1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kesepakatan Nuklir Iran: Trio Eropa Cetuskan Proses Sengketa

15 Januari 2020

Jerman, Prancis, dan Inggris sebut mereka "tidak punya pilihan" selain mencetuskan mekanisme penyelesaian sengketa terhadap Iran yang dinilai tidak patuh terhadap kesepakatan nuklir 2015.

https://p.dw.com/p/3WDgT
Iran Reaktor Arak, bei Teheran
Foto: picture-alliance/abaca/SalamPix

Para Pemimpin Eropa secara formal telah mencetuskan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada dalam kesepakatan nuklir Iran pada Selasa (14/01). Iran disebut gagal mematuhi batas-batas yang telah ditetapkan di bawah perjanjian internasional tahun 2015.

Jerman, Prancis, dan Inggris melalui pernyataan bersama mengumumkan langkah tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka "tidak punya pilihan" selain mencetuskan mekanisme sengketa dan "menyatakan keprihatinan bahwa Iran tidak memenuhi komitmennya".

Meski demikian, tiga negara kekuatan Eropa itu menggarisbawahi bahwa keputusan itu bukan berarti mereka bergabung dalam kampanye "tekanan maksimum" Presiden AS Donald Trump terhadap Iran - dan meninggalkan pintu diplomasi tetap terbuka.

"Melalui peristiwa yang terjadi baru-baru ini, lebih baik kita tidak menambahkan krisis proliferasi nuklir terhadap eskalasi yang saat ini mengancam seluruh wilayah," ujar mereka.

Rusia: "Tidak ada alasan cetuskan sengketa"

Rusia yang ikut dalam penandatangan kesepakatan nuklir Iran, mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk mencetuskan mekanisme sengketa. Rusia menyebut bahwa sengketa tersebut berisiko memicu "eskalasi baru".

"Kami tidak dapat memungkiri bahwa keputusan tergesa-gesa, yang dibuat oleh 'Eropa 3' [Jerman, Prancis, dan Inggris], akan memulai eskalasi baru dalam perjanjian dan akan membuat kembalinya kesepakatan nuklir dalam kerangka kerja aslinya menjadi mustahil", kata Kementerian Luar Negeri Rusia melalui sebuah pernyataan.

Sebelumnya pada 6 Januari, Iran mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mematuhi batas-batas dalam hal pengayaan uranium yang telah ditetapkan di bawah kesepakatan nuklir tersebut. Langkah itu dilakukan setelah Amerika Serikat (AS) membunuh Jenderal tertinggi Iran Qassem Soleimani dalam serangan udara di Baghdad. Meski demikian, Iran mengatakan akan terus bekerja sama dengan Badan Pengawas Nuklir PBB.

USA Iran Spannungen Symbolbild Rohani im Atomkraftwerk in Bushehr
Presiden Iran Hassan Rouhani meninjau sebuah pembangkit listrik tenaga nuklirFoto: picture-alliance/AP Photo/Iranian Presidency Office/M. Berno

Iran ingatkan konsekuensi

Tak lama setelah pengumuman Eropa terkait mekanisme sengketa ini keluar, Kementerian Luar Negeri Iran memberikan tanggapannya pada Selasa (14/01). Mereka mengatakan bahwa Iran bersedia mendukung "upaya konstruktif" apapun untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran.

"Republik Islam Iran, seperti di masa yang lalu, telah memiliki kesiapan penuh untuk mendukung setiap (tindakan) niat baik dan upaya konstruktif untuk menyelamatkan perjanjian internasional yang penting ini," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi dalam sebuah pernyataan di situs web kementerian tersebut.

Namun, pernyataan itu juga memperingatkan perihal "konsekuensi" jika negara-negara Eropa tidak mau bekerja sama.

Setelahnya, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan kepada kantor berita Iran Fars bahwa keputusan sengketa itu adalah sebuah "kesalahan".

"Penggunaan mekanisme sengketa itu tidak memiliki dasar hukum dan merupakan kesalahan strategis dari sisi politik," kata Zarif.

Jerman: "Pelanggaran tidak dapat dibiarkan"

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan bahwa pelanggaran berulang oleh Iran terhadap kesepakatan itu "tidak bisa dibiarkan".

"Tujuan kami jelas. Kami ingin mempertahankan kesepakatan dan mencapai solusi diplomatik dalam kesepakatan itu," cuit Maas di Twitter. "Kami menyerukan agar Iran secara konstruktif mengambil bagian dalam proses negosiasi dari sekarang", tambahnya.

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, yang akan mengawasi proses sengketa tersebut, meminta Iran untuk membahas masalah nuklir "dengan itikad baik". Ia menambahkan bahwa menjaga kesepakatan nuklir saat ini "menjadi lebih penting daripada sebelumnya".

Sebelumnya pada Selasa (14/01), Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sempat melayangkan gagasan untuk menggunakan "kesepakatan Trump" sebagai pengganti kesepakatan nuklir saat ini, dengan mengatakan bahwa itu akan membuka "jalan ke depan".

Namun, pernyataan itu secara langsung bertentangan dengan pernyataan bersama Jerman-Prancis-Inggris, yang menyerukan seluruh upaya untuk mempertahankan kesepakatan nuklir Iran yang sekarang.

Perwakilan Khusus AS untuk Iran, Brian Hook, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa dia "sangat senang" dengan komentar dari Johnson dan mendesak semua negara penandatangan perjanjian itu untuk bergabung dalam kebijakan isolasionisme diplomatik AS.

Bagaimana proses sengketa berjalan?

Sekarang waktunya bagi para negara penandatangan kesepakatan nuklir Iran untuk menyelesaikan masalah tersebut, dengan Iran berpotensi mendapat sanksi baru jika kesepakatan tidak tercapai.

Para menteri dari masing-masing negara sekarang akan bertemu dalam sebuah komisi bersama dan memiliki waktu dua minggu untuk menemukan solusi - waktu dapat diperpanjang jika semua pihak setuju. Jika perpanjangan waktu diajukan, dewan penasihat akan memiliki waktu 20 hari tambahan untuk mengadili masalah tersebut.

Jika solusi tidak ditemukan, proses ini akan dapat mengarah pada penerapan kembali sanksi PBB yang sudah ada sebelum kesepakatan nuklir Iran ditandatangani.

Kenapa sengketa dicetuskan sekarang?

Keputusan terbaru Iran untuk tidak lagi mematuhi batasan-batasan dalam perjanjian itu membuat pemimpin Eropa mengambil tindakan, meskipun Iran sudah secara bertahap mengurangi kepatuhan sejak AS menarik diri dari perjanjian.

Jerman, Prancis, Inggris, dan Uni Eropa diketahui menandatangani Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2015 bersama dengan Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Trump kemudian secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut pada 2018, dan memberlakukan kembali sanksi AS, yang sebagian besar membatasi manfaat ekonomi terhadap Iran.

Negara Eropa penandatangan kesepakatan nuklir Iran pun telah berusaha menyelamatkan perjanjian itu namun belum mampu menangkal dampak dari sanksi AS.

(gtp/rap) (AP, AFP, Reuters)