1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Survei Kemampuan Pelajar: Cina dan Singapura Teratas

4 Desember 2019

Negara-negara Asia mendominasi peringkat kemampuan pelajar versi OECD. Yang dinilai adalah kemampuan membaca, matematika dan sains para siswa dari 79 negara. Indonesia duduki peringkat 6 dari bawah.

https://p.dw.com/p/3UBvY
Symbolbild Schulbildung für Flüchtlingskinder
Foto: picture-alliance/dpa/D. Karmann

Empat provinsi di Cina, Beijing, Shanghai, Jiangsu dan Zhejiang, menduduki peringkat teratas dalam survei kemampuan pelajar PISA (Programme for International Student Assessment) versi OECD yang hasilnya dirilis hari Selasa (3/12) di Paris. Ke-empat provinsi itu mencapai skor 555, diikuti oleh Singapura dengan 549, Macao (525) dan Hong Kong (524).

Survei PISA dilakukan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan OECD setiap tiga tahun di antara 37 negara anggotanya ditambah 42 negara mitra dagang dan ekonomi. Survei terbaru memuat data-data dari tahun 2018.

Jerman menduduki peringkat 20 dengan skor 498. Indonesia hanya mencapai skor 371 dan menduduki peringkat ke-6 terbawah. Peringkat ini didasarkan pada penilaian kemampuan membaca, yang dinilai jadi faktor terpenting.

Survei PISA dilakukan berdasarkan tes dua jam yang melibatkan 600.000 siswa berusia 15 tahun dari negara-negara peserta. Yang diuji adalah kemampuan membaca dan memahami materi yang dibaca, kemampuan matematika dan kemampuan sains.

Infografik PISA 2018 Ranking EN

Guru berkualitas dan pendidikan yang adil?

"Di banyak negara Asia, pendidikan anak-anak adalah prioritas nomor satu," kata Eric Charbonnier, pakar pendidikan di OECD. "Guru memiliki pelatihan berkualitas tinggi dan ada investasi di sekolah yang mengalami kesulitan," tambahnya.

Dalam kemampuan membaca dan memahami, yang dianggap OECD sebagai indikator utama potensi pendidikan, negara dengan kinerja terbaik adalah negara Baltik kecil Estonia, diikuti oleh Kanada, Finlandia dan Irlandia.

Sedangkan negara-negara Eropa yang lebih besar berada jauh di belakang, Inggris di peringkat 14, Jerman ke-20 dan Prancis ke-23. Amerika Serikat berada di peringkat ke-13.

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria mengatakan, para siswa dari empat provinsi di Cina telah "mengungguli sebagian besar rekan-rekan mereka dari 78 sistem pendidikan yang berpartisipasi (dalam survei)".

Selain itu, 10 persen siswa yang paling "miskin" secara sosial-ekonomi di empat wilayah ini "juga menunjukkan keterampilan membaca yang lebih baik daripada rata-rata siswa di negara-negara OECD, serta keterampilan yang mirip dengan 10 persen siswa yang paling diuntungkan di beberapa negara ini," katanya dalam konferensi pers di Paris.

Namun Angel Gurria juga mengingatkan, keempat provinsi dan kota di Cina itu tentu "jauh dari mewakili Cina secara keseluruhan. "Namun jumlah populasi gabungan di ke-empat wilayah itu adalah lebih dari 180 juta orang, dan masing-masing wilayah luasnya setara dengan negara OECD pada umumnya, meskipun pendapatan mereka jauh di bawah rata-rata OECD.

Infografik PISA 2018 Lesekompetenz EN

Status ekonomi sering menentukan kinerja siswa

"Kami juga melihat peningkatan luar biasa di beberapa negara yang kinerjanya jauh di bawah rata-rata OECD, tetapi mereka meningkat sangat cepat," katanya, merujuk pada Albania, Moldova, Peru dan Qatar.

Melihat hasil survei dari negara-negara maju anggota OECD, Angel Gurria menyebut hasilnya "mengecewakan". Di  sebagian besar negara anggota "hampir tidak ada peningkatan dalam kinerja siswa mereka" sejak survei PISA pertama pada tahun 2000.

Bahkan di Jerman, sekalipun menduduki peringkat lumayan baik, skor di ketiga kategori yang diperiksa memburuk dibandingkan angka-angka dari tahun 2015. Namun status ekonomi di Jerman masih sangat menentukan kinerja siswa.

OECD memuji Brasil, Indonesia, Meksiko, Turki dan Uruguay karena telah mendaftarkan lebih banyak anak berusia 15 tahun dalam pendidikan menengah "tanpa mengorbankan kualitas pendidikan yang disediakan".

Angel Gurria mengatakan, sementara beberapa negara telah menunjukkan bahwa latar belakang sosial ekonomi seharusnya tidak menjadi indikator kinerja pendidikan, namun bagi banyak negara, kesetaraan dalam pendidikan belum tercapai.

"Adalah sangat mengecewakan, bahwa di banyak negara kode pos siswa tetap menjadi indikator terpenting mengenai prestasinya," tandasnya.