1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tahap Awal yang Kritis di Myanmar

Alice Klein24 Oktober 2012

Semakin terbukanya pemerintah Myanmar, semakin besar kebebasan yang bisa dinikmati warga. Namun masih banyak yang waspada terhadap perubahan dan menilai jalan masih panjang bagi negara mereka.

https://p.dw.com/p/16VKe
Foto: picture-alliance/dpa

Suara lonceng membahana di Pagoda Emas Shwedagon, salah satu bangunan bersejarah di bekas ibukota Yangon yang dulunya dikenal dengan nama Rangoon. Agama Budha banyak dipeluk di Myanmar, dan biksu berjubah safron kerap ditemui di jalanan. Para peziarah membawa persembahan berisi bunga melati segar dan memukul lonceng agar para dewa menerima doa mereka. Banyak yang memohon perdamaian dan reformasi demokratis yang menyapu pemerintahan militer dapat bertahan.

Sing Sing, seorang dokter yang memilih untuk merahasiakan nama aslinya, menilai segala perubahan yang terjadi masih terlalu dini untuk benar-benar dipercaya. Perubahan yang menurutnya dimulai sekitar 8 bulan lalu. "Contohnya aktivisme yang kini lebih marak: para petani diperbolehkan mengutarakan aspirasi mereka; mereka berjuang untuk merebut kembali lahan yang disita di masa lalu oleh kroni-kroni junta militer," ungkapnya.

Protes biksu terhadap represi pemerintah dikenal dengan 'Pemberontakan Safron'
Protes biksu terhadap represi pemerintah dikenal dengan 'Pemberontakan Safron'Foto: dapd

Seperti banyak warga Myanmar lainnya, Sing Sing menganggap internet dan hak warga akan informasi memainkan peranan kunci dalam membuat negaranya lebih terbuka. "Saya pikir kalau lebih banyak orang yang memiliki akses terhadap dunia luar melalui internet, atau melalui Youtube atau Facebook, mereka dapat membaca bermacam-macam hal mengenai apa yang terjadi di dunia luar dan dengan melihat gambar, mereka dapat membandingkan apa yang terjadi di dalam dengan luar negeri," jelasnya.

Pers masih terbelenggu

Namun Maung Lone, seorang mantan jurnalis koran mingguan dwibahasa The Myanmar Times, yang juga bukan nama asli, memperingatkan bahwa pengumuman mengenai para jurnalis Myanmar yang tidak perlu lagi menyerahkan tulisan kepada pemerintah sebelum publikasi itu menyesatkan.

"Pengumuman itu cukup penting, tapi bukan berarti kami memiliki hak penuh; bukan berarti begitu. Pengumuman pemerintah bukanlah untuk menghapuskan sensor seperti yang diberitakan media luar bahwa pemerintah menghilangkan dewan sensor - bukan seperti itu sama sekali," tukasnya. "Pemerintah hanya membiarkan media mempublikasikan terlebih dahulu baru menyerahkan kepada dewan sensor," ia menegaskan. "Jika pemerintah menilai artikel yang dipublikasikan surat kabar tidak sesuai dengan standar pemerintah, mereka akan menuntut koran tersebut."

Meski Maung Lone sepakat dengan Sing Sing bahwa perubahan berakar pada kesadaran akan dunia luar. Ia juga mengatakan Musim Semi Arab berdampak pada Myanmar.

"Kami mendengarkan radio dan berkesempatan untuk mengetahui apa yang terjadi di luar negeri, seperti revolusi di Tunisia dan Mesir. Kami mendengarkan hal-hal yang menjadi inspirasi bagi kami. Kami telah berjuang untuk sekian lama dan perubahan terjadi di berbagai penjuru dunia. Sekarang kami menuai hasil perjuangan selama dua dekade," ujar Maung.

Pemberontakan Safron

Perubahan menurut Maung Lone terlihat dari dihapuskannya para jurnalis dari daftar hitam pemerintah dan organisasi media independen mulai berdiri di Yangon. Ini termasuk Democratic Voice of Burma, sebuah kelompok jurnalis video yang mengabadikan protes para biksu tahun 2007 lalu - dikenal sebagai Pemberontakan Safron - yang akhirnya ditangkapi.

Aye Chan Naing, Direktur Democratic Voice of Burma
Aye Chan Naing, Direktur Democratic Voice of BurmaFoto: AP

"Para jurnalis bisa bekerja, pergi ke gedung parlemen dan mewawancarai pejabat pemerintah. Menurut saya ini sebuah kemajuan besar bagi media; semua media yang diasingkan bisa kembali ke Myanmar, membuka kantor, menerbitkan berita dan mengkritik pemerintah secara terbuka. Saya pikir ini kemajuan yang cukup besar," tandasnya.

Dulu Maung Lone terbiasa bertemu sesama jurnalis dan aktivis di kedai-kedai teh tradisional di Yangon untuk membicarakan politik secara diam-diam. Bagi mereka yang merasa kegiatan itu terlalu beresiko memilih untuk meninggalkan Myanmar. Salah satunya Aung Myo Thein yang masih tinggal di Thailand dan mengkampanyekan pembebasan tahanan politik Myanmar bersama kelompok bernama Asosiasi Bantuan Bagi Tahanan Politik.

"Menurut data kami, masih ada lebih dari 300 tahanan politik yang mendekam di penjara: Mahasiswa, biksu, warga sipil, lansia dan pengacara masih berada di hotel prodeo," tegasnya.

Pelanggaran HAM berlanjut

Myo Thein berkata meski dunia luar melihat kemajuan di lokasi-lokasi turis dan kota-kota besar seperti Yangon, Mandalay dan Naypyidaw, pelanggaran hak asasi manusia masih berlanjut di wilayah-wilayah pedesaan dan terpencil di Myanmar.

"Kami bahkan tidak dapat melihat situasi yang sebenarnya di dalam negeri, karena tidak ada yang bebas bepergian ke wilayah-wilayah terpencil, terutama daerah-daerah konflik. Bagaimana kami dapat mengetahui situasi yang sebenarnya?" ia bertanya. "Kami tidak setuju kalau dibilang sudah banyak kemajuan. Kemajuan hanya terlihat di level atas dan bukan di tingkat bawah. Mereka tidak memperbolehkan kami menjenguk para tahanan politik dan tidak ada yang setuju dalam menindak pelanggaran HAM," tambahnya.

Bulan Agustus, pengacara Tomas Quintana yang ditunjuk PBB sebagai pelapor khusus menyangkut HAM di Myanmar mengunjungi negara tersebut untuk keenam kalinya. Ia mengunjungi sejumlah penjara dan sepakat dengan para aktivis bahwa tahanan politik yang masih mendekam di penjara harus segera dibebaskan, jika pemerintah ingin benar-benar berubah.

Aung San Suu Kyi dibebaskan setelah hampir 2 tahun berstatus tahanan rumah
Aung San Suu Kyi dibebaskan setelah hampir 2 tahun berstatus tahanan rumahFoto: picture-alliance/dpa

Isu lainnya timbul

Meski saat tahanan politik dibebaskan, timbul isu bagaimana memberi keadilan bagi ribuan warga Myanmar yang pernah disiksa dan keluarganya tercerai-berai akibat berdekade lamanya represi junta militer. Quintana melontarkan sebuah ide.

"Pelanggaran HAM yang meluas dan sistematis di masa lalu pasti akan menghantui masa kini dan masa depan Myanmar jika tidak ada langkah yang diambil. Saya tengah menyelami kemungkinan pembentukan komisi kebenaran sebagai cara untuk mengangkat masalah ini. Saya mendengar langsung dari Madam Aung San Suu Kyi dan ia setuju untuk mengangkat kebenaran dari masa lalu. Bahkan ia bercerita sebagai tahanan politik bertahun-tahun lamanya, ia berkesempatan menyembuhkan rasa sakit atas pelanggaran HAM dengan berbicara kepada pers, kepada media dan sebagainya. Tapi masih ada ratusan tahanan politik yang masih mengalami penderitaan dan butuh semacam terapi. Salah satu caranya adalah mengungkap kebenaran, berbicara dengan bebas mengenai apa yang terjadi," jelasnya.

Namun Quintana yakin Myanmar memiliki masa depan yang cerah. Ia yakin misi diplomatis yang baru-baru ini dilancarkan Presiden Thein Sein dan Aung San Suu Kyi akan membantu perbaikan hubungan internasional dan meningkatkan prospek ekonomi negara. Meski kenyataan bahwa orang-orang seperti Sing Sing dan Maung Lone masih berhati-hati dalam memberikan nama asli mereka cukup menjadi peringatan bahwa jalan yang dihadapi Myanmar masih terbilang panjang.