1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Tolak Karantina, Pemerintah Pakistan Gugup Hadapi Ulama

Haroon Janjua
1 April 2020

Sikap lunak pemerintah terhadap kelompok ultra-konservatif muslim berujung fatal di tengah wabah Corona. Ketika para ulama menolak menutup masjid dan menghentikan ibadah berjamaah, pemerintah justru diam tak berdaya.

https://p.dw.com/p/3aHmP
Umat muslim menunaikan ibadah salat Jumat di Peshawar, 20 Maret 2020.
Umat muslim menunaikan ibadah salat Jumat di Peshawar, 20 Maret 2020.Foto: Reuters/F. Aziz

Pekan lalu Presiden Pakistan Arif Alvi dan jajaran gubernur provinsi mengadakan pertemuan dengan ulama Sunni dan Syiah perihal wabah corona, meminta mereka menutup masjid dan menghentikan kegiatan salat berjemaah di seluruh negeri. Namun permintaan tersebut ditolak.

“Kami tidak bisa sama sekali menutup masjid. Ini tidak mungkin dilakukan di sebuah negara Islam dalam kondisi apapun,“ kata Muneeb-bur-Rehman, kepala Komite Rukyatul Hilal di Pakistan.

Penolakan para ulama untuk menghentikan salat berjamaah memicu keraguan atas kemampuan pemerintah menghadapi pandemi COVID-19 yang saat kini telah mencatat lebih dari 2.000 kasus penularan dengan 26 korban jiwa.

Awal Maret silam, ketika angka penularan masih tergolong rendah, pemerintah masih mengizinkan peziarah Syiah dari Iran kembali tanpa mensyaratkan karantina 14 hari. Alhasil angka penularan melesat tinggi.

Di tempat pemerintah federal juga membiarkan ribuan peziarah Sunni menghadiri acara milik organisasi Islam, Tablighi Jamaat di Punjab. Banyak kasus baru yang bermunculan dari pertemuan tersebut.

Pakar medis sejak awal mengritik kebijakan pemerintah lantaran dinilai tidak mencukupi. Saat ini Pakistan diyakini baru akan memasuki musim puncak wabah corona dengan angka penularan diprediksi memuncak dalam beberapa pekan ke depan.

Suasana kota Lahore pasca pemberlakuan Lockdown oleh pemerintah provinsi
Suasana kota Lahore pasca pemberlakuan Lockdown oleh pemerintah provinsiFoto: DW/T. Shahzad

Namun aktivis kemanusiaan menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan tidak berdaya menghadapi kelompok ultra-konservatif, justru di tengah laju penularan yang kian cepat.   

Banyak penduduk Pakistan menolak menunaikan ibadah salat di rumah dan sebaliknya bersikeras bahwa agama lebih penting ketimbang hal lain.

“Saya diajak salat berjamaah Jumat lalu. Lebih dari 300 orang hadir seperti ibadah Jumat pada umumnya,“ kata Muhammad Ashraf, seorang pemilik toko di Islamabad. “Masjid adalah tempat yang aman. Jadi saya tidak takut virus corona,” pungkasnya sebelum menambahkan bakal menghadiri ibadah Jumat selanjutnya.

Hampir semua negara berpenduduk mayoritas muslim telah menutup masjid dan melarang acara besar keagamaan untuk mencegah penyebaran virus. Namun bahkan keputusan Arab Saudi menutup Kabah untuk disinfeksi tidak mampu meyakinkan muslim Pakistan tentang bahaya wabah.

“Pandemi ini terjadi karena dosa-dosa kita dan karena kita tidak mengikuti ajaran agama,” kata Ejaz Ashrafi, ulama senior Tehreek-i-Labaik (TLP), sebuah partai Islam di Pakistan.

Hingga kini dia masih memimpin salat Jumat di sebuah masjid di selatan kota Lahore. “Warga masih berpergian ke supermarket, tapi pemerintah hanya ingin menutup masjid. Kami akan terus beribadah Jumat di masjid-masjid,” ujarnya.

Pemerintah provinsi Punjab juga menyulap sebuah gedung konferensi menjadi rumah sakit darurat untuk menyambut pasien COVID-19 di Lahore.
Pemerintah provinsi Punjab juga menyulap sebuah gedung konferensi menjadi rumah sakit darurat untuk menyambut pasien COVID-19 di Lahore.Foto: Reuters/M. Raza

Tidak heran jika Fawad Chaudary, Menteri Sains dan Teknologi, mengeluhkan betapa virus corona di Pakistan menyebar “karena sikap acuh para ulama.” Komentarnya itu disambut protes keras kelompok ultra-konservatif.

Organisasi sipil Pakistan mendesak pemerintah agar bertindak tegas terhadap ulama yang menolak menaati karantina. “Undang-undang jelas mencantumkan siapapun yang secara sengaja menyebarkan penyakit harus dipenjara atau membayar denda,” kata Osama Malik, pakar konstitusi di Islamabad.

“Pemerintahan Perdana Menteri Imran Khan terkesan sama sekali tidak berdaya,” imbuhnya.

Sejauh ini Khan menolak memberlakukan karantina total lantatan dinilai belum dibutuhkan. Dalam pidato kenegaraan pekan lalu dia mengatakan pemerintah bisa saja melumpuhkan kehidupan publik untuk meredam wabah. Namun akibatnya 25% warga miskin terancam kelaparan, kata dia.

Namun keengganan Khan menerapkan karantina total atau lockdown memberikan angin segar bagi mereka yang sejak awal meragukan ancaman wabah corona, menurut sejumlah pakar. 

Akibatnya sebagian penduduk yang abai terhadap wabah tidak memiliki kesadaran atau pengetahuan yang memadai tentang proses penyebaran virus atau cara melindungi diri dari penularan.

Berbeda dengan kebijakan Imran Khan, kepala-kepala daerah di Pakistan telah menerapkan karantina wilayah. Gubernur Sindh, Murad Ali Shah, misalnya berhasil membatasi laju penyebaran dengan cara tersebut.

“Lockdown adalah satu-satunya cara menghentikan penyebaran virus,” kata Dr. Qaisar Sajjad, Sekretaris Jendral Asosiasi Tenaga Medis Pakistan. “Kasus penularan diprediksi akan meningkat pesat dalam beberapa pekan jika acara-acara keagamaan tidak dihentikan,” imbuhnya.

“Para ulama harus memahami betapa seriusnya situasi sekarang ini.” (rzn/vlz)