1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

130410 Afghanistan Polizei

13 April 2010

Titik berat strategi baru NATO untuk Afghanistan terletak pada pendidikan polisi. Akan berhasil strateginya?

https://p.dw.com/p/MvO1
Komandan pasukan NATO, Jenderal Stanley McChrystalFoto: AP

Komandan pasukan NATO, Jenderal Stanley McChrystal berencana untuk meningkatkan jumlah tentara Afghanistan dari 100.000 menjadi 171.000 orang. Begitu juga jumlah polisinya, dari 100.000 menjadi 134.000 orang. Sasarannya adalah kemandirian keamanan. Pasukan keamanan warga Afghanistan sendiri harus dapat menciptakan keamanan di negaranya. Proses pendidikan polisi dan tentara di Afghanistan telah dipercepat. Lebih banyak lagi pelatih dan pengajar yang akan ditugaskan di Afghanistan. Namun tugas mereka tidak semudah itu, demikian tutur pendidik dan polisi militer, Letnan Kolonel Sandro Wiesner. "Terdapat perbedaan amat besar antara orang yang belum mendapat pendidikan dan orang yang sudah mendapat pelatihan dari kami. Namun rata-rata polisi yang kami temui, hanya mendapat pendidikan pas-pasan, sehingga kami harus mulai dari awal lagi. Itu, dengan mengajarkan dasar-dasar cara menembak sampai cara menyapa orang sebelum mengambil tindakan, supaya tidak mempermalukan orang itu.“

Banyak warga Afghanistan yang tidak dapat membaca atau menulis, hanya mengunjungi sekolah sebentar atau tidak sekolah sama sekali. Sesungguhnya citra polisi di Afghanistan kurang bagus. Mereka dinilai korup, gajinya kecil, suka memeras rakyat dan tidak dipandang sebagai pelindung masyarakat. Kesulitan ini juga dihadapi oleh Alf Dorweiler, polisi Jerman yang ditugaskan ke Afghanistan dalam misi pelatihan polisi Uni Eropa. Dorweiler, "motivasi para calon polisi cukup besar, tetapi konsentrasi mereka tidak. Setelah satu atau dua jam, mereka harus istirahat. Sudah itu, pelatihan harus dihentikan untuk sholat. Itu semua makan waktu dan membuat pelatihan terhambat.“

Dorweiler memaparkan, awalnya materi pelajaran yang dibawa dari Jerman tidak terpakai, karena di Afghanistan dibutuhkan konsep lain. Misalnya, jika mengajarkan bagaimana harus bersikap di jalanan, yang digunakan adalah mobil mainan dan bukan buku panduan.

Kepala staf di markas utama NATO Eropa, Jenderal Karl-Heinz Lather mengatakan, "ertama, yang harus dibuang adalah pemikiran bahwa polisi di Afghanistan sama dengan polisi yang bertugas di sekitar stasiun kereta api di Frankfurt dan mengatur lalu-lintas. Polisi di kawasan Kundus misalnya, tugasnya adalah seperti polisi penjaga perbatasan di masa lalu. Tugas mereka mirip dengan paramiliter, yakni menjaga keamanan kawasan. Itu berarti, mereka juga harus bertempur.“

Sedangkan pakar dari yayasan penelitian perdamaian dan konflik di negara bagian Jerman, Hessen, Cornelius Friesendorf, menilai dengan kritis strategi NATO. "Negara-negara barat mencari peluang untuk dapat secepat mungkin menarik mundur pasukannya dari Afghanistan. Karena itu, mereka ingin meningkatkan jumlah aparat keamanan Afghanistan. Namun yang perlu diperhatikan tidak hanya kuantitas, akan tetapi juga kualitas. Reformasi kepolisian seperti yang dilakukan di sejumlah kawasan konflik lainnya berlangsung beberapa tahun, bahkan dekade.“

Namun sejauh itu, kesabaran di negara anggota NATO untuk membiarkan tentaranya bertempur di Afghanistan, sudah lenyap.

Christoph Prössl / Andriani Nangoy

Editor: Agus Setiawan