampak tsunami terparah. Lebih dari 35 ribu warga Sri Lanka kehilangan nyawanya, 500 ribu warga kehilangan tempat tinggalnya. Banyak organisasi internasional yang datang membantu meringankan penderitaan para korban. Chandrawathi juga menerima bantuan berupa kakus, tanki penampung air hujan dan desanya mendapatkan sumur air minum yang baru dari organisasi bantuan Jerman Malteser International.

Namun situasi politik yang sulit di negaranya dan terutama infrastruktur yang rusak di kawasan utara dan timur laut akibat perang saudara berkepanjangan menyulitkan kerja organisasi bantuan internasional. Sehingga kawasan selatan yang lebih maju, terbuka terhadap wisatawan, yang dihuni kelompok etnis Sinhala, lebih cepat kembali pulih.

Situasinya sangat berbeda di wilayah utara dan timur laut yang terbelakang dan sulit dicapai itu, lima tahun setelah tsunami. Banyak sekolah yang dibangun dengan susah payah setelah tsunami, rusak berat akibat perang saudara. Gerhard Serafin menjadi koordinator wilayah organisasi Malteser di Sri Lanka. Dia mengamati, di antara warga etnis Sinhala, Tamil dan Muslim terdapat jurang pemisah yang sangat lebar dan dalam.

"Bantuan tidak hanya disalurkan melalui organisasi internasional. Setelah bencana, warga setempat juga saling membantu. Dalam kaitan ini sangat terlihat, dana bantuan yang misalnya dikumpulkan di Kolombo, oleh ketiga kelompok etnis ini, yaitu Sinhala yang beragama Budha, Tamil yang beragama Hindu dan warga muslim langsung dibagikan ke selatan ke wilayah Sinhala, ke timur ke wilayah Muslim, dan ke utara ke wilayah yang dihuni banyak warga Tamil. Dari kejauhan dapat dilihat, bahwa di Sri Lanka terdapat perpecahan etnis yang luar biasa. Dan hal itu sudah ada sejak lama,” ujar Serafin.

Sejak lama pula aktivis perdamaian dan pekerja bantuan internasional mengritik pemerintah Sri Lanka yang tidak tertarik membantu segera warganya di kawasan utara. Pemerintah Sri Lanka mengkhawatirkan, barang-barang bantuan yang dikirimkan ke wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), akan disalahgunakan oleh kelompok itu. Warga di wilayah itu seperti dihukum dua kali. Pemberontak LTTE menggunakan hal ini untuk propaganda dan perlawanan mereka berakhir tahun ini.

Walau pun pemerintah Sri Lanka memenangkan perang melawan LTTE, konflik itu masih meninggalkan luka yang dalam, seperti yang dijelaskan Jehan Perera dari “Dewan Perdamaian Nasional Sri Lanka“ di Kolombo, "Banyak orang, terutama kelompok etnis mayoritas Sri Lanka yaitu Sinhala, berpikir bahwa perdamaian di negaranya sudah tercipta dan situasinya kembali normal. Namun warga Tamil dan Muslim berperasaan bahwa mereka tidak memiliki kekuasaan politik untuk menentukan arah masa depan negara, dan kebijakan apa yang harus diterapkan. Itu memicu semacam kemarahan terpendam. Jika dalam suatu negara, warganya tidak saling membantu dan bersama membangun negaranya, dan sebagian kecil penduduknya punya keluhan, maka negara itu tidak bisa maju dengan cepat.”

Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse mengumumkan bahwa pemilihan umum selanjutnya digelar pada tanggal 26 Januari 2010. Di sebagian besar wilayah Sri Lanka dia akan dielu-elukan seperti bintang pop karena kemenangan militer atas kelompok pemberontak Macan Tamil. Para pengamat sebelumnya tidak memperkirakan bahwa pemerintah Sri Lanka akan memenangkan perang saudara itu. Bahkan warga Tamil pun merasa lega dengan berakhirnya perang saudara berkepanjangan tersebut. Karena selalu warga sipil yang terjebak di tengah pertempuran.

Meski demikian, banyak warga yang mencemaskan masa depannya. Meski situasi mereda, banyak warga yang masih tinggal di kamp-kamp pengungsi dalam situasi yang menyedihkan.

Basil Rajapakse, saudara presiden dan penasihat politik Presiden Mahinda Rajapakse menekankan pentingnya integrasi warga Tamil dalam proses pengambilan keputusan politik di Sri Lanka. Katanya, "Kami sudah melakukannya sejak lama. Kami punya banyak menteri Tamil dalam pemerintahan. Jika proses demokratisasi berhasil, maka wilayah utara akan punya banyak kesempatan. Dan Sri Lanka akan menduduki peringkat tertinggi di Asia."

Priya Esselborn/Luky Setyarini

Editor: Hendra Pasuhuk