1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Pertarungan Kekuasaan di Libanon

Rainer Sollich25 Januari 2007

Hisbullah yang mendesak mundurnya Perdana Menteri Siniora kembali mendemonstrasikan kekuatannya.

https://p.dw.com/p/CP9R
Seorang pendukung Hisbullah dalam demonstrasi di Libanon
Seorang pendukung Hisbullah dalam demonstrasi di LibanonFoto: AP

Kerusuhan terbaru di Libanon menggambarkan pertarungan kekuasaan antara dua kubu politik. Yang tidak saja dilatarbelakangi politik dalam negeri, tapi seperti yang sering terjadi dalam sejarah negara ini, tidak lepas dari pengaruh kepentingan asing. Kepentingan yang sayangnya membuat kebanyakan warga Libanon membiarkan dirinya diperalat. Kepentingan yang kembali mengancancam terjadinya perpecahan di negara itu.

Terdapat Suriah dan Iran yang mendukung Hisbollah, yang tidak menginginkan terwujudnya Libanon yang demokratis, apalagi Libanon yang pada suatu saat di bawah pengaruh Amerika Serikat, dapat mencari perdamaian dengan Israel. Setidaknya sejak perang dengan Israel sekitar Agustus lalu, diketahui, senjata Hisbullah dibiayai Teheran dan diselundupkan melalui Suriah.

Iran yang ingin berpengaruh lebih besar di kawasan itu hendak menjadikan Hisbullah sebagai mitra yang handal secara ideologis dan militer.

Dan Damaskus, yang khawatir dipandang sebagai tersangka utama oleh dunia internasional akibat pembunuhan mantan perdana menteri Libanon Rafik Hariri dan yang terpaksa menarik pasukannya dari Libanon dua tahun lalu, masih ingin melakukan perhitungan dengan kekuatan pro Barat di Beirut. Dalam waktu dekat Suriah dapat kembali mencoba memaksakan pengaruhnya terhadap Libanon.

Sementara Amerika Serikat beserta mitranya di kawasan itu, juga memiliki kepentingan di Libanon, yakni mewujudkan demokratisasi di Timur Tengah. Jika gagal di Irak paling tidak berhasil di Libanon. Selain itu, Barat berkepentingan mencari mitra yang dapat diandalkan di kawasan itu, tidak hanya untuk menjamin eksistensi Israel tapi juga jaminan bagi sumber energi.

Belakangan ini Amerika Serikat begitu terbuka dan secara jelas mendemonstrasikan kemitraannya dengan pemerintah di Beirut, di mana Libanon berulang kali memandang perlu memberikan pernyataan, bahwa mereka tidak memiliki kewajiban terhadap Amerika Serikat melainkan semata-mata untuk kepentingan Libanon. Meskipun demikian kehadiran yang terlalu ofensif dari tentara Amerika Serikat semakin mengurangi rasa simpati sebagian besar masyarakat.

Kerusuhan terakhir jelas dimulai oleh Hisbullah dan mitranya, jadi bukan hanya dari kelompok Islam melainkan juga dari politisi Kristen yang gila kuasa, seperti mantan Jenderal Michel Aoun. Dengan memblokir jalan mereka mencoba memaksakan kehendaknya di seluruh Libanon dan mendesak mundurnya pemerintahan. Permainan yang berbahaya dan mengancam demokrasi Libanon yang rapuh. Tapi juga pendukung kubu pemerintah terlalu membiarkan dirinya terlibat dalam bentrokan kekerasan. Di semua kelompok muncul fanatisme yang mengerikan, yang hanya akan membawa negara yang masih berada di bawah penderitaan perang ke dalam kekacauan yang lebih parah.

Upaya penyelesaian terbaik pertama-tama adalah kembali dilakukannya dialog nasional. Perundingan harus juga memiliki sasaran kembali terwakilinya warga Syiah dalam pemerintahan secara seimbang. Pemerintah tidak boleh mengalah terhadap semua permintaan tapi harus sadar bahwa pihak oposisi dapat menggerakkan massa dalam jumlah besar. Kenyataan yang kurang menyenangkan, namun aksi protes menunjukkan bahwa Libanon tidak dapat mengesampingkan Hisbullah dalam menjalankan pemerintahan.