1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Larangan Penggunaan Burka di Perancis

16 September 2010

Perancis adalah negara Eropa pertama yang melarang pemakaian burka atau nikab di bawah ancaman hukuman. Menurut jurnalis DW Bernd Riegert, larangan itu tidak ada kaitannya dengan pembatasan kebebasan beragama.

https://p.dw.com/p/PDel
Foto: dpa

Larangan menggunakan busana yang menutup seluruh tubuh bagi perempuan yang disetujui oleh Senat sebagai majelis kedua parlemen Perancis, adalah sebuah langkah yang benar. Keputusan itu tidak ada hubungannya dengan tidak adanya toleransi atau bahkan pembatasan kebebasan beragama.

Burka atau nikab merupakan rintangan upaya integrasi terbesar yang tidak dapat diterima oleh sebuah masyarakat Eropa yang terbuka. Penutup muka bagi seseorang yang berada didepannya berarti: "Saya tidak mau berhubungan dengan kamu. Kamu tidak boleh melihat muka saya."

Burka atau nikab bukan bagian dari kebebasan beragama, melainkan hanya sebuah alat warisan tradisional untuk merampas kepribadian dan kemandirian perempuan. Campur tangan pemerintah atas hak-hak pribadi untuk berbusana, seperti yang dituding sejumlah pihak, dalam hal ini adalah legitim.

Perancis adalah negeri pertama di Uni Eropa yang menerapkan hukum bagi pengguna burka dan nikab di tempat umum. Tetapi Perancis bukan satu-satunya negara yang mempermasalahkan isu ini. Pemberlakuan undang-undang terkait juga sedang diproses di Belgia. Di Denmark larangan dapat diterapkan di instansi publik sedangkan di Belanda, Swiss dan Spanyol, larangan burka juga sedang diperdebatkan. Di Perancis larangan tidak secara eksplisit ditujukan bagi penutup muka secara Islam, tetapi penutupan wajah secara umum, karena larangan itu tidak dibuat untuk agama tertentu.

Yang diutamakan adalah isu hak perempuan dan bukan sikap memusuhi Islam. Jerman sendiri seharusnya juga meluncurkan perdebatan mengenai larangan burka. Sedangkan Inggris di bawah pemerintahan konservatif-liberal sayangnya menolak larangan burka atau nikab.

Perdebatan seputar burka sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan perdebatan mengenai jilbab atau sorban. Yang disebut sebagai simbol agama Islam dan sama halnya seperti simbol agama Kristen, dikatakan tidak diinginkan di lembaga-lembaga pemerintahan. Pemisahan antara negara dan gereja adalah sebuah keberhasilan penting dari zaman Pencerahan di Eropa.

Di Turki jilbab dinilai sebagai simbol keagamaan dan politik, karena itu dilarang dikenakan di universitas. Praktik ini dibenarkan oleh Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia. Tetapi dalam hal ini tidak semua negara di Eropa bersikap keras. Di Jerman orang diizinkan mengenakan jilbab meskipun ini mempersulit proses integrasi.

Disayangkan bahwa gerakan radikal kanan, terutama di Belanda dan Jerman, menyalahgunakan kritik terhadap Islam untuk kepentingan mereka sendiri. Meskipun demikian, yang penting adalah: setiap orang yang mengkritik sesuatu pada tradisi Islam yang sepatutnya dinilai sebagai keterbelakangan patriarkal, bukanlah otomatis seorang neo-Nazi ataupun rasis.

Perdebatan di banyak negara Eropa ini menunjukkan bahwa ada rasa ketidaknyamanan bila berhadapan dengan seseorang yang mengenakan burka. Tetapi sesungguhnya hanya sedikit yang akan melihatnya. Karena di Perancis, Belgia atau Jerman, pengguna burka sangat, sangat jarang ditemukan.

Hanya segelintir perempuan yang harus mengenakannya, kini mungkin tidak akan melepaskannya, tetapi cenderung untuk diisolasi oleh keluarga di rumah. Kalau begitu burka tidak banyak berguna bagi proses integrasi perempuan terkait. Namun perdebatan mengenai pelaksanaan ajaran agama yang berlebih-lebihan yang bertentangan dengan nilai-nilai Eropa, hendaknya terus dilanjutkan.

Bernd Riegert/Christa Saloh

Editor: Agus Setiawan