1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sulitnya Menjadi Jurnalis di Iran

Naomi Conrad19 April 2013

Jurnalis di Iran sering dikejar, ditangkap dan disiksa. Kontak dengan media asing bisa berbahaya. Menjelang pemilu Juni mendatang, represi meningkat.

https://p.dw.com/p/18IgH
In Tehran on June 17, 2009. Iranian newspapers. AFP PHOTO/BEHROUZ MEHRI (Photo credit should read BEHROUZ MEHRI/AFP/Getty Images)
Iranische ZeitungenFoto: Behrouz Mehr/AFP/Getty Images

Setelah ditangkap, Ehsan Mehrabi menjalani malam yang panjang. Ia harus berdiri sepanjang malam. Ketika dia merasa pusing, dia tidak diijinkan duduk. Sampai dia sempat jatuh dan luka di kaepalanya. Tapi yang lebih berat adalah siksaan batin, kata Mehrabi. ”Mereka mengancam akan menangkap seluruh keluarga saya dan mengeksekusi saya.”

Ia dituduh menjadi mata-mata. Jurnalis berusia 37 tahun itu menuturkan, agen dinas rahasia Iran mendatangi tetangga dan teman-temannya. Mereka menceritakan bahwa Mehrabi bekerja sama dengan pemerintahan asing.

Mehrabi adalah koresponden yang meliput kegiatan parlemen Iran bagi beberapa media. Bulan Februari 2010, ia melakukan wawancara dengan program BBC bahasa Persia. Itu alasan kenapa ia mengalami represi. ”Itu saja sudah cukup untuk menahan saya di penjara selama satu tahun dan tiga bulan”.

Peringatan Dari Kementerian Kebudayaan

Banyak hal yang bisa jadi alasan jurnalis Iran ditangkap: sebuah artikel tentang program nuklir Iran atau reportase tentang harga bahan makanan, yang melonjak karena ada sanksi ekonomi. Para jurnalis harus hati-hati tidak melewati garis merah yang tidak didefinisikan.

”Pemerintah tidak pernah mendefinisikan, apa yang mereka maksud dengan sensor”, kata Reza Moini dari organisasi Reporter Tanpa Batas, Reporters Without Borders. Organisasi jurnalis Committee to Protect Journalists menyebutkan, pers di Iran adalah salah satu pers yang paling banyak disensor di dunia.

Peringatan kepada pempimpin redaksi sering datang dari Kementerian Kebudayaan. Para jurnalis sadar, peringatan itu harus ditanggapi serius. ”Baru-baru ini ada koran yang ditutup, karena mereka menulis tentang seorang tokoh oposisi”, kata Ali Mazrooie dari Serikat Jurnalis Iran AOIJ. Organisasi ini dilarang di Iran. Menurut Reporter Tanpa Batas, sejak 2009 sudah ada 30 koran yang dilarang. Akibatnya, 90 persen koran yang beroperasi saat ini berada di bawah pengawasan langsung dari pemerintah, kata Mazrooie yang sekarang tinggal di Belgia.

Lari ke Luar Negeri

Dalam beberapa bulan terakhir, lebih dari 200 jurnalis Iran lari ke luar negeri. Menjelang pemilihan umum bulan Juni, pemerintah Iran memperketat sensor serta menindak wartawan dan blogger yang kritis. ”Sejak awal tahun ini, sedikitnya 24 wartawan yang ditangkap”, papar Reza Moini. Beberapa orang dibebaskan lagi, tapi yang lain masih ditahan. Saat ini ada 46 jurnalis dan blogger yang dipenjara. Beberapa orang sudah ditahan selama bertahun-tahun.

Banyak jurnalis yang juga dipaksa untuk meninggalkan Teheran. Reporter Tanpa Batas menyebut ini sebagai ”pengasingan di pedalaman”. Anggota keluarga para jurnalis yang sudah pergi ke luar negeri juga sering mengalami intimidasi. Pemerintah Iran juga mengerahkan mata-mata di internet untuk mengawasi email dan percakapan lewat Skype. Saluran telepon sering disadap.

”Selama interogasi, mereka menunjukkan email-email saya”, kata Ehsan Mehrabi. Jadi komunikasi lewat email harus menggunakan sandi, tidak boleh menyebut nama pribadi. Jangan melakukan wawancara lewat telepon. Tapi itu pun kadang-kadang tidak cukup, tutur Mehrabi. Dia akhirnya lari ke Jerman dan sekarang tinggal bersama istrinya di Berlin.