1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teroris Kembali Menyerang Daerah Wisata di Mesir

25 April 2006

Ledakan-ledakan bom yang terjadi di kawasan wisata di Mesir, tepatnya di Thaba tahun 2004, kemudian di Syarm al-Syaikh tahun 2005, pada awalnya pemerintah setempat menduga serangan tersebut dilakukan oleh warga suku Badui.

https://p.dw.com/p/CJdP
Daerah wisata Dahab di Mesir
Daerah wisata Dahab di MesirFoto: AP

Sudah sekian lama hubungan antara warga Badui dan pemerintah Mesir diliputi ketegangan. Suku Badui yang terkenal keras wataknya, merasa diabaikan oleh pemerintah pusat dan merasa diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua. Apalagi setelah sejumlah warganya ditangkap dan diinterogasi karena dituduh sebagai pelaku serangan, membuat mereka semakin geram. Dan pada akhirnya, pemerintah Mesir tidak berhasil juga mengungkap siapa pelaku di balik aksi ledakan itu.

Mungkin para eksekutor ledakan di Semenanjung Sinai itu bukan berasal dari suku Badui. Sangatlah sulit dilacak siapa pelaku sebenarnya yang menewaskan puluhan orang. Pertikaian dengan pemerintah Mesir sudah menjadi tradisi di negara piamida itu. Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi di Mesir, para pemicu pertikaian seringnya berasal dari organisai Islam radikal, dan bukan warga Badui. Di tahun 1928 Hassan al-Banna mendirikan gerakan Islam „Ikhwanul Muslimin“ atau „Persaudaraan Muslim“. Sebuah gerakan kebangkitan umat Islam yang berusaha memurnikan kembali ajaran Islam dan mengecam segala paham yang berasal dari dunia barat serta menuding pemerintah Mesir terlalu berpihak pada politik barat. Pemerintah Mesir pun bertindak. Sejumlah anggota Ikhwanul Muslim diperasingkan, dipenjara, bahkan dibunuh. Akibat insiden-insiden itu, untuk meredakan situasi, berbagai kelompok Islam berupaya untuk ikut andil dalam proses politik pemerintah. Namun, diantaranya masih terdapat sejumlah kelompok yang tidak bersedia mengambil bagian dalam proses tersebut. Terutama yang berasal dari Afghanistan, yang bergabung dalam gerakan Mujahedin saat Uni Soviet masih menduduki negara itu. Mereka memiliki know-how menggunakan senjata dan alat peledak. Ilmu itu setelah Uni Soviet berhasil diusir, mereka teruskan kepada rekrutan baru untuk menggulingkan pemerintahan.

Sementara itu, sejumlah kejadian di kawasan lainnya menunjukkan, bahwa pemerintahan negara lebih kuat daripada gerakan Islam radikal. Contohnya, di Mesir. Sebuah kelompok Islam radikal bertanggung-jawab atas pembantaian sekitar 60 wisatawan dan warga Mesir di Luxor, di Mesir Utara. Memang, setelahnya suasana di daerah itu cukup tenang. Akan tetapi, walaupun sejumlah militan Islam dipenjara, sampai saat ini belum berhasil ditangkap dalang di balik aksi itu. Kemungkinan besar ia dilindungi oleh seseorang yang sangat berperan dalam jaringan teror al-Kaida, yang kebetulan juga berasal dari Mesir, yakni Ayman al-Dhawahari.

Kasus ledakan yang mengguncang Semenanjung Sinai Senin lalu, harus dianalisa dengan melihat berbagai faktor. Diantaranya, pihak oposisi yang radikal, suku Badui yang merasa diabaikan oleh pemerintah, serta jaringan internasional teroris al-Kaida yang memanfaatkan keadaan Semenanjung Sinai. Kawasan itu kebetulan berbatasan dengan Israel dan merupakan daerah wisata. Namun, bukan warga Israel yang dijadikan target utama kelompok teroris. Mereka sengeja memilih daerah itu untuk melumpuhkan pariwisata di kawasan tersebut. Dengan demikian, pemerintah Mesir akan mengalami kerugian yang sangat besar. Akan tetapi, mereka tidak menyadari, dengan aksi kekerasan yang dilakukan teroris, masyarakat Mesir tidak akan berpaling dari pemerintahannya, namun justru akan mendukungnya.