1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tan Malaka, Hantu Republik yang Tak Bisa Digebuk

29 Mei 2017

Satu hal yang menyedihkan terkait mengenang Tan Malaka adalah ingatan sebagian orang tentangnya tak pernah menjadi lebih baik. Opini Geger Riyanto

https://p.dw.com/p/2dd0i
Indonesien Tan Malaka
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto

Semakin hari, ingatan sebagian orang tentangnya hanya semakin memburuk, tak peduli studi-studi semakin membuka berbagai misteri sejarah yang menyelubunginya.

Pada 1940-an, di antara orang-orang Sumatera, Tan Malaka adalah legenda. Ia diceritakan sebagai sosok yang bisa berpindah tempat ratusan kilometer dalam sekejap. Ia dapat mengubah wujudnya sekehendaknya. Satu hari Anda mengenalnya. Di keesokan hari, Anda tak mengenal lagi sosoknya maupun mengetahui di mana dirinya.

Mistis? Ya. Tetapi, mitos dan aura misterius menyelubunginya lantaran situasi yang sangat wajar. Tan Malaka dianggap seseorang yang berbahaya oleh rezim kolonial. Keberadaannya berbahaya—ia adalah sosok yang cakap meyakinkan orang, penggalang massa yang ulung, serta penggugah pergerakan yang efektif. Tulisan-tulisannya lebih-lebih berbahaya. Sukarno dijatuhi hukuman yang lebih berat ketika diadili di Bandung hanya karena ketahuan menyimpan buku Massa Actie (Aksi Massa) yang terlarang karya Tan.

Penulis:  Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Tan Malaka pun, akibatnya, menghabiskan lebih dari separuh kehidupannya sebagai buron. Ia tak bisa berdiam di satu tempat lama serta harus mempergunakan identitas palsu dalam banyak kesempatan. Ia memiliki 23 nama samaran dan selalu berpindah dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer. Harry Poeze menulis, Tan Malaka tak mudah percaya kepada orang. Ketika ia meyakinkan Sukarni, tokoh pemuda sekaligus pengagumnya, untuk mendorong Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan selekasnya, Sukarni hanya mengetahuinya sebagai Ilyas Hussein, seorang kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten.

Aura misterius Tan ini pun merongrong elite yang lantas memperoleh tampuk kepemimpinan Indonesia pasca-penjajahan. Mereka sebelumnya hanya mengetahui Tan Malaka sekadar dari tulisan-tulisannya yang menginspirasi mereka bangkit melawan kekuatan kolonial. Sekonyong-konyong saja, mereka menjumpainya secara langsung. Ini menyebabkan sosoknya menjadi momok ketika pada tahun-tahun terakhir kehidupannya ia kembali ke Indonesia. Ia kembali ditangkap pada bulan Maret 1946 dengan tuduhan yang tak bisa dibuktikan yakni hendak mengacau keadaan dan bertindak menggelisahkan.

Dieksekusi di Kediri

Pada 1948, Tan menemukan akhir hayatnya. Ia dieksekusi di Kediri. Berbagai teori berkembang tentang intrik yang berujung kematiannya tersebut. Tetapi, semua teori berawal dari satu premis: keberadaan Tan terlalu menggentayangi kekuasaan.

Apakah bayang-bayang yang paling pertama terbersit kala nama Tan Malaka dicetuskan kini? Poeze, peneliti yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk meneliti Tan, telah merampungkan studi yang mencelikkan kita dengan kiprah Tan. Buku-buku tentang pemikiran Tan maupun pikiran Tan sendiri tak sulit ditemukan dan memperlihatkan dengan terang bahwa komitmen Tan adalah Indonesia yang 100 persen merdeka. Ia adalah seseorang yang tak kompromi untuk urusan kebebasan orang-orang Indonesia dari kekangan imperialisme.

Dan yang terjadi, kita malah lebih-lebih tidak mengenalnya. Ia adalah seorang komunis yang menistakan agama dengan segala tindak-tanduknya. Satu sosok yang, dalam kata-kata seorang purnawirawan, hanya dielu-elukan oleh kaum kiri dan selebihnya adalah seorang pengkhianat. Seseorang yang boleh kita "gebuk” seketika ia sewaktu-waktu muncul lagi.

Semua tuduhan ini keliru dan sangat mudah kita mentahkan. Benar, sejak tahun 1920, belum 24 tahun usianya saat itu, Tan sudah menjadi figur prominen di antara kelompok-kelompok kiri setempat. Ia diajukan sebagai kandidat Volksraad atau parlemen di Sumatra Timur. Namun, ia memilih bergelut di antara pergerakan serta pikiran sosialis tak lain karena kepenatannya dengan penindasan terhadap sesamanya di perkebunan-perkebunan Eropa. Lagi pula, apa lagi yang menyediakan perkakas analisis untuk mengungkap praktik eksploitasi oleh Belanda saat itu? Apa yang menyediakannya kesempatan untuk menyuarakan keadilan?

Tan pun tak pernah menjadi seorang komunis belaka. Dalam kongres keempat Komintern pada 1922, Tan mengkritik haluan Komintern yang saat itu mengambil pendirian antagonistis terhadap Pan-Islamisme. Sarekat Islam, baginya, dapat menjadi gerakan yang mengembalikan kekuatan kepada para petani yang melarat di bawah kapitalisme kolonial. Islam dapat menjadi kekuatan yang mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki orang-orang papa. Tan sendiri, di hadapan sidang tersebut, tak menampik bahwa dirinya adalah seorang Muslim. "Ya, saya katakan,” ujarnya, "ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim.”

Tan, jelas, tidak memperlakukan komunisme sebagai satu ideologi. Ia adalah metode. Satu alat berpikir sistematis untuk membedah realitas dan menganalisis bagaimana seyogianya pergerakan digulirkan, pembagian wewenang dilangsungkan, dan pengorganisasian kerja ditata. Ia menggunakannya ketika harus mengkritik Sukarno dan partainya terlalu disibukkan dengan memikat rakyat dengan kata-kata, "grande-eloquence,” dan kehilangan pijakan bagaimana mengorganisir serta mendisiplinkan mereka. Dan, tentu saja, ia menggunakannya untuk menggerakkan orang-orang agar mau berdiri di hadapan kolonialisme Eropa saat itu.

Siapa yang tergerak oleh analisis-analisis Tan?

Pertama, Sukarno sendiri tentu saja. Lantas, W.R. Supratman, Muhammad Yamin, Adam Malik, untuk menyebut beberapa dari antaranya. Tujuan akhir Tan? Keadilan. Lebih dari apa pun, keadilan yang riil.

Bila akhirnya kita memilih untuk mendepak figurnya dari pemahaman kita tentang sejarah Indonesia—dan mengafirmasi politik-politik ketakutan yang berusaha memanipulasi kita—saya yakin, yang terjadi selanjutnya adalah hantunya kian menggerogoti kita. Selepas kematiannya yang terlalu dini, para pejabat Indonesia yang baru merdeka waktu itu sangat jelas merasa terhantui dengannya. Hatta langsung mencopot Soengkono, Panglima Divisi Jawa Timur, dan Soerahmad, Komandan Batalion Sikatan di Kediri. Sukarno menyandangkan kepada Tan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1963.

Para penentu ini besar dengan membaca pikiran-pikiran Tan Malaka. Ia bukan hanya sudah aktif dalam pergerakan sebelum mereka. Ia adalah sang pendahulu yang mereka hormati. Sukarno tak ragu untuk memandatinya sebagai pimpinan perjuangan bila dirinya dan Hatta tak berdaya lagi meski kemudian keputusan ini direvisi dengan menambahkan nama-nama dari kelompok politik lainnya. Dan, akhir tragisnya, Tan malah terbunuh di bawah Republik yang mereka ampu.

Kini, apakah kita mau menggebuk andai Tan mendadak "muncul” kembali? Kita tak bisa menggebuknya. Ia yang akan menggebuk balik kita dengan rasa bersalah. Jejaknya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia terlalu besar untuk ditutupi dengan cara apa pun.

Kegigihannya untuk keadilan, memang, menjadikannya seseorang yang naif. Hasan Nasbi benar ketika ia mengatakan Tan adalah insan yang terlalu lurus. Namun, itu juga yang menjadikan mimpinya, yang boleh jadi mustahil, menjadi sesuatu yang layak untuk terus-menerus diimpikan. Sesuatu yang patut untuk menjadi pandu dalam kehidupan politik dan intelektual kita.

Penulis:

Geger Riyanto

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.