1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk : 15 Tahun Bagi Baasyir

17 Juni 2011

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari Kamis (16/06) menjatuhkan vonis 15 tahun penjara bagi Abu Bakar Baasyir. Hakim menyebut, Baasyir secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak kejahatan terorisme.

https://p.dw.com/p/11czO
Abu Bakar BaasyirFoto: AP

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar Baasyir divonis hukuman seumur hidup.

Tahun 2006, Baasyir lolos dari tuduhan terlibat dalam aksi teror bom Bali I dan bom di hotel JW Mariott. Dua tahun kemudian, dia mendirikan Jama'ah Ansharut Tauhid atau JAT. Organisasi ini dalam waktu singkat berkembang pesat dan merekrut banyak anggota. Figur Baasyir dan ide tentang Negara Islam memang menarik bagi sejumlah kalangan di Indonesia.

Baasyir dan para pendukungnya memang punya utopia mendirikan Negara Islam. Karena itu, tidak mengakui Republik Indonesia. Baasyir, sejak awal menolak sistem demokrasi, tapi ironisnya dia menikmati kebebasan untuk pulang kembali ke Indonesia setelah melarikan diri dari rejim otoriter Soeharto pada era tahun 70-an.

Reformasi 98 dan kebangkitan agama pasca tragedi 11 September membuka ruang kebebasan bagi kelompok atau orang seperti Baasyir. Mereka bebas membuat organisasi, merekrut massa dan berkampanye tentang sebuah ide, yang ironisnya ingin membajak kebebasan.

Kebebasan, ibarat kita membuka lebar-lebar pintu dan jendela. Tak hanya udara segar, lalat dan nyamuk juga ikut masuk. Maka, kita menyaksikan munculnya kelompok-kelompok komunal yang tidak menghargai nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Dengan dalih demokrasi, mereka mereka membuat ormas yang ingin membungkam kebebasan orang lain: menghalang-halangi orang lain yang ingin mendirikan rumah ibadah atau mereka yang dianggap menyimpang dari ajaran mainstream. JAT yang didirikan oleh Baasyir termasuk diantaranya. Organisasi ini aktif dalam sejumlah aksi anti Ahmadiyah atau penolakan pembangunan gereja. Intoleransi, sejak awal menjadi watak organisasi massa ini. Sesuatu yang justru bertolak belakang dengan toleransi yang menjadi nilai dasar demokrasi.

Hingga akhirnya, pada Mei 2010 Detasemen Khusus Anti Teror atau Densus 88 menggerebek kantor JAT di Jakarta. Mereka menangkap tiga pengurus teras JAT karena menggalang dana untuk mendirikan kamp pelatihan teroris di Aceh Besar. Dari sana, polisi mengungkap keterlibatan Baasyir.

Selama ini, banyak orang cemas bahwa pengadilan atas Baasyir adalah sebuah rekayasa. Mereka, terutama pendukung mengatakan bahwa Baasyir diadili karena ingin menegakkan syariat Islam. Tapi vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu jatuh bukan karena pikiran Baasyir dianggap sesat dan bertentangan dengan demokrasi. Baasyir divonis bersalah karena terlibat dalam kejahatan terorisme. Dalam demokrasi, pikiran tidak bisa diadili bahkan termasuk buat orang seperti Baasyir yang ingin mengganti asas Negara Indonesia.

Andy Budiman

Editor : Kostermans/Setiawan