1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tiga Bulan Setelah Tsunami Jepang

10 Juni 2011

Tiga bulan setelah bencana besar melanda Jepang, gempa bumi dan tsunami, bagaimana masyarakat kini menatap ke masa depan?

https://p.dw.com/p/11YBB
Antrian yang membutuhkan bantuan di Kamaishi, setelah beberap hari sebelumnya bencana melanda.Foto: dapd

Rumah Hidemichi Nakamura terletak satu kilometer dari pesisir Kamaishi di timur laut Jepang. Dulu, badan penanggulangan bencana mengkategorikan kawasan ini sebagai lokasi aman. Ia menceritakan :“Tak terpikirkan sebelumnya, bahwa tsunami bisa mencapai sejauh ini. Gara-gara gempa bumi, televisi saya rusak. Jika tsunami sekarang datang, saya pikir kali ini semuanya akan habis.”

Peristiwa tsunami 11 Maret lalu, tak terbayangkan sebelumnya. Setelah gempa bumi berkekuatan 9 skala richter menghantam, gelombang setinggi 30 meter menyapu pesisir hingga ke pelosok. Hidemichi dapat mencapai lantai kedua, sementara istrinya hanyut terbawa ombak. Istrinya, merupakan salah satu dari sekitar 24 ribu orang yang tewas atau hilang, akibat bencana besar yang melanda timur laut Jepang. Hidemichi mengakui: “Kami telah keliru dengan berasumsi bahwa tsunami tak mungkin mencapai kawasan ini.”

NO FLASH Japan Erdbeben Rettungsarbeiten
Tim pencari korban bekerja keras setelah beberapa hari tsunami menghantam kawasan Kamaishi yang saat itu bersaljuFoto: AP

Setelah insiden tersebut, badan penanggulangan bencana merevisi sistem anstisipasi tsunami dan mengkaji ulang sistem peringatan dini.

Hidemichi Nakamura kini masih tinggal di penampungan. Demikian pula Hisa Oki. Dengan istrinya, Hisa Oki dulu tinggal di wilayah yang sebenarnya dikategorikan sebagai lokasi aman. Katanya : “Kami selalu lari ke lokasi yang lebih tinggi, meski pun bila terjadi gempa kecil. Apa yang terjadi kali ini berbeda dengan apa yang pernah kami alami sebelumnya. Bencana kali ini lebih lama dan kuat. Saya tahu, kami harus segera meninggalkan kawasan ini.“

Rumah Hisa Oki luluh lantak akibat tsunami, namun ia dan istrinya selamat dari bencana. Ia berbagi pengalaman : „Kita wajib bertanggungjawab pada keamanan diri kita sendiri. Tak harus menunggu, sampai orang lain memberitahu, harus lari menyelamatkan diri atau tidak.“

Murid-murid sekolah di Kamaishi juga memiliki prinsip bertanggung jawab terhadap diri sendiri, meskipun gedung sekolah mereka cukup jauh dari laut. Sebagian besar dari mereka selamat.

Sebuah kisah diceritakan Mika Sato, yang masih mencari benda kenangan, peninggalan putrinya yang berusia enam tahun, Airi. Ketika gempa terjadi Airi, berada di taman kanak-kanak di sebuah bukit di Ishinomaki. Pemimpin sekolah memerintahkan agar anak-anak diangkut dengan dua bus agar dibawa ke orangtua mereka. Saat sirene peringatan tsunami berbunyi, supir bus melaju ke rumah-rumah dekat laut untuk memulangkan anak-anak. Bus itu kemudian tergulung ombak dan terbakar. Airi dan anak-anak lainnya, tak terselamatkan. Mika menceritakan : “Di pantai ini putri saya meninggal dunia. Oleh sebab itu, saya merasa dekat dengannya, bila saya datang kemari.”

Sepatu Airi ditemukan di antara puing-puing sekolah, berikut pernak-pernik yang dikerjakannya di sekolah. Penting bagi Mika Sato, mengumpulkan semua yang pernah dimiliki putrinya. Tiga bulan kini berlalu, bersama suami dan dua putrinya yang lain, kini ia menatap ke masa depan. Tuturnya:

“Saya pikir, semua baik-baik saja, jika saya berhenti mencari-cari benda-benda ini. Di dalam hati, saya berkata pada Airi, masih butuh waktu hingga kita bisa bersama lagi. Namun saya selalu berharap, dimana dia berada, dia selalu menunggu saya dan saya berharap ia bahagia.”

Peter Kujath/Ayu Purwaningsih

Editor : Hendra Pasuhuk