1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Bencana

Tahun 2018 Adalah Tahun Bencana Terparah Sejak 2007

28 Desember 2018

BNPB mencatat jumlah korban jiwa akibat bencana alam di Indonesia selama tahun 2018 jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya. Gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah menjadi yang paling banyak menyebabkan angka kematian.

https://p.dw.com/p/3AiPM
Seorang korban bencana tsunami di Selat Sunda
Seorang korban bencana tsunami di Selat SundaFoto: Reuters/J. Silva

Di penghujung 2018 ini Indonesia menutup tahun bencana paling parah selama satu dekade terakhir, klaim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hingga kini tercatat 4.231 korban meninggal dunia dan hingga tiga juta penduduk terpaksa mengungsi menyusul 2.426 bencana alam yang terjadi di sepanjang tahun.

Jumlah bencana alam tahun 2018 sebenarnya lebih rendah ketimbang 2017 yang mencatat 2.862 peristiwa alam. Namun angka korban pada tahun lalu jauh lebih rendah, yakni 378 kasus kematian dan pada 2016 tercatat 578 kasus kematian.

Baca juga: Natal Duka Tutup Tahun Bencana

"Tahun ini adalah tahun yang penuh bencana untuk Indonesia," kata juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho seperti dilansir Jakarta Post. "Ini adalah angka kematian paling tinggi sejak 2007," imbuhnya.

Rangkaian bencana di Indonesia diawali dengan gempa bumi di Lebak, Banten, pada 23 Januari, yang turut menggoyang Jakarta, dan memuncak pada gempa berkekuatan 6,4 pada skala Richter (SR) yang mengguncang Lombok dan gempa 7,4 SR di Sulawesi Tengah.

Bencana di Palu dan Donggala tercatat sebagai yang paling mematikan. Tercatat 2.256 orang meninggal dunia dan lebih dari 1.000 orang masih dinyatakan hilang. Kebanyakan korban hilang diyakini tertimbun tanah akibat fenomena likuifaksi yang melumerkan lapisan teratas tanah dan menelan bangunan di atasnya.

Terakhir tsunami Selat Sunda yang dipicu longsor bawah laut dari gunung Anak Krakatau menewaskan sekitar 430 orang, sementara 159 lainnya masih dinyatakan hilang. Peristiwa ini tergolong langka dan sulit diprediksi. Akibatnya hingga ombak menggulung kawasan pesisir, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) belum mengeluarkan peringatan dini bahaya tsunami.

Baca juga:Ilmuwan Sudah Prediksi Tsunami Anak Krakatau Enam Tahun Silam 

Atas dasar itu Presiden Joko Widodo kini memerintahkan BMKG melengkapi sistem pemantauan bencana tsunami dengan membeli pendeteksi gelombang baru pada 2019. Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, pihaknya telah mengajukan pengadaan perlengkapan kebencanaan sejak awal Januari 2018. Saat ini permohonan tersebut sedang digodok di Kementerian Keuangan.

"Harus saya akui, kami gagal meyakinkan bahwa potensi ancaman tsunami dan bencana lain itu nyata sehingga keberadaan berbagai peralatan untuk deteksi dini itu amat mendesak," katanya kepada Detik.com.

"Padahal potensi ancaman tsunami di tanah air sebetulnya sudah dipetakan sejak 2001. Tapi di tengah keterbatasan anggaran negara, pengadaan berbagai peralatan deteksi dini itu harus melewat prosedur pengkajian dan pembahasan yang panjang," kata dia lagi.

Menanggapi tsunami tak terduga di Selat Sunda, Karnawati menginstruksikan penggabungan data pengamatan gempa bumi milik BMKG dan erupsi gunung berapi milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Selain itu Badan Perencanaan dan Penerapan Teknologi (BPPT) dilibatkan dalam pengadaan alat pendeteksi tsunami.

Baca juga: Kisah-kisah Mereka yang Kehilangan Dalam Gempa Palu

Ahli Tsunami di BPPT, Wijdokongko berharap pemerintah serius memberikan dukungan finansial untuk menyempurnakan sistem pemantauan bencana di Indonesia. "Saya tidak tahu ini bagaimana prospek ke depannya, apakah ini akan lanjut apa tidak. Karena ini kan di penghujung tahun politik juga," kata dia kepada DW. "Tapi kalau itu jadi keniscayaan, maka kita siap mendukung."

Namun demikian pemerintah didesak untuk membangun kesadaran bencana dan melakukan pendidikan mitigasi terhadap masyarakat. "Harus ada latihan darurat tsunami, harus ada jalur evakuasi, harus ada pusat informasi tsunami yang membantu mengedukasi masyarakat. Karena kadang-kadang secara edukasi dan budaya (belum tercukupi). Ini tantangannya."

rzn/na (afp, ap, thejakartapost, kompas)