1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Obama Netanjahu

21 Mei 2011

Jumat (20/5) PM Israel disambut di Gedung Putih. Presiden AS menyebut pertemuannya sebagai "dialog yang bergun". Tetapi, suasanya tetap dingin. Israel menolak kembali ke meja perundingan dengan Palestina.

https://p.dw.com/p/11KtS
Pertemuan Presiden AS Barack Obama Bersama PM Israel Benjamin Netanyahu di WashingtonFoto: dapd

Proses perdamaian Timur Tengah macet. Satu hal cukup jelas di Washington: Presiden AS Barack Obama tidak dapat mengubahnya dalam waktu dekat ini. Bukan berarti ia tidak punya niat baik. Di awal masa jabatannya, Obama sudah menunjuk seorang utusan khusus untuk Timur Tengah dan menyatakan, memajukan kembali proses perdamaian di Timur Tengah merupakan salah satu prioritas utamanya.

Namun dalam dua tahun terakhir ini pemerintah AS tidak meraih apapun. Sebaliknya. Banyak upaya yang dilakukan justru kontraproduktif. Ketika Presiden Obama menuntut, agar Israel menghentikan pembangunan pemukiman di Tepi Barat Yordan, Presiden Otonomi Palestina Mahmud Abbas mengikuti haluan Obama itu, hanya untuk memastikan, bahwa setelah Israel melakukan protes keras, pemerintah AS langsung menjaga jarak dari tuntutannya sendiri. Obama juga ikut bersalah, sehingga Abbas melakukan manuver di jalan buntu. Dan, ketika tahun lalu PM Israel mengunjungi Presiden AS di Gedung Putih, Obama memperlakukan Netanyahu seperti anak sekolah. Hubungan antara dua petinggi itu menjadi lebih dingin lagi dari sebelumnya. Dalam poin-poin menentukan, Netanjahu tidak bersedia untuk mengalah. Waktu Netanyahu kembali mengunjungi Obama di Gedung Putih, presiden AS itu berusaha sekuat tenaga, untuk membenahi citra buruknya. Obama berbasa-basi berlebihan.

Permainan yang sama terulang kembali pekan ini. Dalam pidatonya Kamis lalu (19/5) Obama mengatakan, bahwa Israel harus mengakui perbatasan yang ditetapkan sebelum 1967 dan kembali ke meja perundingan. Netanyahu menolak tuntutan itu dengan kasar. Kemudian Gedung Putih secara retorika melakukan gerak mundur. Sinyal yang dilepaskan presiden AS dengan strategi itu, amat fatal: memang Obama punya keberanian untuk melontarkan pernyataan-pernyataan seperti itu, tetapi kalau Israel menekan, ia langsung mundur.

Nampaknya Presiden AS menyadari, bahwa sementara ini ia tidak dapat meraih apapun. Bahasa tubuh Obama ketika menghadiri konferensi pers bersama Netanyahu mengekspresikan, bahwa ia sangat tegang. Sekaligus menunjukkan, Obama bermain dengan waktu. Di AS kampanye pemilihan presiden telah dimulai dan sekarang adalah saat yang kurang tepat untuk melakukan hal yang seharusnya ia lakukan. Yaitu, mendesak kedua pihak yang bertikai. Tetapi dengan itu, ia mengambil risiko, proses perdamaiannya akan gagal. Beban ini tidak dapat ditanggung oleh Obama, seperti juga jika ia kehilangan dukungan suara dari warga keturunan Israel di AS. Selain itu, Obama sudah memiliki cukup banyak masalah dengan Kongres yang ramah terhadap Israel.

Dalam pidatonya itu, Presiden AS tetap melakukan tekanan, meskipun kecil, terhadap kedua pihak yang bertikai. Setidaknya, untuk menjaga mukanya di depan umum. Tetapi, selebihnya ia hanya berretorika. Dan Jumat kemarin (20/5) ketika tampil bersama dengan Netanyahu, Obama sama sekali tidak melontarkan tuntutan terkait pengakuan perbatasan dari tahun 1967. Mengenai pengganti utusan khusus AS untuk Timur Tengah yang baru-baru ini mengundurkan diri, George Mitchell, Presiden Obama tidak mengusulkan siapapun secara konkrit. Jika November 2012 Obama kembali terpilih sebagai presiden, kemungkinan ia akan mengambil ancang-ancang untuk membuka kembali perundingan perdamaian Timur Tengah. Ibaratnya presiden Obama memiliki nafas panjang. Yang ditakutkan adalah situasi akhirnya akan lebih rumit lagi dari sekarang. Tetapi adalah salah, jika Obama dijadikan kambing hitam. Pada akhirnya, dan ini sering ditekankan oleh Obama, Israel dan Palestina sendiri yang dapat menentukan apakah perdamaian akan diraih atau tidak. Sayangnya, selama ini Obama selalu memberikan kesempatan kepada kedua pihak yang bertikai itu, untuk saling menyalahkan.

Christina Bergmann/Andriani Nangoy Editor: Agus Setiawan