1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Lima Tahun Guantanamo

Daniel Scheschkewitz10 Januari 2007

Tahanan pertama dari perang anti teror yang dilancarkan AS tiba di pangkalan militer Guantanamo Bay di Kuba lima tahun lalu.

https://p.dw.com/p/CIw8
Seorang tahanan ketika dibawa ke penjara Guantanamo
Seorang tahanan ketika dibawa ke penjara GuantanamoFoto: Roadside Attractions

Sejak saat itu, lebih dari 700 tahanan ditahan dan diperiksa tanpa proses pengadilan. Penjara itu terus dimodernisasi, tetapi di sana tetap tidak ada hukum yang berlaku dan metode pemeriksaan yang digunakan, patut diragukan.

Tujuan yang ingin dicapai menghalalkan cara yang digunakan, setidaknya bagi yang saat ini memerintah di AS. Keraguan pemerintahan Bush, bahwa tersangka teroris dapat ditangani dengan metode negara hukum, membuat para tahanan dipindahkan ke pangkalan militer di Kuba lima tahun lalu. Tempat itu jauh dari pandangan umum dan dari hukum yang digunakan di AS. Guantanamo lebih merupakan kamp tahanan perang, tetapi para tahanannya juga tidak memperoleh status yang dijamin dalam hukum internasional.

Pada bulan-bulan pertama, Guantanamo, yang ketika itu disebut "Camp Delta", lebih merupakan kandang, di mana para tahanan harus mendekam dalam kondisi yang sama sekali tidak manusiawi. Sekarang, memang sudah mirip dengan "Camp X-Ray" atau "Camp 6" yang sama dengan gedung tahanan modern yang dijaga ketat, seperti yang juga terdapat di negara-negara Barat lainnya. Para tahanan yang mau bekerjasama juga memperoleh keistimewaan, seperti pakaian yang berbeda, boleh membaca buku dan menonton video, sampai pelayanan medis yang mahal.

Yang tetap tidak berubah adalah ketiadaan hukum yang berlaku. Ditambah dengan kasus-kasus penganiayaan dan penyiksaan, seperti yang didokumentasikan oleh FBI dalam minggu-minggu belakangan ini. Para tahanan dipukuli dan selama berjam-jam dibiarkan dalam ruangan yang sangat dingin atau sangat panas di tengah kotoran dan air seninya sendiri. Belum lagi penistaan terhadap kitab suci al Quran. Kasus-kasus itu mencemarkan citra AS di seluruh dunia dan menyebabkan kelompok radikal bertambah pengikutnya. Guantanamo dan Abu Ghraib menjadi simbol ketidak-adilan dan tidak manusiawinya AS. Padahal yang dicanangkan sebagai tujuan adalah membela kebebasan dan toleransi.

Cara menanggulangi teror, yang melampaui batas dari sistem yang digunakan sebuah negara hukum, muncul dari logika 11 September. Karena diyakini, teroris hanya dapat ditanggulangi dengan kekerasan yang konsekuen dan metode yang tidak lazim, maka mereka tidak ragu-ragu melakukan penyiksaan. Bisnis kotor itu dilakukan oleh agen-agen swasta dan bukan oleh CIA atau FBI. Apa yang diperoleh dari cara-cara tersebut, menurut Presiden George W. Bush, telah berhasil mencegah terjadinya teror baru di seluruh dunia dan ditahannya teroris yang berbahaya.

Tetapi para pakar menilai, hasil yang dicapai tidak seberapa. Memang di Guantanamo mendekam orang-orang yang punya niat buruk terhadap AS dan negara-negara lain di dunia. Seperti misalnya Khalid Syekh Mohammad, tersangka dalang serangan 11 September 2001. Tetapi banyak pula tahanan yang tidak bersalah. Kalau pun tujuan yang hendak dicapai menghalalkan cara yang digunakan, tetapi dalam lima tahun terakhir ini, teror di seluruh dunia bukannya berkurang, malah terus meningkat.

Kondisi di Guantanamo justru terus menambah pengikut kelompok ekstremis Islam. Pengadilan militer yang khusus diciptakan bagi Guantanamo tidaklah sesuai dengan standar sebuah negara hukum. Ini justru lebih merugikan daripada menguntungkan kepentingan keamanan Amerika dan sahabat-sahabatnya. Penutupan penjara itu adalah yang terbaik, tetapi di bawah presiden yang sekarang, itu mustahil.