1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Pertemuan Kuartet Timur Tengah di Berlin

Rainer Sollich22 Februari 2007

Negara-negara Arab nantinya hendak lebih dilibatkan untuk menghidupkan lagi proses perdamaian Timur Tengah.

https://p.dw.com/p/CIuf
Foto: AP

Pertemuan di Berlin dihadiri pula oleh Sekjen PBB Ban Ki Moon dan menlu AS Condoleezza Rice. Ini merupakan pertemuan kedua dari Kuartet Timur Tengah dalam waktu tiga minggu, dan pertemuan berikutnya akan diselenggarakan di sebuah negara Arab. Imbauan dilancarkan berulang kali ke arah Hamas, agar mengakui hak eksistensi Israel dan berpaling dari kekerasan. Komentar Rainer Sollich:

Pertemuan Kuartet Timur Tengah di Berlin tidak membawa kemajuan berarti. Tetapi ada sinyal penting, yaitu dunia internasional kembali meningkatkan upaya untuk menyelesaikan konflik Palestina. Sasaran yang hendak dicapai adalah negara Palestina yang berdaulat dan mampu berdiri sendiri. Pertemuan itu juga menuntut dari pemerintahan baru Palestina yang terdiri dari Hamas dan Fatah nanti, agar mengakui hak eksistensi Israel, berpaling dari kekerasan dan menaati semua yang telah disepakati. Selain itu negara-negara Arab juga akan lebih dilibatkan dalam proses perdamaian di Timur Tengah.

Memang tidak perlu diragukan, Kuartet Timur Tengah telah dihidupkan kembali, terutama berkat peranan Jerman yang sekarang memimpin UE. Tetapi di lain pihak akan diamati pula apakah AS, PBB, UE dan Rusia dalam waktu dekat juga akan berhasil menghidupkan lagi proses perdamaian antara Israel dan Palestina. Untuk itu sayang kondisinya kurang mendukung.

Lima tahun lalu Kuartet Timur Tengah membeberkan kepada dunia rancangan berambisi tinggi yang diperkirakan memungkinkan pembentukan negara Palestina sampai tahun 2005. Itu masih ditunggu sampai sekarang. Ketentuan yang tercantum dalam peta perdamaian "roadmap", sejak semula tidak ditaati oleh kedua pihak yang terlibat konflik. Palestina tidak menghentikan kekerasan, dan Israel tidak menghentikan pembangunan pemukiman di Tepi Barat Yordan.

Rincian dari konflik itu memang rumit, tetapi yang jelas, satu-satunya jalan yang realistis menuju perdamaian hanyalah penyelesaian dalam bentuk dua negara. Semoga itu juga disadari oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama oleh Hamas. Karena, keinginan Hamas memaksa sebuah negara yang tidak diakui eksistensinya untuk memberikan kelonggaran tidaklah realistis. Hal ini telah dihayati Fatah dengan susah payah. Sayangnya selama ini Hamas nampak tidak mau menerimanya. Masalahnya, di masa depan Hamas juga akan berperan dalam menentukan kebijakan yang dijalankan Palestina.

Tambahan lagi, Israel pun tetap bersikeras untuk melanjutkan pembangunan pemukiman dan tembok pemisah secara sepihak. Hal mana dilakukan Israel tanpa harus menghadapi gelombang kemarahan dunia internasional. Selain itu kedua pihak juga tidak punya politisi yang mendapat dukungan kuat di dalam negeri untuk menggolkan perdamaian. PM Israel Ehud Olmert sedang menghadapi krisis politik dalam negeri, sedangkan Palestina sedang berusaha membentuk pemerintahan Hamas dan Fatah, yang para pendukungnya beberapa waktu lalu masih terlibat bentrokan berdarah di jalanan.

Pada dasarnya cukup banyak terdapat prakarsa dan rencana bagi perdamaian di Timur Tengah yang patut didiskusikan. Yang kurang adalah tokoh politik yang punya kekuatan dan kemauan untuk melaksanakannya, walaupun mendapat perlawanan.