1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Timbal Balik Dalam Toleransi

Mohamad Guntur Romli 4 Juli 2016

Lebaran tiba. Umat Muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan merayakan kemenangan mereka di hari yang Fitri. Berikut refleksi Mohamad Guntur Romli seputar bulan puasa,yang mengingatkan ajaran Gur Dur, tentang toleransi.

https://p.dw.com/p/1JFeF
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Bulan yang suci kita lewati. Puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban agama bagi kaum Muslim, namun umat agama lain bisa menunjukkan toleransi dan kerjasama. Umat agama Konghucu di Klenteng Hok Swie Bio di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur memiliki tradisi menyediakan makan buka puasa selama Ramadhan.

Tidak kurang 400 porsi dengan menu nasi rawon, masakan khas Jawa Timur, disajikan untuk kaum Muslimin untuk berbuka puasa. Tradisi yang sama juga dilakukan oleh umat Buddha di Lawang, Malang, Jawa Timur. Vihara Bodhimanda Sanggar Suci ini menyediakan 100 porsi buka puasa untuk umat Islam. Tradisi umat Buddha ini sudah dimulai sejak tahun 1998 dan masih hidup hingga Ramadhan tahun ini.

Umat Kristen juga menunjukkan kepedulian pada tradisi puasa umat Islam, melalui Jemaat Gereja Sidang Pantekosta Indonesia (GSPDI) di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat yang menyediakan hidangan berbuka puasa: kudapan, minuman yang dikenal dengan istilah ta'jil.

Penulis:, Mohamad Guntur Romli
Penulis:, Mohamad Guntur RomliFoto: Privat

Sejarah panjang toleransi di tanah air kita

Tradisi yang menarik juga dilakukan oleh Gereja Kristen Jawa Manahan, Surakarta (Solo), Jawa Tengah yang memiliki program Ramadhan. Selain buka puasa bersama juga menyediakan sebuah tempat di lokasi gereja untuk masyarakat yang ingin berdzikir, tadarusan (mengaji Al-Quran).

Usai berbuka puasa bersama, Pendeta gereja itu menyediakan tempat untuk salat, lengkap dengan sajadah. Beberapa contoh di atas hanyalah gambaran dari tradisi toleransi, kerjasama dan kerukunan umat beragama yang memiliki akar yang kuat dan sejarah yang panjang di Indonesia.

Belum lagi kalau kita menyebut tradisi sahur keliling yang dilakukan oleh Ibu Sinta Nuriyah, istri dari KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia dan Ketua Umum PBNU. Tradisi sahur keliling ini memiliki misi kerukunan umat beragama dan menyapa kaum yang terpinggirkan yang sudah dijalani sejak tahun 2000.

Sesuai namanya, “sahur keliling”kegiatan ini mengelilingi wilayah-wilayah di Indonesia yang tempat acaranya bisa di masjid, gereja, klenteng, vihara, lapangan, dan ruang-ruang terbuka lainnya.

Tradisi serupa di Mesir

Tradisi toleransi di bulan puasa ini mengingatkan saya saat masih studi di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir yang saya temukan tradisi yang sama. Pusat Kristen Ortodoks Koptik di Alexandria dan Cairo, Mesir, menyediakan buka puasa untuk kaum Muslimin yang dikenal dengan sebutan ma'idatur rahman (Hidangan dari Sang Maha Penyayang).

Paus Kristen Ortodoks Koptik menjamu Syaikhul Azhar, Pemimpin Tertinggi umat Islam di Mesir dalam acara buka puasa. Saat Idul Fitri, Paus Koptik akan datang ke Masyikhatul Azhar (Kantor Pusat Al-Azhar) untuk memberikan selamat Idul Fitri. Saat Hari Raya Natal, Syaikhul Azhar pun gantian mendatangi untuk mengucapkan Selamat Natal.

Ini toleransi yang ditunjukkan umat agama selain Islam, bagaimana dengan Muslim sendiri? Gus Dur menyatakan, toleransi harus lah timbal balik. Toleransi adalah sikap tenggang rasa, saling toleran. Baik yang berpuasa dan tidak berpuasa saling menghargai.

Salah satu contoh toleransi dari orang yang berpuasa adalah menghargai juga orang yang tidak puasa dengan tidak memaksakan warung-warung untuk tutup di siang hari. Kalau pun ada yang ingin menutup warungnya berasal dari kesadaran dan pilihannya yang sebabnya berpulang pada dirinya.

Peraturan yang memaksa warung tutup di siang hari di bulan Ramadhan adalah peraturan yang egois dan aneh, apalagi dengan alasan untuk menghormati yang puasa dan menghormati Ramadhan.

Padahal di kalangan Muslim, tidak semua individu diwajibkan berpuasa. Tidak sedikit pula yang punya udzur (halangan). Apalagi warung-warung itu berada di kota-kota besar yang menjadi perlintasan para musafir dan masyarakat urban yang warganya sangat beragam, berasal dari macam-macam agama dan suku.

Kewajiban puasa berasal dari keimanan dan penghambaan pada Allah Swt, bukan karena ketakutan pada Satpol PP. Aneh sekali pola pikir, kalau ada warung buka di siang hari, akan membuat orang yang berpuasa membatalkan puasanya atau terganggu.

Dalam keluarga yang keislamannya kuat, toleransi dalam puasa ini sudah diajarkan sejak kecil. Dalam sebuah keluarga, pastilah ada anggotanya yang berpuasa, ada yang tidak. Ibu dan saudari perempuan yang datang bulan saat Ramadhan, atau adik kecil yang masih wajib berpuasa.

Apakah mereka yang tidak berpuasa harus menyembunyikan diri di kamar saat makan atau mereka harus keluar dari rumah untuk mencari makanan? Mereka yang tidak berpuasa karena ada udzur (halangan) yang telah ditentukan oleh Allah Swt bukan lah suatu perbuatan yang mendatangkan malu dan aib, sehingga mereka harus menyembunyikan diri.

Keyakinan pada kewajiban puasa, keyakinan pada Tuhan, keyakinan pada ajaran agama seharusnya sudah selesai dalam level keluarga, tidak perlu menarik-narik negara untuk membantunya.

Bukan karena takut ancaman Satpol PP

Orang yang berpuasa, yakin atas kewajibannya merupakan kesadaran pada pengabdian terhadap Tuhan, bukan karena takut ancaman razia Satpol PP dan polisi. Fungsi negara mengurus hal yang lebih besar dan lebih umum.

Misal, mengendalikan sembako yang harganya terus naik, menjamin keamanan lingkungan agar orang yang ibadah bisa khusyu', memastikan jalur-jalur mudik yang aman dan nyaman dan hal-hal umum lainnya.

Kalau negara ingin hadir memberikan afirmasi pada Ramadhan, bisakah memberikan insentif pada warung-warung yang tutup misalnya dengan pemotongan pajak dan pemberian modal? Hal ini kehadiran negara lebih positif, daripada hadir dalam bentuk pemaksaan dan razia.

Negara juga bisa hadir dalam bentuk-bentuk perayaan dan kegiatan yang tujuannya menghidupkan dan menyamarakkan bulan Ramadhan. Inilah bentuk penghormatan terhadap bulan Ramadhan yang positif, bukan dalam aksi yang negatif menutup warung-warung dan menjatuhkan sanksi bagi yang tidak puasa. Keyakinan pada puasa, biarlah menjadi tugas dari para pendidik dan tokoh agama serta keluaga di rumah.

Dengan pola seperti ini, maka, toleransi yang timbal balik dan sikap tenggang rasa baik dari yang tidak puasa dan yang berpuasa, akan membawa kerukunan dalam umat beragama di Indonesia.

Penulis:

Mohamad Guntur Romli, Kurator Diskusi di Komunitas Salihara

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.