1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tantangan Baru di Sudan Selatan Pasca Referendum

31 Januari 2011

Penghitungan tahap pertama oleh komisi referendum untuk menentukan masa depan Sudan Selatan menunjukan lebih dari 99 persen warga Sudan Selatan memilih merdeka. Berbagai persoalan masih mengganjal.

https://p.dw.com/p/107zd
Referendum di Sudan selatanFoto: AP

Hasil awal referendum yang digelar awal bulan Januari 2011 menunjukan lebih dari 99 persen warga Sudan Selatan ingin melepaskan diri dari utara. Pemerintahan Sudan di Khartoum menjamin akan mengakui hasil jajak pendapat tersebut. Dengan adanya pemisahan negara ini, maka pemerintahan Sudan di Khartoum akan kehilangan sepertiga teritorialnya dan dua pertiga kawasan ladang minyaknya.

Hasil akhir referendum akan diumumkan secara resmi tanggal 14 Februari mendatang. Jika tidak ada aral melintang, pada bulan Juli mendatang, Sudan Selatan bakal resmi menjadi negara termuda di dunia. Namun berbagai persoalan yang masih mengganjal, harus diselesaikan terlebih dahulu. Misalnya, perdebatan seputar tapal batas wilayah, pembagian sumber daya minyak dan sengketa kawasan kaya minyak Abyei, yang terletak sepanjang perbatasan utara dan selatan. Demikian diungkapkan seorang warga Sudan Selatan kepada media Al Jazeera.

Kawasan Abyei kaya akan minyak bumi. Tak ada pihak yang mau melepas kawasan tersebut. Di wilayah ini juga kerap terjadi aksi kekerasan antara etnis Misseriya yang dipersenjatai oleh Khartoum melawan etnis Ngok Dinga. Pengamat politik Douglas Johnson memperingatkan, "Banyak orang mengatakan, bahwa Abyei akan menjadi seperti Kashmir di Sudan. Saya sebelumnya berpikir bahwa ini akan menjadi seperti Tepi Barat Sudan. Di satu sisi, pemerintah di utara yang mencoba untuk memberikan wilayah itu pada Misseriya, dan adanya penyusutan terus-menerus dari wilayah warga asli Ngok Dinga."

Selain berbagai masalah yang masih dinegosiasikan dengan pemerintahan di utara, Sudan Selatan juga masih akan menghadapi masalah internal yang cukup berat. Hingga tanggal 9 Juli, hanya terdapat sebuah aturan, bahwa struktur pemerintah hanyalah yang dijamin dari perjanjian damai Sudan tahun 2005 dan berakhir masa berlakunya pada tanggal tersebut.

Melha Rout Biel, dosen ilmu politik di Universitas Juba di Sudan menjelaskan, "Kami membutuhkan sebuah konstitusi baru, yang dapat digunakan sebagai landasan pemilu. Pemerintahan dan parlemen yang sekarang akan mengerjakan rancangan konstitusinya. Setelah diterima, maka baru dapat berlangsung pemilu."

Referendum pemisahan Sudan Selatan yang digelar awal Januari 2011 merupakan bagian dari perjanjian damai di Sudan tahun 2005, yang mengakhiri perang saudara selama beberapa dekade.

Ayu Purwaningsih

Editor: Agus Setiawan