1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Thailand Lage

20 Mei 2010

Kota Bangkok semakin memanas, kekerasan terus berlangsung. Walaupun seandainya Bangkok dapat kembali normal dalam beberapa hari mendatang, masalah utama atas konflik yang terjadi masih belum akan dapat terselesaikan.

https://p.dw.com/p/NT5w
Foto: AP

Negeri senyum, demikian citra yang ditampilkan Thailand kepada tamu-tamu asingnya, ratusan ribu wisatawan yang tiap tahun mendatangi surga wisatawan Asia Tenggara itu. Pada prinsipnya citra itu telah tercoreng. Saat semua kebakaran dipadamkan, asap menghilang dari jalan-jalan kota Bangkok, jumlah korban kerusuhan dihitung dan barikade disingkirkan, pertanyaan tentang pemenang dan pencundang akan diajukan. Jawabannya, tidak ada yang menang, tetapi banyak yang kalah.

Pecundang terbesar adalah demokrasi di Thailand. Untuk kesekian kalinya parlemen terbukti tidak kompeten untuk merealisasikan pertentangan antara elit dan rakyat pedesaan yang berunjuk rasa, pertentangan yang melatari kerusuhan, ke dalam politik yang konstruktif.

Tidak ada wilayah hukum yang mampu menopang legitimasi pemerintah di Bangkok dengan kewibawaan. Dan tidak ada partai yang membangkitkan anggapan bahwa konflik bisa dipecahkan di tataran politik. Institusi politik -sekali lagi- gagal di seluruh lini.

Yang juga tercoreng adalah wibawa moral dinasti kerajaan. Harapan akan pengaruh moderat Raja yang tengah sakit berat tak terpenuhi. Tak ada isyarat jelas dari istana yang berlapis emas itu.

Kerugian berikutnya harus diperhitungkan oleh industri pariwisata, yang menafkahi ratusan ribu warga Thailand. Sejak PM Thaksin, yang terbukti korup tapi tetap saja populer, mengambil alih pemerintahan tahun 2001, Thailand semakin terperosok dalam kekacauan, belakangan juga ekonomi.

Thaksin hengkang. Pengadilan Thailand menantikan dirinya tetapi banyak yang melihat ia sebagai sutradara kerusuhan terakhir. Hal itu tak akan bisa dibuktikan, lagipula tuduhan juga tidak akan menolong lebih jauh. Karena penentang Thaksin pun, pendukung pemerintah yang sekarang, para pemakai baju kuning, menggunakan cara yang tidak demokratis untuk menjatuhkan seorang pemimpin yang tidak disukai dari jabatannya. November 2008, mereka menduduki bandara internasional Bangkok selama berhari-hari. Rakyat tetap terbelah dalam dua kubu.

Merah atau kuning? Pihak mana yang benar? Tidak satupun. Tuntutan fraksi kuning yang memerintah saat ini akan kuota bagi elit negara di parlemen, bertentangan dengan pemahaman demokrasi Barat, sama seperti aksi baju merah di jalanan Bangkok.

Namun, di samping merah dan kuning masih ada kekuatan ketiga dalam perebutan kekuasaan di Thailand. Secara keseluruhan, militer sudah 18 kali mengkudeta pemerintah yang berkuasa, dalam sejarah modern Thailand. Dan isu tentang kudeta kembali beredar sejak pecahnya kerusuhan terakhir. Jumlah pengambilalihan kekuasaan saja menunjukkan bahwa militer senantiasa siap untuk kembali ke barak dan menyelenggarakan pemilu.

Adakah hal positif dalam situasi saat ini? Bagaimanapun tidak terjadi pertumpahan darah besar-besaran, sekalipun jatuh banyak korban untuk diratapi. Situasi yang jauh lebih buruk masih bisa muncul. Thailand tidak, atau belum, tenggelam dalam perang saudara dan sipil. Tapi dari wilayah utara dilaporkan kerusuhan baru. Para lawan hanya mundur ke parit perlindungan. Sampai tiba kesempatan berikutnya.

Sybille Golte
Sybille Golte

Sybille Golte

Editor: Renata Permadi