1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teologia Tanpa Diplomasi

16 September 2006

Sri Paus bukan hanya pemimpin gereja, melainkan juga pemimpin negara. Demikian komentar dari Gregor Hoppe menyangkut sengketa seputar pidato Sri Paus Benediktus XVI baru-baru ini. Selanjutnya dia menulis:

https://p.dw.com/p/CJav
Sri Paus di Regensburg
Sri Paus di RegensburgFoto: AP

Kunjungan Sri Paus Benediktus XVI ke Jerman berakhir dengan menimbulkan suara protes yang tidak nyaman. Dan sayangnya kita tidak dapat mengatakan bahwa Sri Paus bebas dari tuduhan sebagai pemicu protes. Dalam hal ini ada satu hal yang harus ditekankan, yaitu: untuk mengerti, bagi Bapak Suci sangat penting bahwa orang mendengarkannya. Dan juga penting untuk diketahui bahwa tak sepatah katapun yang dikutip oleh Sri Paus boleh dinyatakan ataupun dimengerti sebagai katanya sendiri.

Hal ini masih tetap demikian dan tidak akan berubah. Sri Paus Benediktus XVI mengutip kaisar kristen kerajaan Byzantium dari abad ke-14, Manuel II Paleologos, dalam pidatonya di Universitas Regensburg hari Selasa lewat (12/09). Dalam sumber yang diacu oleh Sri Paus, Manuel II berdebat dengan cendikiawan Persia. Perdebatan semacam itu biasa dilaksanakan antara cendikiawan kristen, yahudi dan islam pada saat itu. Dan kebiasaan ini berlangsung berabad-abad.

Hal ini dikutip oleh Sri Paus untuk mengetengahkan bahwa pada zaman yang lalu, perdebatan semacam itu adalah biasa dan mungkin. Benediktus XVI dalam pidatonya juga mengetengahkan bahwa kepercayaan dan kekerasan tidak berjalan seiring. Hal ini sudah dinyatakan Sri Paus berulang kali dalam pidato-pidato sebelumnya. Tak seorang pun dapat menyangkal secara serius bahwa Sri Paus dan Gereja Katolik yang dipimpinnya memilih dialog dan toleransi antaragama, dan tentunya toleransi terhadap Islam. Meskipun demikian, beberapa anggota Vatikan melihat dalam pidato Benediktus XVI bahwa dia meninggalkan tradisi pendahulunya. Karol Woityla, Bapak Suci pendahulunya, pernah menyatakan adanya ikatan mendasar antara Yahudi, Kristen dan Islam yang berasal dari satu bapak, yaitu Abraham.

Namun, walaupun kebenaran sejarah dan pemikirannya dalam pidato tersebut jelas, sebagai Sri Paus, Joseph Ratzinger dalam lawatan pastoralnya tidak hanya berbicara di depan cendikiawan agama yang mampu mengikuti pidato ilmiahnya. Sri Paus sekaligus berbicara di Regensburg sebagai Kepala Gereja Katolik dan dengan demikian didengarkan di seluruh dunia.

Berkat globalisasi media, kata-kata yang merupakan bagian dari pidato dan tidak dalam konteks yang utuh, langsung dalam hitungan detik menyebar ke segala penjuru dunia. Tetapi ini sebenarnya sudah diketahui Sri Paus. Pada masa kini dan di tengah konflik semacam itu, Sri Paus seharusnya siap menghadapi reaksi dari semua pernyataannya. Sri Paus bukan hanya kepala gereja, melainkan juga kepala negara. Dengan demikian dia seharusnya menyadari dampak dari kasus seputar karikatur Nabi Muhamad dan konflik antaragama dan antarbudaya lainya. Dia juga mengetahui bahwa ada individu yang mencari kesempatan untuk memicu konflik pada setiap kemungkinan yang ada.

Ikhwanul Muslim di Mesir, parlamen Pakistan, Dewan Islam Jerman dan Prancis menilai kutipan Sri Paus tersebut sangat merugikan upaya dialog antaragama. Tidak lama lagi Sri Paus akan mengunjungi Turki dan tahun ini seorang pastor di negara itu tewas dibunuh oleh seorang remaja usia 17 tahun yang merasa terhina oleh karikatur Nabi Muhammad.

Tak seorang pun boleh atau ingin menentukan apa yang akan diucapkan oleh Sri Paus. Tetapi Benediktus XVI harus mengerti bahwa sebagai kepala negara dan orang pertama dari sebuah organisasi dunia, dia mengadakan perjalanan dunia tidak hanya sebagai pemimpin cendikiawan agama.