1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suu Kyi Dukung Perlindungan Minoritas

25 Juli 2012

Pemenang nobel Aung san Suu Kyi, Rabu (25/07) untuk pertama kalinya berpidato di parlemen Myanmar. Suu Kyi mendukung seruan anggota parlemen partai berkuasa untuk memberi perlindungan kelompok minoritas.

https://p.dw.com/p/15ePH
Aung San Suu Kyi pertama kalinya berpidato di parlemen MyanmarFoto: dapd

Bagi banyak anggota parlemen di dunia, pidato bisa jadi adalah sebuah rutinitas. Namun itu menjadi sebuah simbol besar mengenai perubahan bagi negeri seperti Myanmar sejak militer menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan setengah sipil, Maret tahun lalu.

Berbicara dari lantai majelis rendah di ibukota Naypyitaw. Suu Kyi mengatakan bahwa selama puluhan tahun etnik minoritas menderita karena perang saudara dan keterbelakangan, karena itu hukum harus dibuat untuk memastikan bahwa hak-hak mereka terjamin.


Dukung Partai Berkuasa Soal Minoritas

Suu Kyi mengatakan aturan hukum itu harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling hormat dan percaya untuk menumbuhkan serikat demokrasi yang asli.

Hal menarik adalah, Suu Kyi mendukung mosi yang diajukan oleh anggota parlemen dari Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan USDP, yang berkuasa dan selama ini menjadi rival utama partai Suu Kyi yakni Partai Liga Nasional untuk Demokrasi NLD.

Mengutip laporan Bank Pembangunan Asia ADB, Suu Kyi mengatakan wilayah yang ditempati etnik minoritas Myanmar yang sebagian besar ada di sepanjang perbatasan dengan Cina dan Thailand, selama ini adalah wilayah yang paling parah terkena dampak kemiskinan.

Aktivis HAM Kecewa

“Perang saudara masih belum berakhir. Oleh karena itu, bisa dilihat bahwa melindungi hak-hak kaum minoritas lebih punya pengaruh luas daripada soal melestarikan bahasa dan budaya“ kata Suu Kyi.

Pidato Suu Kyi ini membuat kecewa beberapa aktivis hak asasi manusia karena tidak memberikan dukungan yang lebih besar untuk komunitas muslim Rohingya, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dianggap sebagai kelompok minoritas di dunia yang paling teraniaya. Pemenang nobel perdamaian itu tidak menyebut kekerasan di Rakhine dalam pidatonya.

rtr/ afp/ ab