1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tajuk: Resolusi PBB Tidak Beri Solusi

Peter Philippp7 Agustus 2006

Rancangan resolusi terbaru yang diusulkan AS dan Prancis gagal disepakati. Kegagalan diplomatik di New York memicu Israel dan Hizbullah melanjutkan pertempuran.

https://p.dw.com/p/CPCo
Foto: APTN/DW

Adalah keliru untuk mengira bahwa perundingan intensif di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa membicarakan upaya penghentian perang secepatnya. Apa yang diproklamirkan Prancis dan Amerika Serikat sebagai kompromis akhir pekan lalu sebenarnya hanyalah sebuah rancangan resolusi yang disusun dengan harapan dapat disahkan secepatnya. Kata „resolusi“ di sini harus diartikan sebagai „keputusan“, tidak menurut arti asalnya, yakni „penyelesaian“.

Setelah pertempuran selama sebulan antara Israel dan Hizbullah, resolusi yang dirancang itu tidak mencukupi. Dilema ini semakin nyata karena Dewan Keamanan tidak mampu untuk mencapai kesepakatan mengenai masalah tersebut. Ini adalah sebuah sinyal bagi pihak yang bertikai untuk terus berperang. Pertempuran dilanjutkan dengan kekerasan yang semakin brutal dan makin banyak korban yang jatuh.

Pihak yang diharapkan tertolong melalui resolusi, malahan terpaksa untuk menentangnya. Perdana Menteri Libanon, Fuad Siniora telah menolak rancangan resolusi karena masalah-masalah penting tidak terjawab. Siniora berusaha dengan susah payah menemukan penyelesaian konflik, namun pemerintah Libanon terlalu lemah. Dan dia harus secara hati-hati menilai apa yang penting dan apa yang mungkin. Yang penting adalah pelucutan kekuasaan militer Hizbullah di Libanon. Dan yang mungkin adalah paling-paling penyelesaian yang memberikan kesan kepada Israel dan Hizbullah bahwa mereka telah mencapai sesuatu melalui pertempurannya. Namun, pemenang dan pecundang tidak boleh ada.

Dan di sinilah letak salah satu kelemahan terbesar dalam rancangan resolusi tersebut. Dari kedua pihak dituntut untuk menghentikan pertempuran. Namun, hak membela diri diberikan kepada Israel dan tidak ada tuntutan untuk meninggalkan Libanon. Ini hanya menimbulkan satu interpretasi, yaitu: Hizbullah dituding sebagai agresor. Dan organisasi ini tentu tidak akan pernah mengakuinya, meskipun serangannya pada 12 Juli lah yang memicu perang. Dan jika Perdana Menteri Libanon menerima interpretasi itu, maka ini berarti bunuh diri politik.

Kelemahan lainnya dalam rancangan resolusi adalah ketidakjelasan setelah gencatan senjata. Misalnya, apakah, bagaimana dan kapan pasukan internasional ditempatkan di Libanon. Perundingan mengenai ini tentu masih akan berlangsung beberapa pekan lagi. Dan ini berarti pekan yang menyengsarakan bagi warga sipil yang terutama menderita akibat aksi berdarah Israel dan Hizbullah.

Dapat dimengerti bahwa tidak ada negara yang mau memaksa perdamaian di Libanon selatan dengan mengirimkan pasukannya, karena risiko untuk terlibat dalam kancah perang, terlalu besar. Namun, penyelesaian tidak akan tercapai hanya melalui kata-kata saja. Tanpa gencatan senjata tidak akan ada keamanan, apalagi perdamaian.