1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Batalnya Kunjungan Steinmeier ke Damaskus

Peter Philipp16 Agustus 2006

Sesaat menjelang kunjungannya di Suriah, menteri luar negeri Jerman membatalkan rencana tersebut. Pasalnya, beberapa jam sebelum kedatangannya di Damaskus, Presiden Suriah Basyar el Assad dalam pidatonya menyebut Israel sebagai musuh dan menuduh Amerika Serikat.

https://p.dw.com/p/CJbs
Presiden Suriah Basyar el Assad
Presiden Suriah Basyar el AssadFoto: AP

Orang harus dapat berkata tidak. Dalam diplomasi internasional hal itu sangat jarang terjadi, karena memang itulah pengertian diplomasi. Juga dalam perbedaan pendapat tetap bersikap tidak mengikat dan terus bertindak seolah-olah tidak terjadi apapun. Pengertian yang salah dalam hubungan internasional, karena diplomasi lebih sering dianggap sebagai bisnis tanpa pendirian dan tanpa tanggung jawab.

Keputusan Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier sangat kontras dari skenario tersebut: Membatalkan lawatan ke ibukota Suriah Damaskus sesaat sebelum keberangkatannya. Presiden Suriah Basyar el Assad dalam pidatonya menjelang kedatangan Steinmeier menegaskan, tidak ada lagi alasan untuk kunjungan itu.

Bukan karena ia menilai Israel sebagai musuh: karena memang itulah Israel, selama kedua negara secara resmi berada dalam keadaan perang. Tapi Assad melangkah lebih jauh: Ia menyampaikan penolakan terhadap upaya perdamaian di Timur Tengah. Presiden Suriah itu memang menyatakan kesediaan damai negaranya, tapi menambahkan hal ini tidak berlaku bagi Israel. Dengan siapa Assad akan mengadakan perdamaian jika tidak dengan musuhnya saat ini? Kata akhir sudah dekat, bahwa ia memang tidak menginginkan perdamaian. Dan oleh sebab itu ia didiskualifikasi sebagai mitra konstruktif dalam penataan jangka panjang Timur Tengah.

Dengan seruannya agar liga Arab mendukung Hisbullah, ia melakukan hal yang sama – dan ini berarti perang melawan Israel. Assad adalah pria muda penuh harapan yang naik ke puncak pemerintahan, seorang yang diharapkan membawa perubahan mendasar dalam politik Suriah. Tapi harapan tersebut mengecewakan di segala bidang. Mula-mula orang menganggap sikap kepala batu Assad berasal dari pengaruh di masa kepemimpinan ayahnya, Hafez al Assad. Tapi sejauh ini lebih terbukti, bahwa itu lebih sebagai hasil apa yang dilakukannya sendiri.

Menteri luar negeri Jerman harus menerima kenyataan pahit tersebut, karena belakangan ini Frank-Walter Steinmeier termasuk penggagas dalam konflik Timur Tengah, agar Suriah lebih bertanggung-jawab dalam masalah Libanon. Tanggung-jawab konstruktif yang tujuannya tidak hanya melumpuhkan Hisbullah tapi juga stabilisasi di Libanon dan angin baru untuk proses perdamaian.

Suriah memiliki kepentingan yang beralasan di Libanon, ia dapat mengajukan tuntutan terhadap Israel dan dapat melayani kedua pihak, serta dapat memperoleh dukungan internasional. Damaskus sekaligus dapat membebaskan diri dari tuduhan yang dilontarkan Israel dan Amerika Serikat. Tapi Assad justru mengambil keputusan sebaliknya, yang menguatkan tuduhan itu. Ia tidak boleh heran, jika negaranya akan terus terisolasi dan harus mencari rekan seperti presiden Iran. Dengan politik seperti itu, Assad merugikan negaranya sendiri, kawasannya dan semua yang berupaya melakukan perdamaian.

Adalah hal yang salah bila menolak melihat kenyataan dan menganggap pidato Assad tidak pernah ada. Jika orang menanggapinya secara serius, hanya ada satu konsekuensi: Steinmeier harus membatalkan kunjungannya.