1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Kemenangan Upaya Diplomasi

Sybille Golte-Schöder16 Agustus 2006

Proses perdamaian Aceh bisa dicontoh internasional. Komentar Kepala Redaksi Asia Deutsche Welle, Sybille Golte-Schröder.

https://p.dw.com/p/CPCa
Tsunami membuka Aceh kepada dunia dan organisasi bantuan internasional
Tsunami membuka Aceh kepada dunia dan organisasi bantuan internasionalFoto: AP

Bila ditilik, manajemen konflik dan krisis internasional yang berlangsung beberapa tahun terakhir ini kurang berhasil. Irak masih hanyut dalam kekerasan, keamanan di Afghanistan semakin buruk, konflik atom dengan Iran belum terselesaikan, sedangkan penyelesaian situasi krisis di Lebanon belum betul-betul ditemukan. Justru karena itulah, amat penting untuk berpaling ke propinsi Aceh di Indonesia.

Tanpa terlalu gembar-gembor, perang saudara yang berlangsung selama 30 tahun di wilayah itu sudah berakhir. Walaupun menghadapi persyaratan yang berat, wilayah Aceh sekarang damai dan proses demokratisasi sudah berlangsung. Perbedaan etnis, aparat militer yang sulit dikontrol, gerakan masyarakat yang memperjuangkan kemerdekaan – semua ini merupakan bahan dasar yang memicu konflik. Menurut sejumlah pengamat politik, kuatnya pengaruh Islam di Aceh dan penerapan hukum syariah, meningkatkan sensitifitas konflik tersebut. Kemampuan mengatasi situasi yang dapat seketika meledak dan membangun landasan perdamaian yang kekal, menunjukkan kepiawaian bernegosiasi.

Dua upaya besar melahirkan solusi Aceh. Keberhasilan mantan Perdana Menteri Finladia, Martti Ahtisaari, mengajak kedua pihak yang bertikai ke meja perundingan di lokasi yang jauh dari ajang peperangan. Selain itu, peranan penting yang dimainkan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, SBY, yang terpilih secara demokratis. Terdengar sinis, bila menyatakan bahwa perang itu baru bisa berakhir tahun 2004 karena terjadi bencana tsunami. Namun kenyataannya, SBY menggunakan kekacauan akibat bencana itu untuk mengakhiri darurat militer yang berlangsung dan membuka wilayah Aceh kepada dunia dan organisasi bantuan internasional.

Akibatnya, konflik Aceh kembali dalam sorotan dunia internasional. Agar tidak kehilangan muka, pihak-pihak yang bertikai terpaksa menyepakati berbagai persyaratan. Gerakan Aceh Merdeka, GAM, terpaksa menarik kembali tuntuntan kemerdekaannya, pihak militer Indonesia terpaksa tunduk kepada Jakarta serta pemerintahan pusat dan memberikan masyarakat Aceh haknya mendapatkan bagian lebih besar dari hasil sumber alamnya.

Kesepakatan damai di Aceh memberikan isyarat, bagaimana konflik di wilayah lain Indonesia bisa diselesaikan. Indonesia masih terperangkap dalam sistim yang diterapkan selama 30 tahun oleh pemerintahan mantan presiden, Jenderal Suharto. Selama itu, aparat militer yang berkuasa menjaga pembagian hasil bumi yang tidak adil. Lapisan pimpinan pemerintah mendapatkan keuntungan besar dari kondisi itu. Namun belum 10 tahun lewat sejak Suharto dipaksa mundur, sekarang kesalahan-kesalahan dari masa itu mulai diperbaiki.

Sejak menjabat presiden, Susilo Bambang Yudhono, berusaha berperan sebagai juru tengah sejumlah konflik internasional. Sebagai pemimpin yang mewakili negara bermasyarakat Muslim yang terbesar di dunia, SBY memiliki peranan penting. Suaranya diperhatikan dunia Islam. Prinsip yang dipertahankan kepala negara terpilih, di Indonesia yang memisahkan pemerintahan dari agama, memberikan contoh kuat bagi penyelesaian perang antara kebudayaan. Presiden Indonesia memberikan alternatif yang patut dicontoh.