1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ketahanan PanganIndonesia

Tantangan Stabilkan Pasokan Beras di Tengah Perubahan Iklim

9 April 2024

Di tengah perubahan iklim, kering dan banjir seolah bergantian mengancam tanaman padi dan pasokan beras. Riset varietas unggul memang sudah banyak, tapi intensitas cuaca ekstrem juga meningkat.

https://p.dw.com/p/4eYJR
Sawah kering di Purworejo, Jawa Tengah. Foto diambil 23 Agustus 2023
Sawah kering di Purworejo, Jawa Tengah. Foto diambil 23 Agustus 2023Foto: Dasril Roszandi/AA/picture alliance

Meski berangsur-angsur harga beras mulai turun di beberapa wilayah, pertanyaan tentang mengapa beras mahal masih terus muncul. Presiden Joko Widodo memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait penyebab kenaikan beras di sejumlah pasar dalam negeri karena adanya perubahan iklim hingga sebagian negara lain juga mengalami hal serupa.

"Kenapa harga beras naik? Karena ada perubahan musim, ada El Nino, dan itu dialami bukan hanya negara kita, tetapi juga negara lain mengalami hal yang sama," ungkap Presiden Jokowi kepada perwakilan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Gudang Bulog Batangase, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dikutip dari Antara.

Kering dan banjir bergantian mengancam stok beras

Paramita Endah W, salah seorang petani di Ngawi, Jawa Timur, mengungkapkan bahwa El Nino menjadi salah satu penyebab gagal panen di tempatnya.

"Kemarin-kemarin memang kering sekali, panas. Jadi butuh air lebih banyak dan lebih sering pengairannya," katanya kepada DW Indonesia.

"Nah di sini itu, irigasinya tidak ada, bukan irigasi total tapi sumur. Kalau tidak punya sumur, ya airnya harus beli."

Selain dampak langsung, berbagai fenomena iklim dan pemanasan global yang terjadi saat ini, diakui Mitha - sapaan akrabnya - tak cuma berpengaruh pada peningkatan cuaca. Efeknya juga akan berpengaruh pada meningkatnya ‘perawatan' padi untuk mencegah gagal panen.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Ya kan setiap hari butuh air, terutama pas lagi tanam sama pas lagi mulai garap sawah. Kalau pas lagi cuacanya kering banget butuh air lebih. Beli air terus. Soalnya beli air itu per jam dan harus gantian dengan petani lainnya. Sawah tanpa punya sumur itu susah."

Menurutnya, saat ini, air sumur dipompa dengan menggunakan pompa celup sibel. Untuk mendapatkan air, petani di areanya harus membayar 8 ribu rupiah per jam. Untuk mengairi sawah biasanya butuh waktu sekitar 5 jam. Di musim kering, air yang dibutuhkan akan lebih banyak.

Setelah dilanda kekeringan sebagai akibat El Nino di tahun 2023, Mitha juga mengatakan, kini banjir mengancam sawahnya dan petani-petani lain di Jawa Timur.

"Kebanjiran di sini. Banyak (padi) yang rubuh kena banjir karena kena arusnya itu kan. Tidak gagal semua sih, cuma yang kena banjir dan rubuh, pasti gagal panen."

Saat ini Mitha mengaku kalau dia menanam padi dengan varietas Cibatu yang disebut tahan rebah. Mitha juga mengaku kalau dia sering menanam padi varietas lainnya yang disebut-sebut tahan kering.

Benarkah El Nino jadi penyebab gagal panen?

Dosen Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian UNSOED dan peneliti padi Ir. Suprayogi MSc, PhD juga mengungkapkan bahwa El Nino jadi salah satu penyebab gagal panen sehingga harganya pun jadi mahal.

"Banyak lahan yang tidak bisa ditanami padi. Sehingga jelas produksinya dalam tahun itu turun. Setelah musim kemarau panjang selesai, kemudian diikuti musim hujan. Banyak terjadi banjir di sana sini, otomatis airnya kelewatan banyak. Sehingga sama juga itu tidak bisa ditanami lagi," ujarnya kepada DW Indonesia.

Untuk itu, dia mengungkapkan, sebagai ekses dari kemarau panjang, produksinya beras dalam negeri masih tidak tinggi sekali. Saat ini, kata dia, Indonesia masih pada tahap menormalisasi produksi beras.

Penelitian jalan terus, tapi cuaca kian ekstrem

Untuk menghadapi fenomena lingkungan dan cuaca ekstrem, Indonesia sebenarnya sudah memiliki berbagai varietas padi baru.

"Peneliti padi itu banyak sekali ya di Indonesia dan sebenarnya sudah banyak juga varietas yang dihasilkan. Tentu saja orientasinya adalah untuk membantu pemerintah mencukupi kebutuhan pangannya, khususnya padi," menurut Suprayogi.

"Tapi tentu saya sampaikan bahwa sebetapapun varietas sudah diciptakan, kalau dihadapkan kepada iklim yang ekstrem, kemarau yang sangat panjang seperti ini tentu saja, belum bisa mengatasi semuanya."

Dia mencontohkan, untuk varietas padi yang diklaim tahan kering, biasanya tahan kering sampai 3 hingga 3,5 bulan. Jika kemarau lebih panjang dari itu, padi juga tetap butuh suplai air yang mencukupi dan tak akan bertahan tanpa air.

Apakah India Terlalu Kering bagi Pembudidayaan Padi?

Mengutip laman Kementerian Pertanian, varietas unggul baru yang disebut toleran akan kekeringan dan organisme pengganggu tanaman (OPT). Beberapa varietas padi unggul adalah Inpari 39 Tadah Hujan Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan Agritan, Inpari 46 GSR Tadah Hujan dan Cisaat. 

Untuk varietas Gogo, ada 8 rekomendasi varietas yang cukup berkembang di masyarakat. Pada lahan gogo, varietas yang digunakan harus wajib tahan penyakit Blas. Selain itu lahan gogo banyak mengandung Al dan kadar Fe jadi juga harus toleran terhadap ancaman keracunan Al.

Sementara varietas padi irigasi yang toleran kekeringan terdiri dari 6 varietas yaitu Inpari 13, Inpari 19, Cakrabuana Agritan, Padjadjaran Agritan (genjah), Inpari 42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR. 

Konversi lahan semakin masif

Sampai saat ini, berbagai varietas padi sudah banyak diciptakan. Namun apa yang membuat ketahanan dan ketersediaan pangan masih belum terlaksana?

"Padi untuk tahan kering sudah ada. Tapi faktornya kan bukan hanya varietas saja, ada varietasnya kalau tidak ada lahannya bagaimana?" kata Suprayogi.

"Varietas baru tetap dibutuhkan. Kita menyadari bahwa konversi lahan itu semakin masif dari tahun ke tahun. Dan untuk menanam padi itu yang dipakai itu mesti lahan subur tapi lahan makin sempit."

Ia menilai hal ini lebih berbahaya dibandingkan perubahan iklim. Pasalnya, iklim bisa memprediksi, meski tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Sementara konversi lahan yang sebenarnya bisa dikendalikan lewat undang-undang agraria, ternyata tak bisa dikendalikan.

"Luasannya (konversi) setiap tahun itu besar sekali. Kalau satu hektare itu padi misalnya dibuat rata-rata hanya menghasilkan 6 ton saja, penyusutan lahan dalam satu tahun Indonesia itu sampai sekitar 50 ribu hektare. Berapa ton produksi yang hilang karena itu? Lalu ditambah dengan musim dan sebagainya. Dan ini terjadi di daerah-daerah lumbung pangan." 

Untuk itu, peneliti saat ini lebih berfokus untuk menciptakan varietas padi yang tahan dengan kondisi atau lahan ekstrem agar bisa tumbuh di lahan marjinal. Di tahun 2014, Suprayogi menciptakan varietas padi yang tahan air asin (kadar garam tinggi) sehingga bisa ditanam di kawasan pesisir pantai.

"Mau tidak mau, akhirnya harus menggunakan lahan-lahan yang dalam tanda kutip tidak optimal lagi, atau lahan marjinal. Karena lahan-lahan yang subur sudah dikonversi, maka mau tidak mau sekarang lahan yang tidak subur pun harus digunakan untuk produksi pangan. Lahan kering yang tadinya tidak dilirik, kemudian termasuk juga lahan di pantai, yang sering terpengaruh oleh intrusi air laut asin,"

Konsumen tetap pengaruhi jenis padi yang ditanam

Jika sampai saat ini sudah banyak varietas padi unggul, bagaimana dengan penerimaan petani?

Ramadhan Adhi, penyuluh petani di Kediri, Jawa Timur menyebut, sebenarnya saat ini petani sudah jauh lebih terbuka untuk mencoba menanam varietas baru. Hanya saja, orientasi dan prioritas petani lebih mengarah ke produktivitas dan meningkatkan penghasilan.

"Kembali lagi ke produktivitasnya, lalu kualitas berasnya seperti apa. Karena ini memengaruhi penjualan. Misalnya, dia tanam varietas baru, dan ternyata konsumennya bilang berasnya tidak enak, nasinya tidak enak, tidak pulen. Ya sudah, drop pasti harganya."

"Mereka mencoba satu kali panen, dua kali panen, ketika tidak bagus mereka balik lagi ke yang lama. Pasti pilih yang biasa mereka tanam yang berasnya enak, dan tengkulaknya beli juga mahal," ucap dia kepada DW Indonesia. (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.