1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tak Apa Pasca-Kebenaran, Yang Penting Membangun

19 Maret 2018

Takjub dengan sulitnya meyakinkan orang-orang dengan fakta yang sangat gamblang dan keras sekalipun? Simak opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2u5KR
Symbolbild Fake-News-Untersuchung in Facebook
Foto: picture-alliance/empics/D. Lipinski

Terkesima mengapa dengan pencapaian teknologi serta ilmu pengetahuan yang begitu menakjubkan kini kita justru terperosok ke era pasca-kebenaran? Jawabannya bukanlah orang-orang semakin dungu dan bebal. Jawabannya, kita memang tidak pernah secerdas yang gemar kita bayang-bayangkan.

Kapankah kita pernah benar-benar dituntut untuk berpengetahuan secara benar? Jangan katakan benar dahulu, mungkin. Katakan saja, setidaknya, berpengetahuan dengan mengindahkan fakta. Anda membuka gawai Anda—kegiatan yang kini paling kolosal menyita waktu umat manusia. Apa yang segera Anda lakukan adalah mencari pembenaran atau membenarkan orang lain.

Semua situs serta platform yang Anda kunjungi saat ini dirancang untuk memilihkan kepada Anda muatan, teman, atau jejaring yang paling menyenangkan Anda. Apakah di sana Anda diharapkan untuk menjadi benar? Tidak. Anda diharapkan untuk gembira—dan pada akhirnya menghabiskan waktu di sana. Anda diharapkan merasa menjadi seseorang dengan memperoleh acungan jempol dan menjadi bagian dari lingkaran pertemanan dengan menjempoli orang lain, namun, kita tahu, hoaks merambat secepat apikarena perlombaan ini.

Geger Riyanto adalah  esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Meski begitu, ini bukan fenomena yang baru-baru ini saja dilandakan kepada kita oleh media sosial. Media sosial mengapitalisasi watak kita berpengetahuan semaunya ini habis-habisan, memang. Ia menyekat-nyekat para penggunanya dalam lingkaran-lingkaran pembenaran diri. Akan tetapi, tanpa teknologi ini sekalipun, kita tetaplah makhluk yang lebih memilih membenarkan diri ketimbang mencari kebenaran, memuliakan diri ketimbang menggali kebenaran yang katanya mulia.

Dalam penelitian klasiknya, Leon Festinger, Henry Riecken, dan Stanley Schachter berkutat dengan satu sekte yang percaya bahwa mereka akan dijemput oleh makhluk ruang angkasa dengan piringan terbang. Ketika tiba waktunya piringan terbang diramalkan akan turun, tidak ada apa pun yang terjadi. Mereka sudah bersiap-siap. Mereka menanggalkan semua logam dari badan mereka, prosedur yang harus dilakukan agar aman menaiki piringan terbang, katanya, dan berbusana sehelai kain. Piringan terbang yang dinanti-nanti tidak datang. Namun, sang pemimpin dan anggota sekte tak serta-merta merasa kepercayaannya terbantahkan. Pada malam itu, mereka yakin, makhluk ruang angkasa penjaga mereka batal menjemput karena melihat para anggota sekte belum sepenuhnya siap.

Baca juga:Bagaimana Muslim Cyber Army Beroperasi?

"Seseorang dengan keyakinan adalah seseorang yang sulit digoyahkan," tulis Festinger dan para koleganya dalam buku mereka, When Prophecy Fails. "Katakanlah kepadanya diajukan bukti yang gamblang dan tak terbantahkan bahwa keyakinannya keliru, apa yang akan terjadi? Ia acap bukan hanya bergeming tetapi bahkan lebih yakin dengan kebenaran dari keyakinannya ketimbang sebelum-sebelumnya."

Saya kira, pemandangan di atas, terlepas ia terjadi pada medio 1950-an di Illinois, Amerika Serikat, bukan pemandangan yang asing. Lia Eden, kalau Anda ingat baik-baik, pernah menggegerkan publik dengan menaksir pendaratan UFO di Monas. UFO, jelas, tidak pernah mendarat di Monas sampai dengan hari ini. Apakah Lia Eden merasa dirinya otoritas religius yang keliru karenanya? Tidak. Sama halnya dengan banyak otoritas religius, Anda tahu. Apakah terungkapnya fakta para agamawan idola berdusta, menipu, menindas hak warga lain akan melucuti darinya otoritasnya? Tidak. Yang salah, lantas, bukanlah sang sosok melainkan media pemberitanya—corong dari kaum penindas yang sebenarnya.

Diri kita dibangun dengan desain ganjil yang menyebabkan kita merasakan ketidaknyamanan tiada terkira bila terbukti salah di hadapan orang-orang. Anda dapat menyalahkan desain tidak sempurna ini sebagai alasan mengapa kita enggan berpengetahuan dengan benar. Namun, dalam buku The Enigma of Reason, Hugo Mercier dan Dan Sperber menghaturkan argumentasi lain yang juga masuk akal untuk menjelaskan kecenderungan kita tersebut. Apa yang memisahkan insan manusia dari makhluk lainnya bukanlah intelektualitas belaka melainkan kemampuan kerja sama. Kepiawaian mengevaluasi pengetahuan kelompok kita sendiri hanya akan menggoyang otoritas, hierarki, solidaritas, dan ujung-ujungnya kerja sama kita dengan insan lain. Kealpaan kita dengan keyakinan buta kita sendiri, artinya, berfaedah untuk kebersamaan yang dibutuhkan manusia untuk menyambung hidupnya.

Lantas, mengapa kita andal melucuti pengetahuan kelompok lain secara dingin, logis, dan menyeluruh? Karena kemampuan untuk menyerang yang lain, sebaliknya, justru akan mengasah rasa kebersamaan kita dengan yang lain.

Dan renik-renik kehidupan tribal ini boleh jadi tak pernah menampakkan dirinya lebih telanjang dibandingkan saat ini. Pembelaan-pembelaan diri dari kelompok lain, tak peduli betapapun janggal, mengada-ada, serta diimajinasikan belaka, bertebaran di mana-mana dengan bukti yang bisa kita raih semudah beberapa pijitan jari di gawai.

Baca juga:

Djoko Setiadi: Pengawal Internet Yang Tertohok #HoaksMembangun

Jonru Ginting Ditangkap Polisi

Contohnya? Dari manakah Anda kira idiom Yahudi, Jesuit, Cina serta agen CIA-Mossad menyerbu alam pikiran kita? Dari ajakan Prabowo kepada para ulama dan aktivis Islam untuk membela rezim oligarki Suharto sewaktu ia mengumpulkan mereka untuk berbuka puasa pada 23 Januari 1998. Masuk akal? Tidak. Orang-orang tergugah? Saya tak dapat menjawabnya. Namun, bayangkan saja, dokumen yang mengungkap konspirasi pelengseran Suharto dibagikan Prabowo hari itu disusun oleh Institute for Policy Studies yang bekingannya pada masanya adalah petinggi-petinggi negara paling berpengaruh.

Dan saya berani menjamin, pembelaan-pembelaan semacam bukan hal yang akan jarang Anda temukan. Belum lagi, semua keruwetan ini kian pelik lantaran terpaut dengan manuver-manuver kekuasaan. Pihak-pihak yang mempertahankan maupun ingin menggantikan rezim membela kelompoknya dengan kebutaan yang manusiawi tersebut.

Para oposan pragmatis selalu mengiringi kritiknya dengan wasangka ganjil rezim tengah menindas umat Islam, manuver yang, kalau benar dilakukan negara, menunjukkan betapa bodohnya mereka dalam memanajemen kekuasaan. Orang-orang yang duduk di kekuasaan, sementara itu, acap menyamaratakan para pengkritiknya dengan PKI, yang jelas-jelas sudah dilucuti basisnya dalam salah satu pembantaian terbesar abad ke-20, dan kaum radikal yang tak ada bedanya dengan ISIS kendati jelas senjata hanya dipegang oleh aparat negara.

Maka, saya pun berani menjamin—dengan miris, tentunya—bahwa fakta tidak akan menjadi pandu kita berpengetahuan dalam waktu dekat. Titik temu dan pemecahan masalah secara faktual bukanlah animo dari proses politik kita melainkan sektarianisme, polarisasi, perpecahan. Kita, toh, tak pernah berpengetahuan dengan fakta. Kita berargumentasi dan merasa benar dengan keyakinan. Keyakinan yang mengangkat kita lebih unggul dibanding yang lain. Keyakinan yang menghindarkan diri kita dari penistaan-penistaan harga diri yang memalukan.

Tak apa pasca-kebenaran. Yang penting menggugah. Tak apa hoaks, yang penting membangun. Bukan begitu?

Penulis:

Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.